Keesokan harinya setelah forum, Pak Lurah membentuk tim kecil untuk menyelidiki dugaan suap dan intimidasi menjelang voting. Tim ini terdiri dari perwakilan kedua koperasi, tokoh agama, dan pemuda desa. Arga dan Bu Ratna sama-sama setuju, meski keduanya tahu hasilnya bisa memukul salah satu pihak.
Selama beberapa hari, tim bergerak diam-diam. Mereka mendatangi warga yang mengaku menerima “bantuan” dan mencatat ciri-ciri orang yang datang. Dari keterangan yang terkumpul, muncul pola: sebagian besar “utusan” mengenakan pakaian biasa, tapi selalu datang membawa map biru dengan logo samar.
Namun, kejutan datang ketika salah satu warga, Pak Damin, mengaku bahwa ia menerima uang bukan dari orang luar, melainkan dari tetangganya sendiri — yang kebetulan adalah anggota koperasi Bu Ratna.
“Dia bilang ini titipan dari ‘orang kota’ yang mau bantu. Katanya, kalau saya setuju di voting, nanti bantuan akan rutin,” ujar Pak Damin.
Tim kemudian memanggil anggota koperasi tersebut. Awalnya ia mengelak, tapi setelah didesak, ia mengaku menerima bayaran untuk membagikan uang dan pupuk dari seorang pria yang mengaku bekerja untuk Tuan Surya.
“Saya cuma disuruh bagi-bagi. Saya pikir ini memang bantuan resmi,” katanya, suaranya gemetar.
Kabar ini menyebar cepat. Warga terkejut mengetahui bahwa permainan pihak luar ternyata melibatkan orang dalam. Kepercayaan yang sudah rapuh kini semakin retak — bukan hanya antara dua koperasi, tapi juga di dalam masing-masing kubu.
Malam itu, Arga dan Bu Ratna bertemu di teras rumah Pak Lurah.
“Kalau kita biarkan, voting minggu depan akan jadi sandiwara,” kata Arga.
Bu Ratna mengangguk, wajahnya muram. “Tapi kalau kita tunda, desa akan makin terpecah. Orang akan bilang kita sengaja mengulur waktu.”
Di kejauhan, suara jangkrik bercampur dengan dengung lampu neon. Mereka tahu, apa pun keputusan soal voting, sekarang ada luka baru yang harus disembuhkan — luka yang datang dari dalam pagar sendiri.
Setelah hasil penyelidikan mengungkap adanya orang dalam yang menjadi perantara pihak luar, Arga dan Bu Ratna sadar bahwa melanjutkan voting minggu depan hanya akan memperdalam luka. Mereka bertemu di rumah Pak Lurah, ditemani Sekar dan beberapa tokoh desa.
“Kalau kita paksakan voting, hasilnya akan selalu dipertanyakan,” kata Arga.
Bu Ratna mengangguk. “Kita butuh proses yang semua orang bisa percaya. Dan itu berarti harus ada mata netral yang mengawasi.”
Mereka sepakat mengundang perwakilan dari koperasi tetangga di desa Sukamaju yang dikenal bersih dari konflik, serta seorang mediator dari dinas pertanian kabupaten. Tujuannya jelas: memfasilitasi musyawarah terbuka, di mana semua warga bisa bicara tanpa takut diintimidasi.
Hari musyawarah tiba. Balai desa diatur dengan meja panjang di tengah, kursi melingkar, dan papan tulis besar untuk mencatat semua usulan. Tidak ada spanduk, tidak ada simbol kubu. Hanya satu tulisan di papan: “Masa Depan Sumberjati”.
Mediator dari kabupaten membuka acara dengan aturan sederhana:
1. Semua orang boleh bicara, tapi tidak boleh memotong pembicaraan orang lain.
2. Semua tuduhan harus disertai bukti atau saksi.
3. Keputusan akhir akan diambil setelah semua suara terdengar, tanpa paksaan.
Awalnya, suasana kaku. Warga masih saling melirik dengan curiga. Tapi perlahan, satu per satu mulai bicara. Ada yang mengungkap kekhawatiran soal harga, ada yang menceritakan pengalaman pahit saat panen gagal, ada pula yang mengaku takut kehilangan kemandirian.
Ketika giliran Bu Ratna, ia berdiri dan berkata, “Saya tahu banyak dari kalian kecewa pada saya. Tapi saya juga ingin desa ini kuat. Kalau kita terus saling curiga, kita akan jadi mangsa empuk bagi siapa pun yang datang membawa janji.”
Arga menambahkan, “Kita boleh berbeda pendapat, tapi jangan sampai perbedaan itu membuat kita kehilangan kendali atas tanah dan hasil panen kita sendiri.”
Musyawarah berlangsung hingga malam. Tidak ada keputusan final hari itu, tapi untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, warga duduk di ruangan yang sama, mendengarkan satu sama lain tanpa teriakan atau dorongan.
Di luar, angin malam membawa aroma padi muda. Sekar tersenyum tipis pada Arga. “Mungkin ini langkah kecil… tapi setidaknya kita mulai berjalan ke arah yang sama.”
Setelah dua hari musyawarah terbuka, warga mulai menemukan titik temu. Usulan yang paling banyak mendapat dukungan adalah membentuk koperasi gabungan yang menaungi semua petani Sumberjati, dengan sistem pengawasan ganda: satu tim dari kubu Arga, satu tim dari kubu Bu Ratna, dan satu perwakilan netral dari luar desa.
Tujuannya jelas:
- Menghindari monopoli keputusan oleh satu pihak.
- Menjamin transparansi harga, pembelian, dan distribusi.
- Menyatukan kekuatan agar pembeli besar tidak lagi bisa memecah belah.
Awalnya, ide ini disambut tepuk tangan. Tapi ketika pembahasan masuk ke detail, masalah mulai muncul.
Siapa yang akan menjadi ketua? Bagaimana pembagian keuntungan? Apakah gudang lama akan dipakai bersama atau tetap terpisah?
Di rapat pertama tim gabungan, Arga mengusulkan agar jabatan ketua dirotasi setiap enam bulan.
Bu Ratna setuju, tapi menekankan bahwa rotasi harus diikuti dengan pembagian tugas yang jelas. “Kalau tidak, setiap pergantian akan jadi ajang bongkar pasang kebijakan,” ujarnya.
Beberapa anggota muda mengusulkan sistem digital untuk mencatat semua transaksi, agar semua pihak bisa memantau secara real time. Namun, sebagian petani senior merasa itu terlalu rumit dan khawatir akan “membuka semua rahasia dagang” ke pihak luar.
Di luar rapat, gosip mulai beredar. Ada yang bilang Arga hanya setuju koperasi gabungan untuk mengamankan posisinya, ada pula yang menuduh Bu Ratna ingin memanfaatkan sistem baru untuk mengembalikan pengaruhnya.
Sekar, yang menjadi salah satu penghubung antar tim, mulai merasakan betapa rapuhnya kesepakatan ini. “Kita memang sudah di bawah satu atap,” katanya pada Arga suatu sore, “tapi kalau fondasinya masih retak, atap ini bisa runtuh kapan saja.”
Arga menatap sawah yang mulai menghijau. Ia tahu, musim tanam kali ini akan menjadi ujian pertama — apakah koperasi gabungan ini benar-benar bisa bekerja… atau hanya menjadi panggung baru untuk persaingan lama.
Musim tanam kali ini terasa berbeda. Untuk pertama kalinya sejak konflik panjang, semua petani Sumberjati berada di bawah satu koperasi gabungan. Meski masih ada rasa canggung, mereka mencoba bekerja sesuai jadwal tanam yang disepakati bersama.
Gudang utama — yang kini dipakai bersama — menjadi pusat aktivitas. Di sanalah gabah hasil panen awal dari sawah-sawah yang ditanam lebih dulu mulai masuk. Mesin pengering yang dibeli dari dana gabungan menjadi andalan, karena hujan akhir musim masih sering turun.
Namun, pada suatu sore, saat mesin sedang bekerja penuh, terdengar suara dentuman keras diikuti bau gosong. Operator berteriak, “Mesinnya macet! Sabuk penggeraknya putus!”
Panik langsung menyebar. Jika gabah tidak segera dikeringkan, kelembapan akan memicu jamur dan menurunkan kualitas. Masalahnya, suku cadang mesin itu hanya ada di kota, dan butuh waktu minimal dua hari untuk mendapatkannya.
Arga segera memanggil rapat darurat di gudang.
“Kita tidak punya waktu dua hari. Kalau gabah ini rusak, kita rugi besar,” katanya.
Bu Ratna menimpali, “Gudang barat punya mesin lama. Tidak secepat ini, tapi masih bisa dipakai. Masalahnya, kapasitasnya kecil.”
Rian, dari kubu Arga, mengusulkan ide: memindahkan sebagian gabah ke gudang barat untuk dikeringkan, sementara sisanya dijemur manual di halaman gudang timur dengan terpal besar.
Beberapa orang keberatan — memindahkan gabah berarti kerja ekstra, dan jemur manual butuh tenaga banyak.
Akhirnya, tanpa banyak pilihan, kedua kubu setuju. Malam itu juga, truk-truk kecil mengangkut karung gabah ke gudang barat, sementara halaman gudang timur dipenuhi warga yang membentangkan terpal dan menyalakan lampu sorot untuk kerja lembur.
Pemandangan itu aneh tapi menghangatkan: orang-orang yang dulu saling curiga kini bekerja bahu-membahu, mengoper karung, membalik gabah, dan saling menyodorkan air minum.
Menjelang subuh, Bu Ratna berdiri di samping Arga, melihat warga yang masih sibuk.
“Kalau saja kita bisa selalu seperti ini,” katanya pelan.
Arga tersenyum tipis. “Mungkin kita bisa… kalau kita ingat bahwa yang kita lawan bukan satu sama lain, tapi waktu dan cuaca.”
Share this novel