Kereta yang membawa Sekar dari kota berhenti di stasiun kecil di kabupaten. Dari sana, ia melanjutkan perjalanan dengan angkot dan ojek, melewati jalanan yang semakin sepi, sawah yang mulai menguning, dan udara yang kembali terasa akrab.
Begitu sampai di desa, beberapa tetangga langsung menyapanya. Ada yang tersenyum ramah, ada pula yang tatapannya penuh rasa ingin tahu.
“Wah, sudah pulang, Kar? Kota gimana?” tanya seorang ibu sambil menenteng belanjaan.
“Ramai, Bu… tapi tetap lebih enak di sini,” jawab Sekar sambil tersenyum.
Namun, ia bisa merasakan bisik-bisik yang mengikuti langkahnya. Ada yang berasumsi ia gagal “menaklukkan” kota, ada yang beranggapan ia pasti akan segera menyusul Arga lagi. Sekar memilih tidak menanggapi.
Di rumah, ibunya menyambut dengan pelukan hangat. “Lihat? Pulang itu selalu menenangkan,” ucapnya. Sekar tersenyum, tapi di dalam hati ia tahu, pulang kali ini berbeda. Ia membawa pulang rasa rindu pada desa, tapi juga kenangan yang belum selesai dengan Arga.
Malam itu, ia duduk di beranda, memandangi bintang-bintang yang jauh lebih jelas daripada di kota. Suara jangkrik dan aroma tanah basah kembali memenuhi inderanya. Namun, di sela-sela keheningan itu, ia teringat pada lampu-lampu kota, pada tatapan Arga saat ia mengucapkan selamat tinggal.
Sekar sadar, meski ia sudah kembali, hatinya belum sepenuhnya menetap. Ada bagian dari dirinya yang masih menunggu — entah menunggu Arga datang, atau menunggu keberanian untuk melangkah lagi.
Tiga minggu setelah kepulangannya, Sekar mulai kembali ke rutinitas: membantu ibunya di pasar, menjemur padi, dan sesekali berbincang dengan Siti di sore hari. Meski begitu, setiap malam sebelum tidur, pikirannya selalu melayang pada Arga.
Suatu siang, ketika Sekar sedang menata sayur di lapak, seorang tukang pos datang membawa sebuah amplop cokelat.
“Dari Bandung,” katanya singkat.
Sekar membukanya perlahan. Di dalamnya ada surat tulisan tangan Arga, rapi dan tegas:
> _Sekar,
> Aku tahu kamu butuh waktu. Tapi aku juga tahu, aku tidak ingin hidup tanpa mencoba memperjuangkan kita. Minggu depan, aku akan datang ke desa. Bukan untuk proyek, tapi untuk bicara dengan keluargamu… dan dengan seluruh desa, jika perlu._
Sekar memegang surat itu lama. Ada rasa hangat yang merayap di dadanya, tapi juga kegelisahan. Ia tahu, kedatangan Arga akan menjadi sorotan besar. Warga akan menilai, membicarakan, bahkan mungkin menguji kesungguhan pria itu.
Sore harinya, ia menceritakan isi surat pada ibunya. Sang ibu hanya tersenyum tipis.
“Kalau dia berani datang dan bicara di depan semua orang, itu artinya dia sungguh-sungguh. Tapi kamu juga harus siap, Kar. Karena setelah itu, hidupmu tidak akan sama lagi.”
Malam itu, Sekar duduk di beranda, memandangi jalan desa yang sepi. Angin membawa aroma padi yang hampir panen. Ia menggenggam surat itu erat-erat, sambil bertanya pada dirinya sendiri: apakah ia siap membuka pintu untuk Arga kembali, atau justru menutup cerita ini selamanya.
Pagi itu, udara desa terasa lebih tegang dari biasanya. Kabar bahwa Arga akan datang sudah menyebar sejak kemarin, dan hampir semua warga penasaran. Ada yang menunggu di warung kopi, ada yang sengaja berdiri di pinggir jalan, pura-pura menyapu halaman.
Sekar berdiri di beranda rumah, mengenakan kebaya sederhana berwarna biru muda. Tangannya dingin, meski matahari sudah mulai meninggi. Ibunya menepuk bahunya pelan.
“Kalau dia sungguh-sungguh, biarkan dia membuktikannya sendiri.”
Tak lama kemudian, suara mobil terdengar mendekat. Arga turun, mengenakan kemeja putih dan celana kain. Wajahnya serius, tapi matanya mencari Sekar begitu kakinya menginjak tanah desa.
Tanpa banyak basa-basi, Arga berjalan menuju balai desa, di mana kepala desa dan beberapa tokoh masyarakat sudah menunggu. Warga berkerumun di luar, ingin tahu apa yang akan terjadi.
Di hadapan semua orang, Arga berdiri tegak.
“Saya datang bukan untuk proyek, tapi untuk bicara tentang Sekar,” suaranya lantang, membuat bisik-bisik langsung terhenti. “Saya menghormati desa ini, dan saya menghormati keluarganya. Saya ingin semua orang tahu, niat saya pada Sekar serius. Saya siap menyesuaikan diri, bahkan tinggal di sini, jika itu yang membuatnya bahagia.”
Sekar yang berdiri di belakang ibunya merasakan dadanya bergetar. Ia tak pernah membayangkan Arga akan berbicara sejujur itu di depan semua orang.
Kepala desa menatap Arga lama, lalu berkata, “Kata-kata itu mudah diucapkan, tapi butuh waktu untuk membuktikannya. Desa ini akan melihat, apakah kamu benar-benar bisa menjadi bagian dari kami.”
Arga mengangguk mantap. “Saya siap.”
Sore itu, meski belum ada jawaban pasti, Sekar tahu satu hal: Arga telah mengambil langkah yang tidak semua orang berani lakukan. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa mungkin… mereka punya kesempatan.
Sejak hari itu, Arga benar-benar menetap sementara di desa. Ia menyewa kamar di rumah Pak Darto, tak jauh dari rumah Sekar. Setiap pagi, ia ikut warga pergi ke sawah, bukan untuk memimpin seperti di proyek, tapi untuk belajar menanam padi dari awal.
Awalnya, beberapa warga hanya mengamati dari jauh, setengah tak percaya. Melihat pria kota bersepatu mahal kini berkaki telanjang di lumpur adalah pemandangan yang jarang. Namun, perlahan, sikap mereka mulai melunak. Arga tak segan mengangkat karung pupuk, membantu memperbaiki pagar bambu, bahkan ikut ronda malam.
Sekar memperhatikannya dari kejauhan. Ada rasa bangga, tapi juga khawatir. Ia tahu, kehidupan desa tidak mudah. Dan ia ingin melihat apakah Arga benar-benar sanggup bertahan, bukan hanya demi membuktikan sesuatu padanya.
Suatu sore, mereka duduk di tepi pematang, memandangi matahari yang tenggelam di balik hamparan padi.
“Capek?” tanya Sekar sambil tersenyum.
Arga mengangguk, tertawa kecil. “Capek sekali. Tapi entah kenapa, rasanya… menyenangkan. Lebih nyata.”
Sekar menatapnya lama. “Hidup di sini bukan hanya soal pemandangan indah, Arga. Ada musim paceklik, ada banjir, ada kerja keras yang kadang tak sebanding dengan hasil.”
“Aku tahu,” jawab Arga mantap. “Tapi aku juga tahu, aku ingin mencoba. Bukan hanya untuk kamu, tapi untuk diriku sendiri.”
Di kejauhan, suara azan magrib berkumandang. Sekar menunduk, merasakan hatinya mulai luluh. Ia sadar, mungkin Arga benar-benar berbeda dari yang ia kira. Tapi ia juga tahu, ujian sesungguhnya belum datang — ujian yang akan menentukan apakah Arga bisa benar-benar menjadi bagian dari desa ini.
Malam itu, desa terlelap di bawah cahaya bulan separuh. Angin berhembus pelan, membawa aroma padi yang hampir panen. Sekar baru saja memadamkan lampu ketika suara teriakan dari arah kandang sapi Pak Darto memecah keheningan.
“Pencuri! Pencuri sapi!”
Warga berhamburan keluar rumah, sebagian membawa senter, sebagian lagi memegang bambu atau parang. Arga, yang sedang membaca di kamar sewanya, langsung berlari keluar tanpa pikir panjang.
Di tepi jalan dekat kebun pisang, beberapa warga sudah mengepung dua orang asing yang mencoba kabur. Salah satunya berhasil meloloskan diri, tapi yang lain terjatuh setelah kakinya tersangkut akar. Arga ikut membantu menahan pelaku, meski bajunya robek dan lengannya tergores ranting.
Pak Darto terengah-engah. “Kalau tadi kamu nggak ikut bantu, Ga, mungkin sapi saya sudah hilang.”
Arga hanya mengangguk, napasnya masih memburu. “Kita semua harus saling jaga di sini.”
Kepala desa yang datang belakangan melihat kejadian itu dengan mata sendiri. Warga yang sebelumnya ragu mulai berbisik-bisik, kali ini dengan nada berbeda.
“Orang kota itu ternyata berani juga.”
“Bukan cuma omong doang.”
Sekar yang berdiri di pinggir kerumunan menatap Arga lama. Ada rasa lega, bangga, dan… harapan. Ia tahu, malam ini Arga tidak hanya membuktikan niatnya padanya, tapi juga pada seluruh desa.
Saat semua kembali ke rumah masing-masing, Arga berjalan mendekat. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Sekar.
Sekar tersenyum tipis. “Harusnya aku yang tanya itu. Lenganmu berdarah.”
Arga tertawa kecil. “Luka kecil. Yang penting, kita bisa menjaga apa yang berharga di sini.”
Dan malam itu, di bawah langit desa yang kembali tenang, Sekar mulai percaya bahwa mungkin, Arga benar-benar bisa menjadi bagian dari hidupnya — bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai seseorang yang siap tinggal dan bertahan.
Share this novel