bab 15

Drama Series 49

Pagi itu, suasana desa terasa aneh. Jalanan yang biasanya ramai oleh suara mesin penggiling dan tawa anak-anak kini sepi. Arga baru saja keluar dari rumah ketika melihat deretan truk besar berlogo perusahaan lawan berhenti di lapangan dekat balai desa.

Dari truk-truk itu, pekerja berseragam mulai menurunkan karung-karung beras kemasan, membagikannya gratis ke warga. Tidak hanya itu, mereka juga membawa paket sembako, pupuk, dan alat pertanian baru. Semua dibagikan dengan senyum ramah dan janji manis: “Kalau mau, kita bisa beli hasil panen kalian dengan harga lebih tinggi dari pasar.”

Sekar yang melihat dari kejauhan berbisik pada Arga, “Mereka tidak lagi sekadar mengganggu pasar. Mereka sedang membeli hati warga.”

Siang harinya, kepala desa memanggil rapat darurat. Beberapa warga yang dulu mendukung usaha Sumberjati kini mulai goyah.
“Kalau mereka bisa kasih semua ini, kenapa kita harus susah-susah?” ujar seorang bapak setengah baya.
“Betul. Kita sudah capek berjuang, hasilnya belum jelas,” timpal yang lain.

Arga berdiri, mencoba menahan emosi. “Kalau kita terima semua ini, kita akan kehilangan kendali. Hari ini mereka memberi gratis, besok mereka bisa menentukan harga sesuka hati. Dan saat itu terjadi, kita tidak punya pilihan lagi.”

Namun, kata-katanya tidak langsung mengubah pikiran semua orang. Tekanan semakin terasa ketika sore itu, salah satu pembeli dari kota menghubungi Arga dan membatalkan pesanan besar, dengan alasan “tidak ingin terlibat konflik”.

Pak Darto menepuk bahu Arga. “Ga, kita di ujung tanduk. Kalau kita tidak ambil langkah besar sekarang, semua ini akan runtuh.”

Malam itu, Arga, Sekar, dan segelintir warga yang masih setia berkumpul di gudang. Lampu temaram memantulkan bayangan wajah-wajah lelah tapi keras kepala.
“Kita harus buat gerakan yang bukan cuma melawan, tapi membalik keadaan,” kata Arga. “Kalau mereka main di harga dan hadiah, kita main di sesuatu yang tidak bisa mereka beli.”

Sekar menatapnya. “Kamu punya rencana?”
Arga mengangguk pelan. “Punya. Tapi ini akan jadi taruhan terbesar yang pernah kita ambil.”

Malam itu, di gudang yang hanya diterangi lampu bohlam kuning, Arga memandang satu per satu wajah yang hadir. Ada Pak Darto, Sekar, beberapa pemuda, dan para ibu yang masih setia membantu mengemas beras.

“Aku tahu kita lelah,” Arga memulai, suaranya tenang tapi tegas. “Perusahaan besar sudah menyerang dari semua sisi: harga, hadiah, bahkan opini. Kalau kita melawan dengan cara yang sama, kita akan kalah. Tapi ada satu hal yang mereka tidak punya — kebersamaan kita.”

Ia lalu mengeluarkan papan tulis kecil dan menggambar lingkaran-lingkaran yang saling terhubung.
“Rencana ini sederhana tapi berisiko. Kita akan mengadakan Festival Pangan Desa Sumberjati minggu depan. Semua warga terlibat: kita buka sawah untuk wisata panen, kita masak bersama, kita jual langsung semua produk desa — bukan hanya beras, tapi sayur, buah, kerajinan. Kita undang pembeli dari kota, media, dan komunitas pangan. Kita tunjukkan bahwa desa ini hidup, mandiri, dan punya nilai yang tidak bisa dibeli.”

Sekar menatapnya, setengah kagum setengah khawatir. “Ga, kalau festival ini sepi, kita akan terlihat lemah di depan semua orang. Dan kalau perusahaan besar ikut campur, mereka bisa menjatuhkan kita di hari itu juga.”

Arga mengangguk. “Aku tahu. Tapi kalau berhasil, kita bukan cuma menjual beras. Kita menjual cerita, pengalaman, dan kebanggaan. Itu yang tidak bisa mereka tiru.”

Pak Darto menepuk meja. “Kalau ini taruhan terbesar, aku ikut. Lebih baik kita jatuh karena berjuang, daripada pelan-pelan mati karena menyerah.”

Malam itu, semua yang hadir mulai membagi tugas. Ada yang mengurus undangan, ada yang menyiapkan lahan, ada yang mengatur logistik. Sekar mengambil peran di bagian promosi, memastikan kabar festival menyebar ke kota.

Namun, di luar gudang, dua sosok asing terlihat mengamati dari kejauhan, lalu pergi dengan motor tanpa suara. Arga tidak melihatnya — tapi kita tahu, kabar tentang festival ini akan sampai ke telinga lawan lebih cepat dari yang mereka kira.

