Completed
256
Dukungan terhadap jalur distribusi Sumberjati–Tunas Padi terus mengalir. Dalam dua minggu, tiga koperasi lain resmi bergabung, membentuk jaringan yang mampu memasok beras ke lima kota sekaligus. Penjualan meningkat, dan harga di pasar mulai stabil sesuai kesepakatan antar-koperasi.
Namun, keberhasilan ini memicu serangan baru. Kali ini, bukan di jalan atau gudang, melainkan di dunia digital.
Suatu pagi, Sekar menerima laporan dari pedagang kota: sistem aplikasi pasar daring yang biasa mereka gunakan tiba-tiba menandai beras Sumberjati sebagai “stok terbatas” dan menaikkan harga secara otomatis. Akibatnya, pembeli mengira pasokan menipis dan mulai mencari alternatif — yang kebetulan adalah beras dari jaringan lawan.
Rudi segera memeriksa. “Ini bukan bug biasa. Ada manipulasi di backend aplikasi. Entah mereka punya orang di perusahaan pengelola sistem, atau mereka membayar untuk mengubah data.”
Maya menghubungi pengelola aplikasi pasar. Jawaban mereka mengambang: “Kami hanya mengikuti data dari pemasok resmi.” Tapi ketika diminta menunjukkan sumber data itu, mereka menolak dengan alasan “rahasia perusahaan”.
Arga menyadari, ini bentuk sabotase yang sulit dibuktikan secara langsung. “Kalau kita tidak bisa masuk ke sistem mereka, kita harus melawan dengan sistem kita sendiri,” ujarnya.
Keputusan diambil:
- Membuat platform penjualan mandiri berbasis web sederhana, dikelola langsung oleh jaringan koperasi, dengan harga dan stok yang diperbarui real-time.
- Kampanye edukasi pembeli di media sosial dan pasar offline, menjelaskan bahwa stok beras Sumberjati aman dan harga tidak berubah.
- Koordinasi hukum untuk melaporkan dugaan manipulasi data ke Kementerian Perdagangan dan KPK, sebagai bagian dari pola sabotase.
Dua hari kemudian, platform mandiri itu diluncurkan. Respon publik positif, dan pembeli mulai beralih ke jalur langsung koperasi. Namun, Arga tahu, lawan tidak akan berhenti di sini. Mereka sudah menunjukkan bahwa medan perang kini bukan hanya sawah dan gudang — tapi juga layar komputer dan ponsel.
Di luar, hujan tipis membasahi jalan desa. Di dalam balai, warga menatap layar laptop yang menampilkan dashboard stok beras mereka sendiri. Untuk pertama kalinya, mereka merasa punya kendali penuh atas jalur distribusi — meski kendali itu harus dipertahankan setiap hari dari serangan yang tak terlihat.
Platform penjualan mandiri yang baru diluncurkan oleh jaringan koperasi awalnya berjalan lancar. Pembeli mulai terbiasa memesan langsung, stok dan harga terpantau transparan. Namun, pada minggu kedua, tanda-tanda gangguan muncul.
Suatu malam, dashboard stok tiba-tiba menunjukkan angka minus untuk beberapa gudang, padahal fisiknya penuh. Beberapa pesanan hilang dari sistem, dan akun admin Sekar terkunci tanpa alasan.
Rudi segera memeriksa log server. “Ini bukan kesalahan teknis biasa. Ada upaya masuk dari IP luar negeri, dan mereka mencoba mengubah data transaksi,” katanya dengan nada tegang.
Arga sadar, ini sudah masuk wilayah peretasan. Ia menghubungi seorang kenalan lama, Dimas, mantan mahasiswa teknik informatika yang kini bekerja sebagai konsultan keamanan siber. Dimas datang ke desa keesokan harinya dengan laptop dan perangkat analisis jaringan.
Dalam waktu beberapa jam, Dimas menemukan pola: serangan dilakukan lewat celah di plugin pihak ketiga yang digunakan untuk sistem pembayaran. Celah itu memungkinkan penyerang mengakses database dan memanipulasi data stok. Lebih mencurigakan lagi, alamat IP yang digunakan pernah tercatat dalam kasus peretasan sistem logistik di kota — kasus yang diduga terkait jaringan lawan.
Langkah darurat diambil:
- Memutus sementara integrasi dengan sistem pembayaran pihak ketiga, mengganti dengan metode manual yang diverifikasi langsung oleh tim koperasi.
- Memasang firewall dan sistem deteksi intrusi yang memantau setiap akses mencurigakan.
- Membuat akun admin baru dengan autentikasi ganda, dan mencabut semua akses lama yang berisiko.
Dimas memperingatkan, “Serangan ini kemungkinan akan berulang. Mereka tidak akan berhenti sampai sistem kalian lumpuh atau pembeli kehilangan kepercayaan.”
Maya menatap layar laptop yang menampilkan grafik serangan. “Kalau mereka berani masuk sejauh ini, berarti jalur distribusi kita benar-benar mengancam posisi mereka.”
Malam itu, di balai desa, warga menyadari bahwa benteng perjuangan mereka kini bukan hanya gudang dan sawah — tapi juga server dan jaringan internet. Dan seperti benteng di dunia nyata, benteng digital ini harus dijaga siang dan malam.
Dimas, pakar keamanan siber yang membantu Sumberjati, menghabiskan dua malam memantau lalu lintas data dari server koperasi. Pada dini hari ketiga, ia menemukan sesuatu yang selama ini mereka tunggu: sebuah koneksi balik (reverse connection) yang tidak sengaja dibiarkan terbuka oleh penyerang.
“Ini seperti benang yang menjuntai dari kain robek,” kata Dimas sambil menunjuk layar. “Kalau kita tarik pelan-pelan, kita bisa tahu dari mana serangan ini dikendalikan.”
Dengan teknik trace routing yang hati-hati, Dimas dan Rudi mengikuti jejak itu melewati beberapa server perantara di luar negeri. Akhirnya, mereka tiba pada alamat IP yang terdaftar di sebuah perusahaan konsultan teknologi di Jakarta. Perusahaan itu, setelah ditelusuri, ternyata memiliki kontrak eksklusif dengan PT Graha Pangan Nusantara untuk “pengelolaan sistem distribusi digital”.
Maya menatap data itu dengan mata membesar. “Kalau ini benar, berarti serangan ke sistem kita dilakukan oleh pihak yang secara resmi bekerja untuk mereka.”
Arga tahu, bukti ini terlalu berharga untuk disimpan sendiri. Mereka segera mengirim salinan log dan hasil pelacakan ke KPK, disertai penjelasan teknis dari Dimas.
KPK merespons cepat: tim siber mereka akan memeriksa dan, jika valid, mengajukan pasal tambahan terkait kejahatan digital dalam kasus kartel beras.
Namun, Dimas memperingatkan, “Begitu mereka sadar kita menemukan jejak ini, kemungkinan besar mereka akan memutus koneksi dan menghapus bukti. Kita harus bergerak sebelum itu terjadi.”
Arga memutuskan untuk mengumumkan secara terbatas kepada jaringan koperasi sekutu bahwa mereka telah menemukan bukti digital yang mengarah langsung ke pusat kendali lawan. Tujuannya jelas: menyiapkan dukungan publik jika nanti bukti ini dibawa ke persidangan.
Malam itu, di balai desa, warga berkumpul mendengarkan penjelasan Dimas tentang bagaimana serangan siber bisa dilacak. Meski istilah teknis terdengar rumit, semua mengerti satu hal: untuk pertama kalinya, mereka bukan hanya membela diri — mereka menyerang balik, dan serangan itu tepat mengenai jantung lawan.
Pagi itu, berita mendadak memenuhi layar televisi: KPK bersama tim siber Polri melakukan penggerebekan di sebuah gedung perkantoran di Jakarta Selatan. Gedung itu milik perusahaan konsultan teknologi yang selama ini mengelola sistem distribusi digital PT Graha Pangan Nusantara.
Petugas masuk dengan surat perintah, langsung menuju lantai 12 tempat server utama berada. Kamera wartawan menangkap momen ketika beberapa teknisi perusahaan digiring keluar, sebagian menunduk, sebagian mencoba menutupi wajah.
Di ruangan server, tim siber menemukan:
- Log serangan yang identik dengan jejak digital yang dilacak Dimas dari sistem koperasi Sumberjati.
- Email internal yang memerintahkan “penyesuaian data stok” untuk beras Sumberjati di aplikasi pasar daring.
- Daftar pembayaran ke akun luar negeri yang diduga digunakan untuk menyewa peretas freelance.
Sore harinya, KPK mengumumkan bahwa bukti digital ini akan digabungkan dengan kasus kolusi dan sabotase fisik yang sudah berjalan. “Kami memiliki indikasi kuat bahwa serangan siber ini dilakukan untuk mendukung praktik kartel dan menghalangi distribusi koperasi,” ujar juru bicara KPK.
Di Sumberjati, warga menonton siaran langsung penggerebekan itu di balai desa. Sorak-sorai pecah ketika nama perusahaan konsultan disebut. Sekar menatap Arga sambil berkata, “Kita sudah menyentuh jantung operasi mereka.”
Namun Maya mengingatkan, “Ini titik kritis. Mereka akan mencoba segala cara untuk mengalihkan perhatian publik. Kita harus tetap fokus pada bukti dan proses hukum.”
Malam itu, Dimas duduk bersama tim koperasi, menjelaskan bahwa dengan bukti ini, jalur serangan digital kemungkinan besar akan berhenti — setidaknya sementara. Tapi ia juga memperingatkan, “Kalau jaringan mereka masih punya cabang lain, serangan bisa datang dari arah yang berbeda. Kita harus siap.”
Di luar, angin malam membawa aroma padi yang hampir siap panen. Di dalam, semua sadar bahwa meski kemenangan ini besar, pertarungan belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya, mereka melihat lawan benar-benar terpojok, dan itu memberi harapan yang nyata.
Share this novel