Completed
256
Hanya seminggu setelah pertemuan rahasia dengan Pak Surya, tanda-tanda dukungan mulai terlihat. Beberapa koperasi dari Jawa Tengah dan Sumatera mengirim pesan solidaritas, menawarkan untuk ikut menyebarkan cerita Sumberjati di jaringan mereka.
Media alternatif mulai menulis artikel tentang “desa kecil yang berani melawan raksasa pangan”, dan pesanan online Sumberjati melonjak lagi. Bahkan ada pembeli dari luar negeri yang tertarik mencoba, setelah membaca kisah mereka di sebuah blog pertanian internasional.
Namun, bersamaan dengan itu, tekanan juga meningkat:
- Petugas dari dinas perdagangan datang mendadak untuk “inspeksi kualitas” yang berlangsung berjam-jam, memeriksa gudang dan dokumen penjualan.
- Surat panggilan klarifikasi dari kepolisian daerah tiba, terkait laporan pencemaran nama baik yang diajukan PT Graha Pangan Nusantara.
- Beberapa pemasok bahan kemasan mengaku mendapat “saran” dari pihak tertentu untuk berhati-hati bekerja sama dengan Sumberjati.
Sekar menatap tumpukan surat di meja koperasi. “Mereka tidak menyerang langsung, tapi membuat kita sibuk di semua sisi. Kalau kita lengah, kita akan kehabisan tenaga sebelum panen berikutnya.”
Pak Surya dari asosiasi menghubungi lewat telepon. “Ini pola yang sudah kami lihat berkali-kali. Kuncinya adalah bertahan sampai mereka sadar kalian tidak akan mundur. Kami akan kirim tim hukum dan media untuk membantu.”
Arga mengangguk, meski wajahnya tegang. “Kita harus pastikan warga tetap tenang. Kalau mereka panik, semua ini bisa runtuh dari dalam.”
Malam itu, di balai desa, Arga berbicara di depan warga:
> “Kita sedang menghadapi badai. Tapi ingat, badai tidak selamanya. Yang penting, kita tetap memegang kemudi.”
Sorak kecil terdengar, tapi di mata sebagian warga, Arga bisa melihat kekhawatiran yang dalam. Ia tahu, gelombang dukungan memang menguatkan, tapi bayangan tekanan yang mengintai bisa saja memecah belah desa jika mereka tidak hati-hati.
Pagi itu, dua mobil berwarna gelap berhenti di depan balai desa. Dari dalam turun tiga orang: Maya, pengacara muda dengan tatapan tajam; Rudi, mantan jurnalis investigasi yang kini menjadi konsultan media; dan Pak Surya sendiri, ketua asosiasi.
Mereka langsung menggelar rapat tertutup bersama pengurus koperasi. Maya memaparkan strategi hukum: mengumpulkan bukti serangan daring, testimoni pembeli, dan dokumentasi proses produksi untuk membangun kasus pencemaran nama baik yang solid.
> “Kita tidak hanya bertahan, kita juga bisa balik menyerang jika bukti cukup kuat,” ujarnya.
Rudi kemudian memaparkan rencana media. “Kita akan undang dua jurnalis nasional untuk tinggal di Sumberjati selama seminggu. Mereka akan melihat langsung kehidupan petani, proses panen, dan perjuangan koperasi. Liputan ini akan tayang di media arus utama, sehingga publik bisa menilai sendiri siapa yang jujur.”
Beberapa pengurus tampak ragu. “Kalau wartawan tinggal di sini, semua akan terekspos. Termasuk kekurangan kita,” kata Bu Ratna.
Rudi tersenyum. “Justru itu yang membuat cerita kalian kuat. Kejujuran lebih meyakinkan daripada citra sempurna.”
Sore harinya, kabar kedatangan tim asosiasi menyebar cepat di desa. Sebagian warga antusias, merasa ini kesempatan emas untuk menunjukkan kerja keras mereka. Namun, ada juga yang khawatir liputan ini akan memancing reaksi lebih keras dari pihak lawan.
Arga menenangkan mereka. “Kita tidak bisa terus bersembunyi. Kalau kita ingin bertahan, kita harus berani bercerita. Biar orang luar tahu, beras ini lahir dari tanah dan keringat kita sendiri.”
Malam itu, di teras rumahnya, Arga memandang lampu-lampu rumah warga yang berkelip di kejauhan. Ia sadar, dalam beberapa hari ke depan, Sumberjati akan berada di bawah sorotan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya — dan sekali sorotan itu datang, tidak akan ada jalan untuk kembali ke bayang-bayang.
Dua jurnalis nasional, Laras dan Bima, tiba di Sumberjati dengan ransel besar dan kamera. Mereka memilih tinggal di rumah warga, makan bersama, dan ikut ke sawah sejak subuh.
Hari-hari pertama, liputan mereka penuh warna:
- Laras merekam Mak Siti menanam padi sambil bercerita tentang suaminya yang dulu ikut membangun irigasi desa.
- Bima memotret anak-anak membantu orang tua menjemur gabah di halaman rumah.
- Mereka menulis tentang gotong royong, aroma tanah basah, dan tawa di tengah kerja keras.
Cerita-cerita itu cepat menyebar di media sosial, membuat banyak orang di kota terharu. Pesanan beras Sumberjati kembali melonjak.
Namun, pada hari keempat, Laras mewawancarai Pak Roni, seorang petani tua yang jarang bicara di forum desa. Di depan kamera, ia menceritakan masa lalu yang pahit:
> “Dulu, sebelum koperasi berdiri, saya pernah menjual sawah saya ke tengkulak karena terjerat utang. Tengkulak itu sekarang jadi pemasok besar di kota… dan dia tidak pernah lupa bahwa saya pernah ‘menyerah’.”
Nama yang disebut Pak Roni adalah salah satu direktur di PT Graha Pangan Nusantara. Cerita itu, meski disampaikan dengan nada pribadi, langsung menjadi bahan sensitif.
Keesokan harinya, akun-akun anonim mulai memelintir wawancara itu: menuduh Sumberjati “menyimpan dendam pribadi” dan “menggunakan media untuk menyerang individu”.
Sekar panik. “Kalau mereka memanfaatkan ini, mereka bisa bilang kita sengaja memfitnah orang tertentu.”
Rudi, konsultan media, mencoba menenangkan. “Kita harus kendalikan narasi. Fokuskan liputan pada kehidupan petani, bukan konflik personal. Tapi kita juga tidak bisa menghapus fakta yang sudah keluar.”
Arga duduk lama malam itu, memandangi catatan wawancara. Ia tahu, kejujuran adalah kekuatan cerita Sumberjati — tapi juga bisa menjadi celah yang dimasuki lawan.
Surat panggilan resmi dari pengadilan tiba di balai desa. Isinya: PT Graha Pangan Nusantara mengajukan gugatan pencemaran nama baik terhadap koperasi Sumberjati dan secara khusus menyebut nama Pak Roni sebagai pihak yang “menyebarkan fitnah” melalui media.
Di ruang rapat koperasi, suasana tegang. Pak Roni duduk di ujung meja, menunduk. “Saya tidak bermaksud memfitnah. Saya hanya bercerita apa yang saya alami,” ucapnya lirih.
Maya, pengacara dari asosiasi, menjelaskan situasinya. “Secara hukum, kita bisa membela Pak Roni. Pernyataan beliau adalah pengalaman pribadi, dan itu dilindungi. Tapi prosesnya akan panjang, melelahkan, dan bisa menguras sumber daya koperasi.”
Sekar menatap Arga. “Kalau kita mundur dan minta maaf, mungkin gugatan dicabut. Tapi itu berarti kita mengorbankan kebenaran dan membiarkan mereka menang secara moral.”
Bu Ratna menimpali, “Kalau kita maju, kita mempertahankan prinsip, tapi risiko finansial dan mentalnya besar — bukan hanya untuk koperasi, tapi untuk Pak Roni dan keluarganya.”
Pak Roni mengangkat wajahnya. “Kalau demi desa saya harus mundur, saya rela. Saya sudah tua, yang penting kalian semua tetap bisa jalan.”
Arga menggeleng. “Bukan begitu caranya. Kalau kita biarkan satu orang dikorbankan, besok mereka akan mencari korban berikutnya.”
Setelah diskusi panjang, koperasi memutuskan:
- Membela Pak Roni secara penuh dengan dukungan tim hukum asosiasi.
- Menggalang dana solidaritas dari warga dan pembeli setia untuk biaya hukum.
- Menggunakan momentum ini untuk mengangkat isu kebebasan petani berbicara di media.
Malam itu, Arga menulis di buku catatannya: “Kadang, mempertahankan satu orang berarti mempertahankan seluruh desa. Dan kadang, harga dari kebenaran adalah tidur yang hilang dan hari-hari penuh cemas.”
Share this novel