Sejak malam rencana diumumkan, desa berubah seperti sarang lebah. Sawah-sawah dibersihkan, bale-bale bambu dipasang di pinggir jalan, dan para ibu mulai menyiapkan resep masakan khas yang akan disajikan di festival. Anak-anak berlatih tarian tradisional, sementara para pemuda membuat papan penunjuk arah dari kayu bekas.

Namun, di balik semangat itu, Arga dan Sekar merasakan sesuatu yang mengganjal. Dua kali, spanduk festival yang dipasang di jalan utama ditemukan robek. Beberapa bahan makanan yang disimpan di gudang tiba-tiba rusak, seolah sengaja dirusak.

Pak Darto datang dengan wajah serius. “Ga, Kar… aku dengar dari orang pasar, ada yang mau bikin acara tandingan di kecamatan pada hari yang sama. Katanya, itu acara ‘bazar murah’ yang disponsori perusahaan besar.”

Sekar menatap Arga. “Kalau itu benar, mereka mau membagi perhatian orang. Bisa jadi festival kita sepi.”

Arga terdiam lama. “Kita punya dua pilihan: memajukan tanggal festival supaya tidak bentrok, atau tetap maju dan membuktikan bahwa orang akan memilih datang ke sini.”

Malam itu, mereka mengadakan rapat kecil. Sebagian warga ingin memajukan tanggal demi aman, tapi sebagian lagi merasa itu tanda takut.
“Kalau kita mundur, mereka akan pikir kita mudah diatur,” kata seorang pemuda.
“Tapi kalau kita tetap maju dan gagal, kita akan kehilangan muka,” balas yang lain.

Akhirnya, Arga berdiri. “Kita tetap di tanggal yang sama. Justru ini kesempatan untuk menunjukkan bahwa kita punya sesuatu yang tidak bisa mereka tiru: kebersamaan dan rasa memiliki.”

Keputusan itu membuat suasana rapat hening, lalu perlahan diikuti anggukan setuju. Sekar tahu, ini langkah berani — atau nekat. Tapi ia juga tahu, jika mereka berhasil, ini bisa menjadi titik balik yang mengubah segalanya.

Di luar, angin malam bertiup membawa aroma padi yang mulai menguning. Tapi di balik ketenangan itu, ada rasa tegang yang menunggu hari festival tiba.

Pagi itu, matahari terbit di atas hamparan sawah yang sudah dihias bendera warna-warni. Jalan masuk desa dipenuhi papan penunjuk arah buatan tangan, dan aroma masakan mulai tercium dari dapur-dapur warga. Musik gamelan pelan mengalun dari panggung bambu di tengah lapangan.

Arga berdiri di tepi jalan, menyambut tamu pertama yang datang: rombongan komunitas pangan dari Bandung. Sekar sibuk mengatur meja registrasi, memastikan setiap pengunjung mendapat brosur dan kupon untuk mencicipi produk desa.

Awalnya, semuanya berjalan lancar. Anak-anak menari di panggung, para ibu menjajakan nasi liwet, sayur asem, dan sambal terasi. Beberapa pembeli dari kota terlihat antusias mencoba beras Sumberjati, bahkan ada yang langsung memesan dalam jumlah besar.

Namun, menjelang siang, kabar tak sedap datang. Seorang pemuda berlari ke arah Arga.
“Ga… truk pengangkut beras untuk stan utama mogok di jalan masuk desa. Sopir bilang ada baut roda yang lepas. Katanya, itu bukan kerusakan biasa.”

Arga langsung teringat kejadian-kejadian sabotase sebelumnya. Ia menatap Sekar, yang wajahnya langsung tegang. “Kalau beras itu nggak sampai, kita nggak bisa pamerkan stok utama ke pembeli besar,” kata Sekar cepat.

Tanpa pikir panjang, Arga mengajak beberapa pemuda pergi ke lokasi truk. Benar saja, baut roda terlihat seperti sengaja dilonggarkan. Mereka memutuskan memindahkan karung-karung beras ke mobil bak terbuka milik warga, bolak-balik mengangkutnya ke lapangan.

Sementara itu, di festival, Sekar berusaha menahan waktu. Ia mengajak pengunjung berkeliling ke sawah, memberi kesempatan warga menjelaskan proses tanam. Musik dan atraksi diperpanjang, agar pembeli besar tidak sadar ada masalah di belakang layar.

Menjelang sore, karung-karung beras akhirnya tiba. Meski lelah dan berkeringat, Arga tersenyum lega melihat pembeli besar itu akhirnya memegang langsung produk mereka.
“Beras ini… kualitasnya bagus sekali,” ujar pembeli itu. “Saya rasa kita bisa bicara lebih lanjut soal kerja sama.”

Sekar menatap Arga dari kejauhan. Mereka tahu, hari ini nyaris berantakan — tapi justru karena masalah itu, warga melihat betapa semua orang mau bekerja sama tanpa saling menyalahkan.

Di langit senja, bendera-bendera kecil berkibar, seolah mengisyaratkan bahwa meski badai datang, Sumberjati masih berdiri.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience