Tim Verifikasi Internal bekerja selama dua minggu penuh, memeriksa catatan transaksi, daftar bantuan, dan laporan pertemuan. Setiap temuan dicatat rapi, lalu diserahkan ke Arga dalam sebuah map tebal.
Arga membukanya di ruang rapat kecil bersama Sekar dan Pak Darto. Lembar demi lembar berisi nama-nama yang pernah menerima bantuan atau melakukan pertemuan dengan pihak luar. Sebagian sudah mereka duga, sebagian lagi hanya kasus kecil yang bisa dijelaskan.
Namun, di lembar terakhir, Arga tertegun. Nama yang tercantum adalah Bu Ratna — kepala kelompok tani perempuan, sosok yang selama ini menjadi penggerak utama program lumbung pangan dan sering membela Arga di rapat umum.
Catatan menunjukkan bahwa tiga bulan lalu, Bu Ratna menerima “hibah peralatan pertanian” dari yayasan yang ternyata merupakan anak perusahaan dari korporasi besar itu. Tidak ada laporan resmi ke koperasi, dan peralatan itu digunakan untuk lahan pribadinya.
Sekar menatap Arga, suaranya pelan. “Kalau ini kita ungkap, Bu Ratna akan jatuh. Dan banyak ibu-ibu yang setia padanya bisa berbalik melawan kita.”
Pak Darto menimpali, “Tapi kalau kita tutup, kita melanggar prinsip yang kita tegakkan sendiri. Orang akan bilang kita pilih-pilih siapa yang diselidiki.”
Arga terdiam lama. Ia tahu, Bu Ratna mungkin tidak berniat jahat — bisa jadi ia hanya melihatnya sebagai bantuan pribadi. Tapi di mata warga, ini akan terlihat seperti bukti bahwa bahkan orang terdekat Arga pun bisa “dibeli” oleh pihak luar.
Malam itu, Arga berjalan sendirian melewati lumbung yang sunyi. Ia memikirkan dua jalan di depannya:
- Mengungkap nama Bu Ratna, mempertaruhkan dukungan sebagian besar kelompok tani perempuan.
- Menutup rapat temuan ini, mempertahankan persatuan jangka pendek tapi mengorbankan transparansi yang ia perjuangkan.
Di langit, bulan separuh menggantung pucat. Arga tahu, apa pun pilihannya, besok pagi desa ini tidak akan sama lagi.
Pagi itu, Arga memanggil rapat pengurus inti di balai desa. Map berisi hasil verifikasi tergeletak di meja, terbuka pada halaman yang memuat nama Bu Ratna. Wajah-wajah di ruangan tegang, semua menunggu apa yang akan ia putuskan.
Arga menarik napas panjang. “Kita sudah sepakat sejak awal: tidak ada yang kebal dari aturan. Kalau kita mulai pilih-pilih, semua yang kita perjuangkan akan runtuh.”
Pak Darto mengangguk pelan, sementara Sekar menatapnya dengan campuran bangga dan khawatir.
Sore itu, di rapat umum, Arga berdiri di depan warga. Suaranya mantap, meski dadanya terasa berat.
“Tim Verifikasi menemukan bahwa salah satu pengurus menerima bantuan dari pihak luar tanpa melaporkannya. Orang itu adalah Bu Ratna.”
Ruangan langsung riuh. Beberapa ibu-ibu terkejut, sebagian membela, sebagian lain menggeleng kecewa. Bu Ratna sendiri berdiri, wajahnya pucat tapi matanya tetap menatap Arga.
“Aku tidak berniat merugikan desa. Aku hanya ingin membantu lahanku sendiri, supaya bisa menyumbang lebih banyak ke lumbung,” katanya.
Arga menunduk sebentar, lalu berkata, “Aku percaya niat Bu Ratna tidak buruk. Tapi aturan tetap aturan. Mulai hari ini, Bu Ratna dibebastugaskan dari jabatan pengurus, namun tetap menjadi anggota koperasi.”
Keputusan itu memecah ruangan. Sebagian warga menganggap Arga adil, sebagian lagi menilai ia terlalu keras terhadap orang yang sudah banyak berjasa. Beberapa ibu-ibu keluar dari rapat dengan wajah masam, sementara kelompok lain mendekati Arga untuk memberi dukungan.
Malamnya, Sekar duduk di beranda bersama Arga. “Kamu tahu ini akan membuat sebagian orang menjauh,” katanya pelan.
Arga menatap gelapnya sawah. “Aku tahu. Tapi kalau kita mengorbankan prinsip demi kenyamanan, kita akan kehilangan keduanya.”
Di kejauhan, suara jangkrik terdengar bersahutan. Arga sadar, badai belum reda — ia hanya baru saja menegakkan tiang agar rumah ini tidak roboh.
