Completed
256
Sejak setiap dusun mengirim perwakilan untuk ikut dalam produksi beras kemasan “Sumberjati”, gudang penggilingan menjadi lebih ramai. Ada yang bertugas menjemur, ada yang mengemas, ada yang mengatur distribusi.
Awalnya semua berjalan lancar, sampai pesanan dari luar kabupaten mulai meningkat. Beberapa pembeli mengeluh bahwa kualitas beras di kemasan tidak selalu konsisten. Ada yang warnanya sedikit kekuningan, ada yang butirannya patah lebih banyak.
Sekar memeriksa catatan produksi dan menemukan pola: beras dari Dusun Timur cenderung lebih putih dan kering, sementara dari Dusun Barat kadang masih agak lembap. Perbedaan ini membuat kemasan yang keluar di hari yang sama punya kualitas berbeda.
Di rapat koperasi, masalah ini langsung memanas.
Perwakilan Dusun Barat merasa disudutkan. “Kami sudah bekerja keras. Kalau ada sedikit perbedaan, itu karena cuaca di tempat kami lebih lembap,” kata Pak Darto.
Perwakilan Dusun Timur membalas, “Kalau begitu, harusnya proses pengeringan diatur ulang. Jangan sampai nama Sumberjati rusak karena satu dusun tidak teliti.”
Arga mencoba menengahi. “Kita bukan sedang mencari siapa yang salah. Kita mencari cara agar semua kemasan punya standar yang sama.”
Namun, Bu Ratna mengingatkan bahwa memperbaiki standar berarti menambah biaya: pengeringan ekstra, sortir lebih ketat, bahkan mungkin membeli mesin tambahan.
Beberapa anggota mulai khawatir, “Kalau biaya naik, keuntungan kita turun. Apa tidak lebih baik kita kembali menjual gabah saja?”
Sekar mengusulkan solusi: membuat tim kontrol kualitas yang berkeliling ke setiap dusun, memberi pelatihan dan memastikan proses sesuai standar. Biayanya akan diambil dari sebagian keuntungan beras kemasan.
Keputusan ini diterima, meski dengan wajah-wajah yang masih tegang. Arga tahu, ini bukan sekadar soal beras — ini soal harga diri tiap dusun. Dan kalau tidak hati-hati, perbedaan kualitas bisa berubah menjadi perbedaan sikap yang memecah lagi persatuan yang susah payah mereka bangun.
Malam itu, ia menatap tumpukan kemasan beras di gudang. Semua bertuliskan “Sumberjati” di depan, tapi ia sadar, menjaga isi di dalamnya tetap sama nilainya jauh lebih sulit daripada mencetak nama di luar kemasan.
Tim kontrol kualitas yang baru dibentuk memulai tugasnya dengan penuh semangat. Mereka berkeliling ke setiap dusun, memeriksa proses pengeringan, penggilingan, dan pengemasan. Hari pertama berjalan lancar: beberapa catatan kecil soal kelembapan dan kebersihan, tapi tidak ada masalah besar.
Namun, di hari ketiga, saat tim memeriksa gudang pengemasan di Dusun Utara, mereka menemukan sesuatu yang janggal. Di sudut gudang, ada tumpukan karung beras tanpa label yang warnanya sedikit berbeda dari beras Sumberjati. Butirannya lebih panjang, dan aromanya khas varietas dari luar daerah.
Ketika ditanya, salah satu pekerja pengemasan terlihat gugup. “Itu… titipan dari saudara di luar desa. Katanya untuk dicampur sedikit saja, biar stok cukup memenuhi pesanan besar kemarin,” ujarnya pelan.
Sekar yang memimpin tim langsung memeriksa catatan stok. Ternyata, jumlah gabah yang masuk memang tidak cukup untuk memenuhi semua pesanan beras kemasan minggu lalu. Tanpa laporan resmi, beberapa orang memutuskan menambah beras dari luar agar pengiriman tidak tertunda.
Masalahnya, jika pembeli mengetahui campuran ini, reputasi “beras asli Sumberjati” bisa runtuh seketika.
Arga dipanggil ke lokasi. Wajahnya tegang saat melihat karung-karung itu. “Kita sudah berjuang keras membangun nama ini. Kalau kita mulai mencampur tanpa izin, sama saja kita merusak kepercayaan yang baru tumbuh,” katanya.
Bu Ratna menghela napas. “Mereka mungkin tidak bermaksud buruk. Tapi ini bukti bahwa kita belum punya sistem cadangan yang kuat. Begitu stok seret, orang mencari jalan pintas.”
Rapat darurat digelar malam itu. Ada yang membela tindakan tersebut demi menjaga pesanan, ada yang menuntut sanksi tegas. Akhirnya diputuskan:
- Semua beras campuran ditarik dari proses pengemasan.
- Pesanan yang tertunda akan dikirim sedikit terlambat, dengan penjelasan jujur kepada pembeli.
- Koperasi akan membuat stok penyangga dari panen berikutnya untuk menghindari kejadian serupa.
Keputusan itu berat, karena berarti koperasi harus siap menanggung risiko pembeli kecewa. Tapi Arga tahu, lebih baik kehilangan sebagian pesanan sekarang daripada kehilangan nama baik untuk selamanya.
Malam itu, ia berdiri di depan gudang yang setengah kosong, berpikir bahwa menjaga kualitas ternyata sama sulitnya dengan menjaga persatuan — keduanya bisa runtuh hanya karena satu celah kecil yang dibiarkan terbuka.
Pagi itu, Sekar datang ke balai koperasi dengan wajah tegang. Di tangannya ada amplop putih berstempel perusahaan pembeli besar yang selama ini menjadi mitra utama. Ia menyerahkannya kepada Arga tanpa banyak bicara.
Arga membuka surat itu perlahan. Isinya singkat tapi menusuk: teguran resmi karena keterlambatan pengiriman dan peringatan bahwa jika hal serupa terulang, kontrak bisa ditinjau ulang.
Bu Ratna membaca surat itu sambil menghela napas panjang. “Mereka tidak peduli alasan kita. Yang mereka lihat hanya jadwal dan kualitas.”
Rapat darurat digelar siang itu. Beberapa anggota langsung mengusulkan jalan pintas:
- Melonggarkan standar kualitas agar stok selalu cukup.
- Mengizinkan campuran beras luar desa dalam batas tertentu.
Namun, suara penolakan juga keras. “Kalau kita mulai longgar, kita akan kehilangan identitas. Nama Sumberjati akan jadi sekadar label,” kata Mak Siti, yang duduk di sudut ruangan.
Sekar mencoba menawarkan opsi tengah: membuat kontrak cadangan dengan pembeli kedua, sehingga jika stok untuk pembeli utama terganggu, mereka masih punya jalur distribusi lain tanpa harus mengorbankan standar. Tapi itu berarti membagi fokus dan mungkin mengurangi volume untuk pembeli utama.
Suasana rapat memanas. Arga menatap semua yang hadir. “Kita harus memutuskan sekarang: mau jadi koperasi yang cepat mengirim tapi mengorbankan janji, atau koperasi yang memegang janji meski risikonya besar.”
Keputusan akhirnya diambil dengan suara tipis: standar kualitas tetap dipertahankan, tapi koperasi akan segera mencari pembeli cadangan dan membentuk tim khusus untuk mengantisipasi kekurangan stok.
Surat balasan dikirim ke pembeli besar sore itu, menjelaskan alasan keterlambatan dan komitmen untuk mencegah terulangnya masalah. Tidak ada jaminan mereka akan puas, tapi setidaknya koperasi memilih untuk tidak menggadaikan prinsipnya.
Malamnya, Arga duduk di teras balai desa, memandangi lampu gudang yang menyala. Ia tahu, mempertahankan prinsip di dunia dagang seperti berjalan di tali tipis — satu langkah salah, dan semua bisa jatuh.
Beberapa minggu setelah keputusan mencari pembeli cadangan, Sekar mendapat kabar dari seorang kenalan di dinas perdagangan: ada perusahaan ekspor beras yang sedang mencari pemasok tetap untuk pasar Timur Tengah. Namanya PT Nusantara Grain, berkantor di Jakarta, dengan gudang besar di pelabuhan Tanjung Priok.
Perwakilan perusahaan, seorang pria rapi bernama Pak Adrian, datang langsung ke Sumberjati. Ia memuji kualitas beras Sumberjati dan mengatakan bahwa pasar luar negeri menyukai varietas dengan aroma khas seperti yang mereka hasilkan.
Tawarannya menggiurkan:
- Kontrak tiga tahun dengan harga tetap di atas rata-rata pasar lokal.
- Pembayaran 50% di muka setiap pengiriman.
- Bantuan modal untuk membeli mesin pengering dan penggilingan modern.
Namun, ada syarat yang membuat ruangan rapat hening: seluruh produksi beras premium harus diprioritaskan untuk PT Nusantara Grain, dan kemasan harus menggunakan merek perusahaan, bukan “Sumberjati”.
Bu Ratna langsung mengernyit. “Kalau merek kita hilang, semua kerja keras membangun nama akan sia-sia.”
Arga menimpali, “Tapi modal dan pasar yang mereka tawarkan bisa membuat koperasi kita stabil bertahun-tahun.”
Perdebatan pun pecah. Sebagian anggota melihat ini sebagai kesempatan emas untuk keluar dari ketidakpastian pasar lokal. Yang lain khawatir koperasi akan kehilangan kendali, menjadi sekadar pemasok tanpa identitas.
Mak Siti, yang duduk di pojok, berkata pelan, “Kalau kita jual nama kita, apa yang akan kita wariskan? Uang bisa habis, tapi nama yang hilang sulit kembali.”
Pak Adrian memberi waktu dua minggu untuk menjawab. “Kalau setuju, kami akan mulai pengiriman pertama bulan depan,” katanya sebelum pamit.
Malam itu, Arga berjalan pulang melewati sawah yang mulai menguning. Ia tahu, keputusan ini akan menentukan apakah Sumberjati akan dikenal dunia sebagai produsen beras berkualitas… atau hanya menjadi nama kecil di balik label besar milik orang lain.
Share this novel