bab 40

Drama Completed 256

Ruang sidang di pengadilan negeri penuh sesak. Di bangku pengunjung, beberapa warga Sumberjati datang memberi dukungan, duduk berdampingan dengan wartawan yang membawa kamera dan buku catatan. Di meja tergugat, Arga, Sekar, Maya sang pengacara, dan Pak Roni duduk berderet.

Hakim membuka sidang, lalu memberi kesempatan pada pihak penggugat untuk memaparkan tuduhan. Kuasa hukum PT Graha Pangan Nusantara menegaskan bahwa pernyataan Pak Roni di media telah merusak reputasi klien mereka dan menurunkan kepercayaan pembeli.

Giliran Pak Roni bersaksi. Suaranya bergetar di awal, tapi perlahan menjadi mantap. Ia menceritakan bagaimana, bertahun-tahun lalu, ia terpaksa menjual sawahnya karena utang, dan pembelinya adalah orang yang kini menjadi direktur di PT Graha Pangan Nusantara.
> “Saya tidak menuduh apa-apa. Saya hanya mengatakan itu bagian dari hidup saya. Dan saya tidak pernah lupa bagaimana rasanya kehilangan tanah yang diwariskan ayah saya.”

Maya kemudian mengajukan bukti baru: salinan akta jual beli tanah dan catatan utang yang membuktikan cerita Pak Roni benar adanya. Lebih mengejutkan lagi, ia menunjukkan dokumen bahwa setelah pembelian itu, lahan tersebut digunakan untuk proyek percobaan varietas padi yang kemudian menjadi salah satu produk unggulan PT Graha Pangan Nusantara.

Ruang sidang bergemuruh. Beberapa wartawan langsung mencatat cepat. Hakim menegur agar suasana tetap tenang.

Kuasa hukum penggugat tampak gelisah. Mereka mencoba mengalihkan fokus, tapi publikasi di luar sidang sudah mulai berubah nada: dari “desa memfitnah perusahaan” menjadi “perusahaan besar diuntungkan dari tanah petani kecil”.

Usai sidang, di luar gedung, wartawan mengerubungi Pak Roni. Ia hanya berkata singkat, “Saya hanya ingin kebenaran dicatat. Biar orang menilai sendiri.”

Arga menatap kerumunan itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, ini baru awal proses panjang. Tapi untuk pertama kalinya sejak gugatan dilayangkan, ia merasa arah angin mulai berubah.

Liputan sidang pertama menyebar cepat. Foto Pak Roni yang duduk tenang di kursi saksi, dengan latar tumpukan dokumen bukti, menjadi simbol perlawanan petani kecil terhadap raksasa pangan. Media nasional menulis headline seperti “Petani Desa Lawan Monopoli” dan “Kisah Tanah yang Kembali Bicara”.

Pesanan beras Sumberjati melonjak lagi. Beberapa restoran ternama di Jakarta bahkan mengumumkan menu khusus “Nasi Sumberjati” sebagai bentuk dukungan.

Namun, di balik euforia itu, tanda-tanda serangan baru mulai terasa:
- Truk pengangkut beras Sumberjati yang menuju kota tiba-tiba ditahan di pos pemeriksaan dengan alasan “pemeriksaan dokumen” yang berlarut-larut hingga beras hampir melewati batas waktu pengiriman.
- Telepon misterius masuk ke beberapa pembeli besar, memperingatkan bahwa “kerja sama dengan Sumberjati bisa menimbulkan masalah hukum”.
- Akun media sosial palsu bermunculan, meniru akun resmi koperasi, lalu memposting informasi harga yang salah untuk membingungkan pembeli.

Sekar menatap daftar kejadian itu di papan tulis ruang rapat. “Mereka tidak menyerang di depan mata. Mereka membuat kita kehilangan waktu, tenaga, dan kepercayaan pembeli sedikit demi sedikit.”

Maya, pengacara, mengangguk. “Ini taktik tekanan psikologis. Mereka ingin kalian lelah sebelum sidang berikutnya.”

Arga memutuskan dua langkah:
1. Membentuk tim respon cepat di desa untuk menangani gangguan logistik dan melaporkan setiap insiden secara resmi.
2. Menguatkan komunikasi langsung dengan pembeli lewat grup pesan pribadi, agar informasi harga dan stok tidak bisa dipelintir.

Malam itu, Arga berdiri di tepi sawah yang diterangi lampu-lampu rumah warga. Ia tahu, badai ini belum puncak — tapi ia juga sadar, setiap serangan yang mereka hadapi dan lewati akan membuat Sumberjati semakin sulit dijatuhkan.

Gudang koperasi malam itu sepi. Hanya suara jangkrik dan sesekali gonggongan anjing yang terdengar. Sejak serangan-serangan halus mulai terjadi, tim respon cepat yang dibentuk Arga bergiliran berjaga di gudang dan jalur distribusi.

Sekitar pukul 11 malam, Andi dan Reno, dua pemuda desa yang bertugas jaga, melihat cahaya senter bergerak di sisi belakang gudang. Mereka saling memberi isyarat, lalu mendekat diam-diam.

Di balik tumpukan karung kosong, mereka menemukan dua orang asing sedang berusaha membuka gembok pintu samping. Salah satunya membawa botol cairan yang baunya menyengat — belakangan diketahui sebagai cairan kimia yang bisa merusak kualitas beras jika disiramkan.

Andi langsung meniup peluit tanda bahaya. Dalam hitungan menit, beberapa warga yang tinggal dekat gudang datang berlarian, sebagian membawa bambu dan senter. Kedua pelaku panik, mencoba kabur, tapi berhasil ditangkap dan diamankan di balai desa sambil menunggu aparat datang.

Keesokan paginya, kabar percobaan sabotase itu menyebar cepat. Warga yang sebelumnya hanya mengikuti perkembangan dari jauh kini merasa ancaman itu nyata. Banyak yang datang menawarkan diri untuk ikut jaga malam, bahkan ibu-ibu menyiapkan termos kopi dan makanan untuk para penjaga.

Arga berdiri di depan gudang, melihat warga bekerja sama memperbaiki pintu dan memperkuat kunci. “Mereka ingin membuat kita takut,” katanya lantang, “tapi yang mereka lakukan justru membuat kita semakin kompak.”

Malam itu, giliran jaga diisi oleh lebih banyak orang dari biasanya. Lampu-lampu di sekitar gudang menyala terang, dan suara tawa bercampur dengan obrolan serius terdengar hingga larut. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Arga merasa desa ini bukan hanya bertahan — tapi mulai melawan dengan keyakinan penuh.

Pagi setelah kejadian di gudang, kedua pelaku yang tertangkap diserahkan ke kepolisian sektor terdekat. Awalnya, mereka bungkam. Namun, setelah interogasi dan pemeriksaan ponsel mereka, polisi menemukan pesan-pesan singkat yang berisi instruksi dan foto gudang Sumberjati, lengkap dengan titik-titik lemah yang bisa dimasuki.

Yang mengejutkan, nomor pengirim pesan itu terdaftar atas nama sebuah perusahaan jasa logistik di kota — perusahaan yang selama ini menjadi mitra distribusi PT Graha Pangan Nusantara.

Berita ini cepat sampai ke telinga Arga dan pengurus koperasi. Sekar menatap lembaran hasil penyelidikan yang dibawa polisi. “Kalau ini benar, berarti serangan ini bukan kerjaan orang iseng. Ada yang mengatur dari atas.”

Pak Surya dari asosiasi datang sore itu, membawa kabar bahwa beberapa media investigasi tertarik mengangkat temuan ini. “Kalau kita buka ke publik, ini bisa jadi pukulan telak. Tapi kita harus pastikan bukti kuat, supaya tidak dibantah mentah-mentah.”

Di sisi lain, Maya, pengacara, mengingatkan risiko. “Begitu kita sebut nama perusahaan logistik itu, mereka bisa balik menuntut. Kita harus siap menghadapi serangan hukum dari dua arah.”

Rapat malam itu berlangsung panas. Sebagian pengurus ingin langsung mengumumkan temuan ini untuk membangkitkan dukungan publik. Sebagian lagi memilih menunggu, mengumpulkan bukti tambahan, dan memukul sekali saja tapi tepat sasaran.

Arga mendengarkan semua pendapat, lalu berkata pelan, “Kalau kita terburu-buru, kita bisa kalah di meja hukum. Tapi kalau kita terlalu lama, mereka bisa menghapus jejak. Kita harus bergerak cepat, tapi terukur.”

Keputusan diambil: tim kecil akan bekerja sama dengan jurnalis investigasi untuk menelusuri hubungan antara perusahaan logistik itu dan PT Graha Pangan Nusantara, sambil menyiapkan langkah hukum jika bukti sudah tak terbantahkan.

Malam itu, Arga berdiri di depan gudang yang kini dijaga ketat. Ia tahu, permainan ini sudah naik level. Bukan lagi sekadar perang harga atau citra — ini sudah masuk ke wilayah yang bisa menjatuhkan lawan, atau justru menghancurkan Sumberjati jika mereka salah langkah.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience