Matahari pagi memantulkan cahaya ke hamparan padi yang menguning. Suara sabit dan tawa bercampur di udara. Panen kali ini terasa istimewa: untuk pertama kalinya, semua hasil akan masuk ke koperasi gabungan dengan skema pembagian keuntungan yang baru disepakati.
Truk-truk kecil hilir mudik membawa karung gabah ke gudang utama. Sekar mencatat setiap setoran di buku besar dan di aplikasi sederhana yang baru mereka uji coba. Petani tampak antusias — sebagian karena harga pasar sedang naik, sebagian lagi karena penasaran apakah sistem baru ini benar-benar adil.
Namun, saat data setoran mulai terkumpul, muncul kejutan: jumlah gabah yang masuk jauh lebih besar dari perkiraan. Beberapa petani ternyata menyetor hasil panen dari lahan tambahan yang sebelumnya tidak terdaftar di koperasi.
“Kalau begini, pembagian keuntungan bisa berubah drastis,” gumam Arga sambil menatap angka-angka di papan.
Bu Ratna mengernyit. “Kita harus pastikan semua setoran itu sah. Kalau tidak, petani yang jujur akan merasa dirugikan.”
Di sisi lain, kabar tentang hasil panen melimpah ini mulai terdengar di luar desa. Dua pembeli besar dari kota mengirim utusan untuk menawarkan harga lebih tinggi daripada kontrak yang sudah disepakati koperasi. Beberapa anggota mulai bertanya-tanya, “Kenapa kita tidak jual sebagian ke mereka saja? Lumayan untuk tambahan.”
Sekar melihat tanda-tanda bahaya. “Kalau kita mulai melanggar kesepakatan di musim pertama, kepercayaan akan runtuh sebelum sempat tumbuh,” katanya di rapat singkat malam itu.
Panen memang membawa kegembiraan, tapi juga godaan. Dan di tengah tumpukan karung gabah yang menggunung di gudang, Arga sadar: ujian terbesar koperasi gabungan ini bukanlah saat mesin macet atau saat harga jatuh… melainkan saat hasil melimpah dan semua orang merasa punya alasan untuk mengambil jalan sendiri.
Panen besar yang baru saja selesai membuat gudang utama penuh sesak. Karung-karung gabah tersusun sampai hampir menyentuh atap. Di atas kertas, semua hasil ini akan dijual melalui koperasi gabungan sesuai kesepakatan.
Namun, Sekar mulai mendengar kabar dari para buruh angkut: ada beberapa anggota yang diam-diam mengeluarkan sebagian gabah lewat pintu belakang gudang barat pada malam hari. Truk kecil tanpa tanda koperasi datang, memuat karung, lalu pergi tanpa catatan resmi.
Arga memutuskan untuk memeriksa sendiri. Suatu malam, ia bersama dua pemuda desa mengintai dari kejauhan. Benar saja, ia melihat dua anggota koperasi sedang memuat karung ke truk yang dikemudikan orang luar.
Keesokan paginya, Arga memanggil mereka ke balai desa.
“Kalian tahu aturan. Semua hasil panen harus masuk koperasi,” katanya tegas.
Salah satu dari mereka menunduk, lalu berkata lirih, “Harga yang mereka tawarkan lebih tinggi, Ga. Kami butuh uang cepat untuk bayar utang. Kalau lewat koperasi, harus tunggu pembagian.”
Bu Ratna yang hadir di pertemuan itu terdiam lama. Ia paham alasan mereka, tapi juga tahu jika pembiaran terjadi, koperasi akan kehilangan wibawa.
“Kalau kita biarkan, besok semua orang akan ikut-ikutan,” ujarnya.
Arga menghadapi dilema: menindak tegas berarti memberi sanksi, yang bisa memicu kemarahan dan perpecahan baru. Tapi mencari jalan damai berarti memberi sinyal bahwa aturan bisa dilanggar jika ada alasan pribadi.
Akhirnya, ia mengusulkan solusi sementara: gabah yang sudah keluar harus dikembalikan atau dibayar ke koperasi sesuai harga kontrak, dan koperasi akan membuat mekanisme pembayaran sebagian di muka bagi anggota yang benar-benar butuh dana cepat.
Keputusan itu diterima setengah hati. Beberapa menganggap Arga terlalu lunak, yang lain merasa ia masih terlalu keras. Tapi setidaknya, untuk saat ini, pintu belakang gudang kembali terkunci.
Malamnya, Arga duduk di beranda, memandangi jalan desa yang sepi. Ia tahu, menjaga koperasi tetap utuh bukan hanya soal membuat aturan… tapi juga soal memahami alasan di balik setiap pelanggaran. Dan itu, kadang, jauh lebih rumit daripada menghitung keuntungan.
Awalnya, kebijakan pembayaran di muka terasa seperti angin segar. Petani yang butuh uang cepat bisa mendapat sebagian hasil penjualan sebelum pembeli melunasi. Kepercayaan sempat naik, dan pintu belakang gudang tetap terkunci.
Namun, seiring berjalannya waktu, permintaan pembayaran di muka semakin banyak. Tidak hanya dari mereka yang benar-benar terdesak, tapi juga dari anggota yang melihatnya sebagai cara aman mendapatkan uang lebih cepat.
Sekar yang mengurus pembukuan mulai gelisah. “Saldo kas kita tinggal cukup untuk satu kali pembayaran ke pembeli. Kalau mereka telat transfer, kita bisa macet bayar,” katanya di rapat pengurus.
Arga menghela napas. “Kita tidak bisa tarik kebijakan ini tiba-tiba, nanti orang merasa dikhianati.”
Bu Ratna menimpali, “Tapi kalau kita biarkan, koperasi bisa bangkrut sebelum musim tanam berikutnya.”
Mereka mulai mencari solusi:
- Pinjaman lunak dari koperasi tetangga di Sukamaju.
- Menjual sebagian stok cadangan lebih awal untuk menambah kas.
- Mengajukan dana bergulir ke dinas pertanian kabupaten.
Masalahnya, setiap opsi punya risiko. Pinjaman berarti utang yang harus dibayar, menjual stok lebih awal bisa mengurangi keuntungan, dan dana bergulir dari pemerintah sering datang terlambat.
Di luar rapat, gosip mulai beredar bahwa koperasi sedang “sekarat”. Beberapa anggota mulai khawatir dan kembali melirik pembeli luar.
Malam itu, Arga duduk di gudang yang setengah gelap, menatap tumpukan karung gabah. Ia sadar, menjaga koperasi tetap hidup bukan hanya soal mengatur harga dan stok — tapi juga menjaga aliran uang tetap sehat. Dan itu, di desa yang baru belajar bersatu, adalah ujian yang tak kalah berat dari badai hama atau mesin macet.
Ide itu muncul di rapat pengurus yang tegang. Kas koperasi menipis, sementara pembayaran dari pembeli utama belum cair. Arga mengusulkan sesuatu yang belum pernah mereka coba: pasar gabah terbuka di Sumberjati.
“Bukan lelang liar,” tegasnya, “tapi acara resmi koperasi. Semua pembeli datang ke sini, menawar di tempat, dan kita tetap jual secara kolektif. Bedanya, uang muka bisa langsung masuk kas.”
Bu Ratna awalnya ragu. “Kalau pembeli saling bersaing di sini, harga bisa naik… tapi juga bisa memicu kecurigaan antar anggota.”
Sekar menimpali, “Kalau kita atur transparan, semua orang bisa lihat prosesnya. Tidak ada pintu belakang.”
Persiapan dimulai. Lapangan dekat sawah disulap jadi area pasar: tenda-tenda biru dipasang, timbangan besar dipindahkan dari gudang, dan papan harga disiapkan. Warga gotong royong, sebagian menyiapkan makanan untuk tamu, sebagian mengatur jalur masuk truk.
Hari pasar tiba. Dari pagi, truk pembeli mulai berdatangan: ada yang dari kota kabupaten, ada yang dari luar provinsi. Mereka berjalan di antara tumpukan karung gabah, memeriksa kualitas, lalu menuliskan penawaran di papan yang disediakan.
Suasana panas tapi penuh energi. Petani tersenyum melihat angka-angka di papan perlahan naik. Bahkan pembeli utama koperasi ikut hadir, tampak berusaha mempertahankan harga kontraknya.
Menjelang sore, penawaran tertinggi diumumkan. Sebagian gabah dijual langsung di tempat, uang muka masuk kas koperasi, dan sisanya tetap disalurkan sesuai kontrak awal. Kas yang tadinya kritis kini cukup aman untuk membayar kebutuhan mendesak.
Namun, di tengah kegembiraan, Arga memperhatikan sesuatu: dua pembeli yang kalah dalam penawaran tampak berbicara serius dengan beberapa anggota koperasi di sudut lapangan. Ia tidak mendengar isi percakapan, tapi tatapan mereka mengingatkannya pada masa-masa ketika desa ini hampir terpecah.
Malamnya, saat tenda-tenda dibongkar, Bu Ratna berkata pelan, “Pasar ini menyelamatkan kita hari ini… tapi juga membuka pintu baru. Kita harus siap kalau ada yang mencoba masuk lewat celah itu.”
Arga mengangguk. Ia tahu, kemenangan hari ini hanyalah satu babak dalam permainan panjang menjaga Sumberjati tetap utuh.
Share this novel