Sejak Bu Ratna dibebastugaskan, suasana di Sumberjati terasa berbeda. Kelompok ibu-ibu yang selama ini menjadi tulang punggung kegiatan lumbung mulai jarang terlihat di gudang koperasi. Mereka tetap ramah di permukaan, tapi tidak lagi aktif dalam rapat atau kegiatan bersama.
Beberapa minggu kemudian, Arga mulai mendengar kabar bahwa sebagian warga menjual beras langsung ke pembeli di kota melalui jalur yang diatur oleh orang-orang dekat Bu Ratna. Awalnya ia mengira itu hanya transaksi kecil, tapi laporan dari Rian — yang kebetulan melihat truk pengangkut di jalan desa — membuktikan sebaliknya.
“Ga, mereka kirim hampir satu ton beras kemarin. Bukan cuma sisa panen,” kata Rian.
Sekar mencoba melihat sisi positif. “Mungkin mereka hanya ingin membuktikan bisa mandiri.”
Arga menggeleng. “Kalau jalur ini berkembang, koperasi akan kehilangan daya tawar. Dan kalau koperasi runtuh, semua yang kita bangun akan sia-sia.”
Masalahnya, jalur paralel ini menawarkan harga sedikit lebih tinggi karena tidak ada potongan untuk kas desa. Bagi petani yang sedang butuh uang cepat, tawaran itu sulit ditolak.
Pak Darto memperingatkan, “Kalau kita melarang, kita akan dianggap mengekang. Tapi kalau kita diam, koperasi akan mati pelan-pelan.”
Arga memutuskan untuk mengundang Bu Ratna bicara empat mata. Pertemuan itu berlangsung di teras rumahnya, sore hari.
“Bu, kita sama-sama ingin desa ini maju. Tapi dua jalur distribusi akan memecah kita,” kata Arga.
Bu Ratna menatapnya lama. “Aku hanya memberi pilihan bagi mereka yang merasa tak lagi punya suara di koperasi. Kalau kau mau mereka kembali, beri mereka alasan untuk percaya lagi.”
Kata-kata itu menancap di kepala Arga. Ia sadar, masalah ini bukan sekadar soal harga atau jalur distribusi — ini soal rasa memiliki yang hilang.
Malam itu, ia menatap papan catatan stok lumbung yang mulai menurun. Untuk pertama kalinya, ia merasa koperasi ini seperti perahu yang mulai bocor dari banyak sisi, dan ia harus memutuskan: menambal lubang satu per satu, atau membangun perahu baru yang bisa memuat semua orang kembali.
Setelah melihat jalur distribusi paralel yang dibentuk kelompok Bu Ratna semakin aktif, Arga sadar bahwa menambal kebocoran saja tidak cukup. Ia butuh “perahu baru” — sistem koperasi yang memberi ruang lebih besar bagi semua warga, termasuk mereka yang selama ini merasa tersisih.
Dalam rapat umum, Arga mengusulkan perubahan besar:
- Setiap anggota, tanpa memandang jabatan, punya hak suara yang sama dalam menentukan harga jual dan pembeli.
- Keuntungan koperasi dibagi lebih merata, dengan porsi khusus untuk kelompok tani perempuan dan pemuda.
- Semua jalur distribusi, termasuk yang dikelola kelompok Bu Ratna, bisa bergabung kembali di bawah koperasi dengan sistem bagi hasil yang lebih fleksibel.
Sekar berharap usulan ini bisa menjadi jembatan. Namun, reaksi warga terbelah.
Kubu pendukung Arga melihat ini sebagai langkah maju.
Kubu Bu Ratna menilai ini hanya cara halus untuk “mengambil alih” jalur mereka.
Pak Rudi berdiri di rapat dan berkata lantang, “Kalau benar ini perahu baru, kenapa nakhodanya tetap orang yang sama?”
Kalimat itu disambut sorak setuju dari sebagian warga.
Beberapa hari kemudian, kelompok Bu Ratna mengumumkan akan membentuk Koperasi Mandiri Sumberjati. Mereka mengklaim akan bekerja sama dengan pembeli kota yang menawarkan harga lebih tinggi, tanpa “potongan” untuk kas desa.
Kini, Sumberjati resmi memiliki dua koperasi yang saling bersaing. Di pasar, pembeli mulai membandingkan harga dari kedua kubu, dan beberapa petani bermain di dua kaki untuk mencari keuntungan terbesar.
Malam itu, Arga duduk di beranda, menatap lampu-lampu rumah yang kini terasa seperti bintang-bintang di langit yang terpisah jarak.
Sekar berkata pelan, “Kita ingin menyatukan, tapi malah membuat garis pemisah semakin jelas.”
Arga mengangguk. “Mungkin perahu baru ini belum siap berlayar… atau mungkin, kita harus siap menghadapi ombak yang lebih besar sebelum bisa kembali ke pelabuhan yang sama.”
Share this novel