Keputusan rapat desa untuk menolak tawaran pembeli kota membuat sebagian warga lega, tapi suasana itu tak bertahan lama. Dalam waktu seminggu, tanda-tanda tekanan mulai muncul.
Harga gabah di pasar kecamatan tiba-tiba anjlok. Pedagang yang biasanya membeli hasil panen warga mendadak menolak, dengan alasan “stok penuh” atau “permintaan turun”. Beberapa warga yang panennya sudah siap terpaksa menjual dengan harga jauh di bawah normal.
Di warung, Sekar mendengar bisik-bisik.
“Ini gara-gara kita nolak kontrak, kan?”
“Kalau begini terus, mending ikut perusahaan besar saja.”
Arga mencoba menenangkan warga, tapi ia tahu ini bukan kebetulan. Perusahaan besar sedang memainkan strategi lama: memutus jalur penjualan, membuat desa tertekan, lalu datang menawarkan “jalan keluar” dengan syarat yang mengikat.
Suatu sore, Pak Darto datang ke rumah Arga dengan wajah muram.
“Ga, ada kabar… mereka mulai mendekati beberapa petani secara pribadi. Menawarkan harga tinggi kalau mau jual langsung ke mereka, tanpa lewat usaha kita.”
Arga terdiam. Ia sadar, jika terlalu banyak yang tergoda, usaha beras kemasan Sumberjati akan runtuh dari dalam.
Sekar yang duduk di beranda berkata pelan, “Kalau kita mau bertahan, kita harus kasih warga alasan untuk tetap bersama. Bukan cuma janji, tapi bukti nyata.”
Malam itu, Arga memutuskan untuk mengubah strategi. Ia akan mencari pembeli alternatif di luar jalur pasar biasa — bahkan jika itu berarti harus menembus jaringan distribusi yang belum pernah ia sentuh sebelumnya.
Namun, ia juga tahu, langkah ini berisiko besar. Jika gagal, bukan hanya uang yang hilang, tapi kepercayaan warga yang tersisa bisa lenyap.
Dan di bawah langit malam yang pekat, Arga menatap sawah yang menghampar sunyi. Ia sadar, perang ini tidak lagi hanya soal harga beras — tapi soal siapa yang akan menguasai masa depan desa.
Arga memutuskan untuk mencari pembeli di luar jalur beras biasa. Ia menghubungi seorang kenalan lama di Jakarta yang mengelola jaringan katering sehat untuk perkantoran. Konsepnya sederhana: beras Sumberjati akan dipasarkan sebagai beras lokal berkualitas, langsung dari petani, dengan cerita yang kuat tentang asal-usulnya.
Kenalan itu tertarik, tapi ada syarat: Arga harus datang langsung ke Jakarta untuk presentasi, membawa sampel dan data produksi. Waktu yang diberikan hanya lima hari.
Sekar membantu menyiapkan semua dokumen, foto, dan kemasan terbaik. Warga yang masih setia ikut mengumpulkan beras terbaik dari panen terakhir. Ada semangat baru, meski bayang-bayang ancaman perusahaan besar masih terasa.
Dua hari sebelum keberangkatan, Arga menerima telepon dari nomor tak dikenal. Suara di ujung sana terdengar tenang tapi menusuk.
“Mas Arga, saya dengar Anda mau masuk pasar katering di Jakarta. Saya sarankan berhenti. Pasar itu… sudah ada yang mengatur.”
Arga terdiam. “Siapa ini?”
“Anggap saja saya orang yang bisa membuat hidup Anda lebih mudah… atau lebih sulit. Kita bisa bertemu besok di kafe dekat terminal Bekasi. Sendirian.”
Sekar khawatir ketika Arga menceritakan hal itu. “Ga, ini bisa jebakan. Tapi kalau kamu nggak datang, mereka akan menganggap kamu takut.”
Arga mengangguk. “Aku nggak mau mereka pikir kita mudah diintimidasi. Tapi aku juga nggak mau gegabah.”
Keesokan harinya, Arga datang ke kafe itu. Di sudut ruangan, duduk seorang pria berusia empat puluhan, rapi dengan jas abu-abu. Ia memperkenalkan diri sebagai “konsultan distribusi” — tapi dari cara bicaranya, jelas ia orang dalam perusahaan besar.
“Aku tidak peduli berasmu dijual di pasar kecil,” katanya sambil menyesap kopi. “Tapi kalau kamu masuk ke jaringan katering besar, kamu akan mengganggu arus kami. Dan itu… tidak akan kami biarkan.”
Arga menatapnya lurus. “Kami hanya menjual hasil panen kami sendiri. Tidak ada yang salah dengan itu.”
Pria itu tersenyum tipis. “Benar. Tapi di dunia ini, yang salah dan yang kalah sering kali orang yang sama.”
Pertemuan itu berakhir tanpa kesepakatan. Arga keluar dari kafe dengan perasaan campur aduk: marah, waspada, tapi juga semakin yakin bahwa langkah ke Jakarta ini bukan sekadar peluang bisnis — ini adalah ujian keberanian.
