Dua minggu setelah rapat desa, suasana mulai berubah. Warga yang sebelumnya ragu kini ikut membantu. Mesin penggiling diperbaiki, kemasan baru dicetak, dan uji coba kedua berjalan lebih rapi. Karung-karung beras dengan label Beras Desa Sumberjati mulai tersusun di gudang kecil dekat balai desa.
Arga terlihat lebih bersemangat. Ia bahkan mengajak beberapa pemuda belajar cara mengemas dan menimbang beras sesuai standar pasar kota. Sekar ikut membantu membuat catatan stok dan pembukuan sederhana.
Namun, di tengah persiapan itu, datang kabar yang membuat semua terdiam. Dari pasar kecamatan, seorang pedagang memberi tahu bahwa ada perusahaan besar dari luar daerah yang mulai menjual beras kemasan dengan harga lebih murah — dan mereka menargetkan pasar yang sama.
Pak Darto mengernyit saat mendengar kabar itu. “Kalau mereka masuk, kita bisa kalah sebelum mulai.”
Beberapa warga mulai khawatir. “Beras mereka sudah terkenal, kemasannya bagus, dan mereka punya modal besar.”
Arga mencoba menenangkan. “Kita punya keunggulan: ini beras lokal, segar, dan kita bisa ceritakan asal-usulnya. Orang kota suka cerita di balik produk.”
Tapi Sekar tahu, itu tidak akan mudah. Perusahaan besar punya jaringan distribusi, iklan, dan harga yang sulit disaingi.
Malam itu, Sekar dan Arga duduk di beranda rumah sewa Arga. Lampu-lampu rumah warga berkelip di kejauhan.
“Ga, ini ujian yang berbeda,” kata Sekar pelan. “Kalau kemarin kita berjuang untuk meyakinkan warga, sekarang kita harus meyakinkan pasar.”
Arga mengangguk. “Dan kali ini, kita tidak hanya melawan keraguan… tapi juga kekuatan yang jauh lebih besar dari kita.”
Di dalam hati, Sekar merasa ini bisa menjadi titik balik: apakah usaha ini akan tumbuh menjadi kebanggaan desa, atau berhenti sebelum benar-benar lepas landas.
Arga tahu mereka tak bisa bersaing harga dengan perusahaan besar. Jadi, ia memilih jalur berbeda: menjual cerita di balik beras Desa Sumberjati.
Ia mengajak Sekar dan beberapa pemuda membuat foto-foto proses panen, video singkat tentang kehidupan petani, dan menulis kisah di balik setiap karung beras. Kemasan mereka kini punya label kecil bertuliskan: “Ditanam dengan tangan kami, untuk meja makan Anda.”
Sekar membantu mengunggah foto dan cerita itu ke media sosial. Tak disangka, unggahan mereka mulai dibagikan banyak orang, bahkan ada pembeli dari kota yang datang langsung ke desa untuk membeli.
Namun, keberhasilan kecil itu rupanya membuat perusahaan besar merasa terusik. Suatu sore, seorang pria berjas datang ke balai desa, memperkenalkan diri sebagai perwakilan perusahaan tersebut.
“Kami menghargai usaha Anda,” katanya dengan senyum tipis, “tapi pasar ini sudah kami kelola. Kalau Anda terus menjual ke wilayah kami, kami akan… mempertimbangkan langkah hukum.”
Warga yang mendengar ancaman itu mulai resah. Pak Darto berbisik pada Arga, “Kalau mereka serius, kita bisa repot. Kita nggak punya uang untuk urusan hukum.”
Arga menatap pria itu dengan tenang. “Kami hanya menjual hasil panen kami sendiri. Tidak ada yang salah dengan itu.”
Pria itu tersenyum dingin. “Kita lihat saja nanti.” Lalu ia pergi, meninggalkan suasana tegang.
Malamnya, Sekar duduk bersama Arga di beranda. “Ga, ini bukan lagi soal jualan beras. Ini soal bertahan dari tekanan yang lebih besar dari kita.”
Arga mengangguk. “Kalau mereka mau perang, kita harus siap. Tapi aku tidak mau warga terjebak di tengah.”
Sekar menatapnya lama. “Kalau begitu, kita harus cari cara yang membuat mereka tidak bisa menyentuh kita… tanpa harus mundur.”
Dan di bawah langit malam yang penuh bintang, mereka mulai merencanakan langkah berikutnya — langkah yang bisa menyelamatkan usaha ini, atau justru membuat mereka menghadapi badai yang lebih besar.
Setelah ancaman dari perusahaan besar, Arga sadar mereka butuh pelindung. Ia teringat pada seorang kenalan lama di kota, Rendra, yang kini bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat fokus pada pemberdayaan desa.
Arga menghubungi Rendra dan menceritakan situasinya. Tak lama, Rendra datang ke Sumberjati bersama dua rekannya. Mereka mengadakan pertemuan di balai desa, menjelaskan bahwa lembaga mereka bisa membantu dari sisi hukum, pemasaran, bahkan modal tambahan.
Warga terlihat antusias. “Kalau ada yang mendukung, kita bisa lebih kuat,” kata Pak Darto.
Namun, Sekar memperhatikan detail kecil yang membuatnya waspada: setiap kali Rendra bicara, ia selalu menekankan kata “kerja sama jangka panjang” dan “bagi hasil yang adil”.
Setelah rapat, Sekar bertanya pada Arga, “Kamu yakin ini murni bantuan? Atau ada harga yang harus dibayar?”
Arga menghela napas. “Aku kenal Rendra. Dia orang baik. Tapi… aku juga tahu, tidak ada bantuan yang benar-benar gratis.”
Beberapa hari kemudian, Rendra mengirimkan draft perjanjian. Isinya memang menjanjikan perlindungan hukum dan akses pasar, tapi ada pasal yang membuat Sekar terdiam: hak distribusi eksklusif selama lima tahun, dan kewajiban menjual seluruh produksi beras kemasan hanya melalui jaringan mereka.
Sekar menatap Arga. “Kalau kita tanda tangan, kita aman dari perusahaan besar… tapi kita juga kehilangan kebebasan. Kita akan tergantung pada mereka.”
Arga memegang kertas itu lama, seolah berat menimbang. Di satu sisi, ini bisa menyelamatkan usaha dari ancaman luar. Di sisi lain, ini bisa menjadi jerat yang sulit dilepaskan.
Malam itu, di beranda rumah, mereka berdua duduk tanpa banyak bicara. Hanya suara angin malam dan gelegar petir di kejauhan yang menemani. Mereka tahu, keputusan ini akan menentukan masa depan desa — dan hubungan mereka sendiri.
Sore itu, balai desa penuh sesak. Warga duduk berkelompok, sebagian membawa catatan, sebagian hanya menyimak. Di meja depan, kepala desa membuka rapat dengan suara berat.
“Kita di sini untuk memutuskan: apakah kita akan menandatangani perjanjian kerja sama dengan lembaga yang diwakili Rendra, atau menolak dan berjalan sendiri.”
Rendra duduk di samping kepala desa, rapi dengan kemeja putihnya. Ia memaparkan kembali keuntungan yang akan didapat: perlindungan hukum, akses pasar luas, modal awal.
“Dengan ini, kita bisa melawan perusahaan besar yang mengancam kalian,” ujarnya mantap.
Beberapa warga langsung setuju.
“Kalau ada yang mau bantu, kenapa ditolak?”
“Kita butuh modal, ini kesempatan.”
Namun, suara penolakan juga keras.
“Kalau lima tahun kita terikat, kita tidak bebas lagi.”
“Bagaimana kalau mereka nanti menaikkan potongan keuntungan?”
Arga duduk di tengah, mendengarkan semua argumen. Sekar menatapnya dari sisi ruangan, mencoba membaca pikirannya. Ia tahu, Arga paham risiko kedua pilihan: menerima berarti aman tapi terikat, menolak berarti bebas tapi rentan.
Ketika kepala desa memintanya bicara, Arga berdiri.
“Aku datang ke desa ini untuk membangun sesuatu bersama, bukan untuk mengambil keputusan sendiri. Tapi aku juga percaya, kebebasan itu mahal. Kalau kita menandatangani perjanjian ini, kita harus siap menerima bahwa lima tahun ke depan, semua keputusan besar akan melibatkan pihak luar.”
Ruangan hening. Arga melanjutkan, “Kalau kita menolak, kita harus siap menghadapi tekanan dan mungkin kerugian. Tidak ada pilihan yang tanpa risiko. Tapi aku pribadi… lebih memilih kita berdiri di kaki sendiri, meski jalannya lebih berat.”
Beberapa warga mengangguk, tapi yang lain terlihat ragu. Kepala desa akhirnya memutuskan untuk menunda keputusan satu minggu, memberi waktu semua pihak merenung.
Malam itu, Sekar menghampiri Arga di beranda. “Kamu tahu, Ga… pilihan ini bisa membuat sebagian warga berbalik menentangmu.”
Arga tersenyum tipis. “Kalau itu harga untuk mempertahankan kebebasan, aku siap. Tapi aku juga siap kalau nanti aku harus membayar mahal untuk keputusan ini.”
Dan di kejauhan, suara gonggongan anjing bercampur dengan desir angin malam, seolah mengingatkan bahwa badai belum benar-benar reda.
Share this novel