Setelah kebocoran strategi yang merugikan desa, Arga memutuskan untuk mengubah format Lingkar Dukungan Desa. Ia mengumumkan bahwa mulai sekarang akan ada dua jenis rapat:
1. Rapat Terbuka – membahas laporan umum, perkembangan lumbung, dan kegiatan desa.
2. Rapat Strategi – membahas rencana sensitif seperti negosiasi harga, rute distribusi, dan pembeli baru. Rapat ini hanya dihadiri pengurus inti dan perwakilan yang dipilih warga.
Arga berharap ini bisa menjadi jalan tengah: tetap transparan, tapi melindungi informasi penting dari pihak luar.
Namun, tak butuh waktu lama sebelum bisik-bisik mulai terdengar.
“Jadi sekarang ada rapat rahasia?”
“Siapa yang pilih orang-orang di lingkaran dalam itu?”
“Kalau mereka bisa rapat sendiri, apa jaminannya keputusan mereka untuk kepentingan semua?”
Pak Rudi, yang sejak awal sering kritis, menuding di warung kopi, “Kita ini katanya melawan perusahaan yang mau menguasai kita. Tapi sekarang, kita malah punya kelompok kecil yang memegang semua keputusan penting. Bedanya apa?”
Sekar mencoba menjelaskan di rapat terbuka, “Rapat strategi bukan untuk menutup-nutupi, tapi untuk melindungi desa dari kebocoran informasi. Semua hasilnya tetap akan dilaporkan di rapat umum.”
Tapi sebagian warga sudah terlanjur curiga.
Situasi makin rumit ketika seorang anggota rapat strategi terlihat berbicara dengan orang asing di pasar kota. Foto mereka beredar di grup pesan warga, memicu spekulasi liar. Padahal, pertemuan itu hanya kebetulan — tapi di tengah suasana penuh kecurigaan, kebetulan pun mudah dianggap bukti.
Arga mulai merasakan tekanan dari dua sisi: dari warga yang menuntut semua rapat terbuka, dan dari pengurus yang khawatir strategi mereka terus bocor.
Malam itu, di beranda rumah, Sekar berkata pelan, “Ga, kita sedang berjalan di tali tipis. Sedikit saja salah langkah, kita bisa jatuh — entah ke jurang perpecahan, atau ke tangan orang luar.”
Arga menatap gelap sawah, sadar bahwa menjaga keseimbangan ini akan menjadi ujian terberat sejak awal perjuangan mereka.
Sejak format rapat dibagi menjadi terbuka dan tertutup, bisik-bisik soal “lingkaran dalam” makin kencang. Perusahaan besar yang pernah mereka tolak melihat celah ini — dan mulai memanfaatkannya.
Awalnya, mereka mengirim orang-orang yang pura-pura netral untuk bergaul di warung kopi, pasar, dan acara desa. Obrolan mereka selalu mengarah ke satu topik:
“Katanya semua keputusan penting cuma dibahas di rapat rahasia.”
“Kalau begitu, buat apa kita repot-repot datang ke rapat umum?”
Tak lama, selebaran tanpa nama mulai beredar di beberapa rumah. Isinya menuduh pengurus koperasi menyembunyikan keuntungan dan membagi proyek hanya kepada orang-orang tertentu. Tidak ada bukti, tapi bahasa yang digunakan memancing emosi.
Pak Rudi, yang memang kritis sejak awal, mulai mengajak beberapa warga membentuk kelompok “Pemantau Keadilan Desa” — katanya untuk memastikan semua keputusan transparan. Kelompok ini sering mengadakan pertemuan sendiri, dan perlahan, desa terbelah menjadi dua kubu:
- Kubu pendukung pengurus, yang percaya langkah Arga melindungi desa.
- Kubu pemantau, yang curiga ada kepentingan pribadi di balik rapat tertutup.
Sekar melihat pola ini dan berkata pada Arga, “Ga, ini persis seperti yang mereka mau. Kita sibuk saling curiga, mereka tinggal masuk lewat celah.”
Arga mengangguk, tapi wajahnya tegang. “Masalahnya, kalau aku terlalu keras membantah, aku akan terlihat seperti membenarkan tuduhan itu.”
Situasi memuncak ketika sebuah pengiriman beras ke pembeli luar provinsi dibatalkan mendadak. Kabar beredar bahwa pembatalan itu karena “lingkaran dalam” menjual ke pihak lain dengan harga lebih tinggi. Padahal, kenyataannya pembeli mundur karena masalah logistik di pelabuhan. Tapi di tengah suasana panas, kebenaran kalah cepat dari rumor.
Malam itu, Arga duduk di beranda, menatap lampu-lampu rumah yang kini terasa seperti dua dunia terpisah. Ia sadar, jika tidak segera menemukan cara untuk menyatukan kembali warga, desa ini akan runtuh bukan karena serangan dari luar — tapi karena retakan di dalam yang terus diperlebar oleh tangan tak terlihat.
Untuk menghentikan perpecahan yang semakin dalam, Arga menghubungi seorang fasilitator dari LSM pertanian yang pernah membantu desa tetangga. Ia berharap, dengan adanya pihak luar yang netral, kedua kubu bisa duduk bersama tanpa saling serang.
Forum itu digelar di balai desa pada sore hari. Kursi disusun melingkar, tanpa meja pemisah, agar semua merasa setara. Fasilitator memulai dengan meminta setiap orang menyampaikan keluhan dan harapan, tanpa dipotong.
Awalnya berjalan baik. Warga dari kubu “pemantau” mengungkap rasa curiga mereka terhadap rapat tertutup, sementara pendukung pengurus menjelaskan alasan perlunya menjaga kerahasiaan strategi.
Namun, suasana berubah ketika fasilitator meminta semua pihak jujur tentang hubungan mereka dengan pihak luar. Seorang anggota kubu pemantau, yang selama ini vokal menentang “lingkaran dalam”, akhirnya mengaku pernah menerima bantuan pupuk dari perusahaan besar — dan tidak melaporkannya.
“Aku pikir itu cuma bantuan pribadi, tidak ada hubungannya dengan desa,” katanya, tapi suaranya bergetar.
Pengakuan itu membuat ruangan riuh. Beberapa orang langsung menuduhnya sebagai “mata-mata” perusahaan, sementara yang lain membelanya, mengatakan ia hanya korban bujuk rayu.
Sekar mencoba menenangkan, tapi suasana sudah panas. Lalu, tanpa diduga, salah satu anggota pengurus inti juga mengaku pernah bertemu perwakilan perusahaan di kota untuk “mendengar tawaran” — meski ia bersumpah tidak menerima apa pun.
Fasilitator berusaha mengarahkan diskusi kembali ke solusi, tapi jelas forum ini telah membuka luka yang lebih dalam: bahwa pengaruh perusahaan sudah masuk lebih jauh dari yang Arga bayangkan, dan tidak hanya lewat satu kubu.
Malam itu, setelah forum bubar dengan wajah-wajah tegang, Arga duduk di beranda bersama Sekar.
“Kita pikir kita sedang melawan mereka dari luar,” kata Arga pelan. “Ternyata, mereka sudah ada di tengah-tengah kita… dan kita sendiri yang membiarkan pintunya terbuka.”
Sekar menatap gelapnya jalan desa. “Kalau begitu, Ga… mungkin yang harus kita lakukan bukan hanya menutup pintu, tapi juga membersihkan rumah dari dalam.”
Setelah forum terbuka berakhir dengan pengakuan yang mengejutkan, Arga sadar bahwa pengaruh perusahaan sudah meresap terlalu dalam. Ia dan Sekar menghabiskan malam-malam berikutnya menyusun daftar orang yang pernah berhubungan langsung dengan pihak luar, baik secara terang-terangan maupun diam-diam.
Daftar itu membuat dada Arga sesak. Ada nama-nama yang ia kenal sejak kecil, orang-orang yang pernah berdiri bersamanya di saat koperasi hampir runtuh. Bahkan ada satu nama yang selama ini ia anggap sahabat dekat.
Pak Darto, yang duduk di meja kayu kecil di balai desa, berkata tegas, “Kalau kita mau bersih, kita harus siap kehilangan beberapa orang. Kalau tidak, mereka akan terus jadi pintu masuk.”
Arga mengangguk, tapi suaranya berat. “Aku tahu… tapi ini akan melukai banyak hati.”
Langkah pertama adalah membentuk Tim Verifikasi Internal yang terdiri dari warga yang dianggap netral dan tidak punya catatan berhubungan dengan perusahaan. Tugas mereka: memeriksa semua transaksi, bantuan, dan pertemuan yang melibatkan pihak luar selama enam bulan terakhir.
Kabar pembentukan tim ini cepat menyebar. Sebagian warga mendukung, tapi sebagian lagi merasa ini seperti “perburuan penyihir”.
“Kalau kita mulai saling memeriksa, kapan kita akan saling percaya lagi?” tanya seorang ibu di warung.
Puncaknya, ketika tim verifikasi memanggil salah satu pengurus koperasi yang juga sepupu Arga untuk dimintai keterangan. Sepupunya itu marah besar, merasa dipermalukan di depan warga.
“Kau pikir aku pengkhianat? Setelah semua yang kita lalui?” suaranya bergetar, tapi matanya penuh amarah.
Arga hanya bisa menatapnya, tahu bahwa keputusannya akan meninggalkan luka yang mungkin tak akan sembuh. Tapi ia juga tahu, jika ia mundur sekarang, perusahaan akan menang tanpa harus menginjakkan kaki lagi di balai desa.
Malam itu, Sekar berkata pelan, “Ga… membersihkan rumah memang membuat debu beterbangan. Tapi kalau kita biarkan kotoran menumpuk, rumah ini akan runtuh dari dalam.”
Arga menatap gelapnya sawah, sadar bahwa badai yang ia hadapi kini bukan lagi dari luar, tapi dari hati-hati yang dulu pernah berdetak bersamanya.
Share this novel