Subuh itu, Arga berangkat dari Sumberjati dengan mobil sewaan, membawa karung-karung beras kemasan yang sudah dipilih dengan teliti. Sekar ikut menemaninya, membawa map berisi dokumen dan proposal. Jalanan masih sepi, hanya beberapa truk sayur yang melintas.
Awalnya perjalanan terasa lancar. Namun, saat memasuki jalur lintas menuju Bekasi, Sekar yang duduk di kursi penumpang mulai memperhatikan sesuatu.
“Ga… mobil hitam itu sudah ada di belakang kita sejak keluar dari pom bensin tadi.”
Arga melirik lewat kaca spion. Benar, sebuah SUV hitam dengan kaca gelap mengikuti dari jarak yang sama, tidak pernah menyalip, tidak pernah tertinggal.
Ia mencoba mempercepat laju mobil, lalu melambat tiba-tiba. Mobil itu tetap menyesuaikan kecepatan. Sekar menggenggam map lebih erat.
“Kalau ini orang perusahaan besar, mereka nggak main-main.”
Arga memutuskan untuk keluar dari jalur utama, mengambil jalan memutar lewat kawasan industri yang sepi. Tapi mobil hitam itu tetap mengikuti.
Di sebuah perempatan, Arga tiba-tiba membelok tajam ke arah jalan kecil yang hanya cukup untuk satu mobil. Mereka melewati deretan gudang kosong, berharap bisa menghilang dari pandangan. Saat berhenti di tikungan untuk mengintip, mobil hitam itu tidak terlihat.
Sekar menghela napas lega, tapi Arga tetap waspada. “Mereka mungkin cuma ingin menunjukkan kalau mereka tahu kita ke mana.”
Perjalanan dilanjutkan, tapi suasana di dalam mobil berubah. Setiap kendaraan yang mendekat membuat mereka tegang. Arga sadar, presentasi di Jakarta nanti bukan hanya soal meyakinkan pembeli — tapi juga soal membuktikan bahwa mereka tidak bisa dihalangi dengan intimidasi.
Dan di kejauhan, gedung-gedung tinggi mulai terlihat di balik kabut pagi, menandakan bahwa babak baru dari perjuangan ini akan segera dimulai.
Mobil sewaan berhenti di depan gedung kaca setinggi belasan lantai di kawasan bisnis Jakarta. Jalanan ramai, klakson bersahutan, dan udara bercampur aroma asap kendaraan. Arga turun sambil membawa dua karung beras kemasan yang sudah dibungkus rapi, sementara Sekar menenteng map berisi proposal.
Di lobi, mereka disambut resepsionis yang ramah namun formal. “Silakan tunggu, tim manajemen akan memanggil Anda sebentar lagi.”
Arga duduk, mencoba menenangkan napas. Sekar bisa melihat tangannya sedikit gemetar — bukan karena takut, tapi karena ia tahu apa yang dipertaruhkan.
Saat mereka dipanggil masuk ke ruang rapat, lima orang sudah duduk di meja panjang. Salah satunya adalah pemilik jaringan katering sehat yang mereka incar. Presentasi dimulai: Sekar memaparkan data produksi, foto-foto proses panen, dan cerita tentang Desa Sumberjati. Arga menambahkan penjelasan soal kualitas beras dan komitmen mereka menjaga pasokan.
Awalnya, suasana berjalan lancar. Beberapa anggota tim mencatat dengan serius, bahkan ada yang tersenyum mendengar kisah warga yang bekerja bersama. Namun, di tengah presentasi, pintu ruang rapat terbuka. Seorang pria berjas abu-abu masuk — orang yang pernah menemui Arga di kafe Bekasi.
Ia duduk tanpa diundang, lalu berkata pada pemilik katering, “Saya hanya ingin mengingatkan, pasar katering ini sudah punya pemasok tetap. Mengganti pemasok bisa menimbulkan masalah logistik… dan reputasi.”
Nada suaranya halus, tapi ancamannya jelas.
Ruangan mendadak tegang. Pemilik katering menatap Arga, seolah menunggu reaksinya. Arga menarik napas panjang, lalu berkata, “Kami tidak datang untuk merebut pasar siapa pun. Kami datang untuk menawarkan sesuatu yang berbeda: beras yang ditanam dengan tangan petani sendiri, tanpa rantai distribusi panjang, dan dengan cerita yang bisa dibagikan kepada pelanggan Anda. Kalau itu dianggap ancaman, mungkin masalahnya bukan pada kami.”
Sekar menatap Arga, kagum sekaligus khawatir. Pemilik katering terdiam sejenak, lalu berkata, “Saya akan mempertimbangkan. Keputusan akhir minggu depan.”
Saat mereka keluar dari gedung, Sekar berbisik, “Ga… kamu sadar, kata-kata tadi bisa membuat mereka makin marah?”
Arga tersenyum tipis. “Kalau mereka mau melawan, setidaknya sekarang mereka tahu kita tidak akan mundur.”
Di tengah hiruk pikuk kota, mereka berjalan menuju mobil, membawa harapan yang rapuh — dan sadar bahwa minggu depan bisa menjadi awal kemenangan… atau awal dari tekanan yang lebih keras lagi.
Share this novel