bab 18

Drama Series 49

Setelah insiden di gudang, Arga sadar bahwa aturan saja tidak cukup untuk menjaga koperasi tetap utuh. Ia butuh sesuatu yang membuat warga kembali merasa berada di pihak yang sama. Maka ia mengusulkan sebuah proyek bersama: Lumbung Pangan Desa.

Idenya sederhana: setiap keluarga menyumbang sebagian kecil hasil panen ke lumbung bersama. Beras di lumbung ini akan digunakan untuk membantu warga yang kesulitan, atau dijual saat harga pasar sedang tinggi, lalu keuntungannya dibagi rata.

Awalnya, ide ini disambut hangat. Banyak yang teringat masa kecil, ketika lumbung desa menjadi simbol gotong royong. Namun, saat rapat teknis dimulai, perbedaan pandangan mulai muncul.
- Sebagian warga ingin kontribusi bersifat sukarela.
- Sebagian lagi menuntut aturan wajib agar semua ikut berpartisipasi.
- Ada yang khawatir beras di lumbung akan disalahgunakan atau tidak dibagi adil.

Pak Rudi, yang masih menyimpan rasa kesal sejak insiden pemeriksaan karung, angkat bicara. “Kalau semua wajib setor, bagaimana dengan yang panennya sedikit? Itu tidak adil.”
Seorang pemuda membalas, “Kalau sukarela, nanti yang mau setor cuma segelintir orang. Lumbung tidak akan penuh.”

Suasana rapat memanas. Sekar mencoba menengahi, mengingatkan bahwa tujuan proyek ini adalah membangun kembali rasa saling percaya. Tapi Arga tahu, luka lama membuat setiap usulan mudah dipandang dengan curiga.

Akhirnya, mereka sepakat mencoba sistem campuran: ada jumlah minimal yang disarankan, tapi warga boleh memberi lebih jika mampu. Pengelolaan lumbung akan diawasi oleh tim yang dipilih langsung lewat pemungutan suara terbuka.

Meski keputusan diambil, Arga merasakan ketegangan yang belum sepenuhnya reda. Saat warga bubar, ia melihat beberapa orang masih berbisik-bisik, seolah menimbang apakah proyek ini benar-benar untuk semua, atau hanya menguntungkan sebagian pihak.

Malam itu, di beranda rumahnya, Arga berkata pada Sekar, “Menyatukan orang ternyata lebih sulit daripada melawan perusahaan besar. Karena lawan di luar jelas… tapi di dalam, batasnya kabur.”

Sekar menatapnya lama. “Kalau begitu, kita harus belajar bukan hanya memimpin, tapi juga menyembuhkan.”

Awal bulan, lumbung pangan Sumberjati resmi dibuka. Bangunan kayu besar di tepi sawah itu dipenuhi karung-karung beras sumbangan warga. Ada papan catatan di dinding yang memuat jumlah stok dan nama penyumbang, agar semua transparan.

Beberapa minggu pertama berjalan lancar. Warga yang membutuhkan bisa mengambil beras sesuai kesepakatan, dan hasil penjualan sebagian stok ke pasar kota mulai menambah kas koperasi.

Namun, pada suatu pagi, seorang ibu datang ke lumbung untuk mengambil jatah berasnya. Ia menemukan pintu lumbung terkunci rapat, dan kunci cadangan yang biasanya disimpan di balai desa tidak ada.
“Katanya kunci dipegang Pak Darto,” ujar seorang pemuda.
“Tapi Pak Darto lagi ke luar kota,” jawab yang lain.

Kabar itu cepat menyebar. Dalam hitungan jam, warga mulai berkumpul di depan lumbung, sebagian bertanya-tanya kenapa akses bisa tertutup, sebagian lagi mulai curiga ada yang sengaja menahan stok.

Arga yang baru kembali dari sawah langsung menuju lokasi. Ia memeriksa gembok dan menemukan bekas goresan di logamnya, seperti pernah dicoba dibuka paksa.
“Siapa saja yang terakhir masuk ke sini?” tanya Arga.
Seorang anggota tim pengelola menjawab ragu, “Tiga hari lalu… waktu kita sortir beras untuk dijual ke pasar. Setelah itu, kunci dipegang Pak Darto.”

Sekar berbisik pada Arga, “Kalau ini dibiarkan, orang akan mulai menuduh macam-macam. Apalagi setelah kejadian pengkhianatan kemarin.”

Arga memutuskan untuk memanggil tukang kunci dan membuka lumbung di hadapan warga. Saat pintu terbuka, semua karung masih ada, tapi papan catatan stok menunjukkan selisih: ada dua karung yang hilang dari daftar, tanpa keterangan siapa yang mengambil.

Suasana menjadi tegang. Beberapa warga mulai saling pandang dengan tatapan curiga.
Arga mengangkat tangan. “Kita akan selidiki ini. Tapi saya minta semua tetap tenang. Lumbung ini milik kita bersama — kalau kita saling tuduh tanpa bukti, kita sendiri yang akan menghancurkannya.”

Malam itu, Arga dan Sekar duduk di balai desa, menatap papan catatan stok yang kini terasa seperti teka-teki. Mereka tahu, kehilangan dua karung mungkin terlihat kecil, tapi dampaknya pada kepercayaan bisa jauh lebih besar.

Selama beberapa hari, Arga dan Sekar memeriksa catatan keluar-masuk lumbung. Mereka membandingkan daftar stok dengan buku catatan di balai desa, dan menemukan sesuatu yang aneh: dua karung yang hilang tercatat sebagai “diambil untuk bantuan darurat” — tapi tidak ada catatan siapa penerimanya.

Sekar mulai menelusuri siapa saja yang punya akses ke kunci lumbung selain Pak Darto. Dari daftar itu, hanya ada satu nama yang jarang disebut: Bu Lastri, bendahara koperasi yang selama ini dikenal teliti dan jujur.

Arga awalnya menolak percaya. Bu Lastri adalah orang yang selalu hadir di rapat, bahkan sering menjadi penengah saat warga berselisih. Tapi ketika mereka memeriksa CCTV sederhana yang dipasang di dekat lumbung, terlihat sosok perempuan berkerudung masuk malam hari, membawa dua karung beras ke arah rumahnya.

Arga memutuskan untuk bicara langsung. Ia datang ke rumah Bu Lastri tanpa membawa siapa pun.
“Bu, saya mau tanya soal dua karung beras yang hilang,” kata Arga hati-hati.
Bu Lastri terdiam lama, lalu menghela napas. “Itu untuk keluarga adik saya di desa sebelah. Mereka sedang kesulitan, anaknya sakit, dan saya takut kalau minta resmi, prosesnya lama. Saya pikir… nanti saya ganti diam-diam.”

Arga mengerti niatnya bukan untuk keuntungan pribadi, tapi ia juga tahu, jika ini dibiarkan, aturan lumbung akan kehilangan wibawa.
“Bu, saya paham maksudnya baik. Tapi kalau semua orang mengambil tanpa prosedur, lumbung ini akan kosong sebelum waktunya.”

Malam itu, Arga dan Sekar berdiskusi panjang. Mengungkap kejadian ini di rapat berarti mempertaruhkan nama baik Bu Lastri, yang selama ini menjadi figur kepercayaan. Menutupinya berarti melanggar prinsip transparansi yang mereka perjuangkan.

Akhirnya, Arga memutuskan jalan tengah: ia akan mengumumkan bahwa ada pengambilan beras di luar prosedur, tanpa menyebut nama, dan menjadikan kejadian itu sebagai alasan untuk membuat mekanisme bantuan darurat yang cepat dan resmi. Bu Lastri setuju, dengan syarat ia tetap mengganti beras yang diambil.

Keputusan itu meredakan ketegangan, tapi di hati Arga tersisa rasa berat. Ia sadar, menjaga persatuan kadang berarti memikul rahasia yang tak semua orang boleh tahu.

Awalnya, mekanisme bantuan darurat yang disepakati warga berjalan mulus. Setiap permintaan bantuan dicatat, diverifikasi oleh dua orang, lalu disetujui dalam waktu kurang dari sehari. Warga merasa sistem ini lebih manusiawi, dan Arga lega karena tidak ada lagi pengambilan diam-diam.

Namun, dalam waktu sebulan, jumlah permintaan mulai meningkat tajam. Ada keluarga yang benar-benar membutuhkan, tapi ada juga yang memanfaatkan kelonggaran aturan.
“Katanya untuk keperluan mendesak,” lapor salah satu petugas lumbung, “tapi saya lihat mereka menjual sebagian berasnya di pasar.”

Sekar mulai khawatir. “Ga, kalau begini, stok kita bisa habis sebelum panen. Dan kalau itu terjadi, kita akan kehilangan kepercayaan pembeli luar.”

Arga memeriksa catatan stok. Dari 200 karung awal, hanya tersisa 90. Padahal panen berikutnya masih dua bulan lagi. Ia memanggil rapat darurat di balai desa.
“Kita harus jujur pada diri sendiri,” kata Arga di depan warga. “Bantuan darurat ini untuk yang benar-benar butuh. Kalau kita semua mengambil lebih dari yang perlu, lumbung ini tidak akan bertahan.”

Beberapa warga merasa tersindir. Ada yang membela diri, ada yang menuduh aturan terlalu kaku. Suasana rapat memanas, hingga Pak Darto berdiri dan berkata lantang,
“Kalau kita tidak bisa mengendalikan diri, kita sama saja seperti dulu — bergantung pada tengkulak dan belas kasihan orang luar.”

Akhirnya, disepakati aturan baru: setiap keluarga hanya boleh mengambil bantuan darurat maksimal sekali dalam sebulan, kecuali ada keadaan luar biasa yang disetujui bersama. Keputusan ini tidak semua orang terima dengan senang hati, tapi sebagian besar mengangguk setuju.

Malam itu, Arga dan Sekar duduk di beranda, menatap lumbung yang siluetnya terlihat di bawah cahaya bulan.
“Kita sudah punya sistem, tapi ternyata yang paling sulit bukan membangunnya… melainkan menjaga agar semua orang mau mematuhinya,” kata Arga pelan.
Sekar mengangguk. “Karena yang kita lawan bukan hanya kekurangan beras, tapi juga rasa takut kekurangan.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience