bab 42

Drama Completed 256

Sejak peringatan Dian, Arga bergerak cepat. Ia menghubungi Laras dan Bima, meminta mereka mengatur pertemuan dengan beberapa jurnalis investigasi yang selama ini memantau kasus Sumberjati. Pertemuan dilakukan diam-diam di rumah Pak Surya di kota, jauh dari mata tim investigasi resmi.

Di sana, Arga memaparkan temuan-temuan yang belum ia serahkan ke pemerintah: rekaman percakapan dengan pemasok yang mengaku ditekan, foto-foto gudang logistik yang terhubung ke jaringan kartel, dan testimoni petani dari desa lain yang mengalami pola serupa.
> “Kalau jalur resmi buntu, saya ingin semua ini keluar ke publik. Tapi waktunya harus tepat — cukup untuk memaksa mereka bergerak, tapi tidak memberi kesempatan lawan untuk memutarbalikkan narasi,” kata Arga.

Sementara itu, di Sumberjati, Sekar dan Bu Ratna mulai membangun jaringan komunikasi dengan desa-desa sekutu. Mereka membuat grup pesan terenkripsi, tempat para pengurus koperasi dari berbagai daerah berbagi informasi dan bukti. Dalam beberapa hari, grup itu sudah berisi puluhan orang dari lima provinsi.

Di sisi lain, tanda-tanda “penutupan cepat” dari tim investigasi makin jelas:
- Pemeriksaan arsip dipercepat tanpa penjelasan.
- Pertanyaan yang diajukan semakin dangkal, seolah hanya untuk formalitas.
- Pak Herman mulai jarang hadir, menyerahkan tugas pada staf yang tampak tidak terlalu peduli.

Dian sempat menyelipkan catatan kecil ke tangan Arga saat istirahat makan siang: “Mereka akan buat laporan akhir minggu depan. Isinya: tidak ada bukti kuat.”

Malam itu, Arga mengumpulkan pengurus inti. “Kita tidak bisa menunggu mereka memutuskan nasib kita. Minggu depan, sebelum laporan itu keluar, kita harus pastikan publik sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Keputusan diambil: dalam tiga hari, mereka akan mengirimkan paket bukti ke media nasional dan internasional, lengkap dengan kronologi dan daftar saksi. Jalur resmi tetap berjalan, tapi jalur publik akan menjadi tekanan yang tak bisa diabaikan.

Di luar, angin malam berhembus membawa aroma padi yang hampir panen. Arga tahu, langkah ini akan membuat Sumberjati semakin berada di garis depan — dan sekali mereka melangkah, tidak ada jalan untuk mundur tanpa perlawanan.

Pagi itu, tepat pukul 08.00, rilis pers dari Sumberjati dan Asosiasi Petani Mandiri Nusantara mendarat di kotak masuk puluhan redaksi media nasional dan internasional. Di dalamnya:
- Kronologi lengkap serangan terhadap koperasi.
- Bukti foto dan dokumen yang menghubungkan perusahaan logistik dengan jaringan kartel beras.
- Testimoni petani dari lima provinsi yang mengalami pola tekanan serupa.

Tak butuh waktu lama, berita itu meledak di jagat maya. Tagar #BerasUntukPetani dan #BongkarKartel menduduki puncak trending. Stasiun TV menayangkan liputan khusus, sementara media internasional mulai menghubungi Arga untuk wawancara.

Namun, reaksi balik juga datang cepat:
- PT Graha Pangan Nusantara menggelar konferensi pers darurat, menuduh Sumberjati menyebarkan “informasi palsu yang mengancam stabilitas pangan nasional”.
- Beberapa saksi petani yang namanya muncul di rilis pers menerima telepon ancaman anonim.
- Tim investigasi resmi tiba-tiba menghentikan pemeriksaan di Sumberjati dengan alasan “menunggu instruksi atasan”.

Dian, anggota tim investigasi yang sebelumnya memberi peringatan, mengirim pesan singkat ke Arga: “Hati-hati. Ada upaya untuk membungkam sumber-sumber kalian. Jangan biarkan mereka sendirian.”

Malam itu, balai desa kembali penuh. Warga berkumpul, sebagian marah, sebagian khawatir. Arga berdiri di depan mereka.
> “Kita sudah memilih jalan ini. Mereka akan mencoba menakut-nakuti kita, tapi kita tidak akan mundur. Kita akan lindungi semua yang sudah bicara, dan kita akan terus bicara sampai kebenaran ini tak bisa dibungkam lagi.”

Di luar, hujan turun deras, membasahi jalanan desa. Tapi di dalam balai, semangat warga terasa seperti api yang baru saja disiram bensin — menyala lebih besar dari sebelumnya.

Sejak rilis bukti ke publik, ancaman terhadap saksi semakin nyata. Dua petani dari desa tetangga yang bersaksi di media melaporkan ada orang tak dikenal mengintai rumah mereka pada malam hari. Seorang pemasok kecil menerima surat peringatan dari “pihak berwenang” yang ternyata tidak resmi.

Arga segera mengumpulkan pengurus inti.
> “Kita tidak bisa biarkan mereka sendirian. Mulai malam ini, kita bentuk Tim Perlindungan Warga. Setiap saksi akan dijaga bergiliran oleh warga yang dipercaya, dan kita pastikan mereka punya jalur komunikasi darurat.”

Sekar mengatur agar setiap saksi memiliki ponsel dengan nomor khusus yang terhubung ke pos jaga balai desa. Bu Ratna mengoordinasikan logistik: lampu sorot tambahan, kunci ganda untuk rumah, dan kendaraan siaga jika harus evakuasi cepat.

Di tengah persiapan itu, kabar mengejutkan datang dari Laras. Ia baru saja menerima email anonim berisi dokumen internal PT Graha Pangan Nusantara. Dokumen itu memuat:
- Daftar desa dan koperasi yang menjadi target “penyesuaian harga” — termasuk Sumberjati.
- Instruksi kepada perusahaan logistik untuk “mengatur distribusi” agar stok di pasar tertentu terbatas.
- Catatan rapat direksi yang menyebut nama seorang pejabat daerah sebagai “mitra strategis” dalam menjaga kelancaran operasi.

Maya membaca cepat dokumen itu. “Kalau ini asli, ini bukan cuma soal kartel beras. Ini sudah masuk ke ranah kolusi dengan pejabat publik. Dampaknya bisa jauh lebih besar.”

Arga menatap map berisi dokumen itu lama. “Kita harus pastikan keasliannya sebelum bergerak. Tapi kalau ini benar… ini senjata yang bisa mengubah segalanya.”

Malam itu, di pos jaga balai desa, warga berkumpul sambil memeriksa daftar giliran patroli. Di luar, hujan rintik-rintik membasahi jalan tanah. Di dalam, mereka tak sadar bahwa di meja Arga, tumpukan kertas yang baru saja tiba bisa menjadi kunci untuk membongkar seluruh jaringan yang selama ini menekan mereka.

Sejak subuh, balai desa berubah menjadi ruang kerja darurat. Maya, Laras, dan dua jurnalis investigasi duduk di meja panjang, meneliti setiap halaman dokumen bocoran. Nomor kontrak, tanda tangan, dan stempel perusahaan dicocokkan dengan arsip publik dan catatan yang dimiliki koperasi.

Menjelang siang, hasilnya jelas: dokumen itu asli. Tidak hanya memuat bukti keterlibatan perusahaan logistik dan PT Graha Pangan Nusantara dalam pengaturan harga, tapi juga menunjukkan adanya koordinasi dengan seorang pejabat daerah untuk mempermudah distribusi terbatas — yang secara hukum bisa dikategorikan sebagai kolusi.

Sekar menatap Arga. “Kalau ini keluar sekarang, mereka bisa panik dan melakukan kesalahan. Tapi mereka juga bisa langsung menyerang balik, menuduh kita mencuri dokumen.”

Maya mengangguk. “Di sidang, bukti ini bisa jadi pukulan telak. Tapi kalau kita tunggu, ada risiko mereka tahu kita punya ini dan berusaha menghapus jejak atau mempengaruhi saksi.”

Rudi, yang sejak tadi diam, akhirnya bicara. “Kita punya dua jalur:
1. Publikasikan sekarang lewat media, memaksa reaksi cepat dan dukungan publik.
2. Simpan untuk sidang, biarkan mereka merasa aman, lalu jatuhkan di momen yang tidak bisa mereka siapkan.”

Arga berjalan mondar-mandir. Ia tahu, pilihan ini bukan hanya soal strategi hukum, tapi juga soal keselamatan saksi dan warga. Publikasi sekarang berarti badai besar di luar, tapi menunggu berarti bermain di arena yang dikendalikan lawan.

Akhirnya ia berhenti, menatap semua yang hadir.
> “Kita akan… memastikan bukti ini aman di luar desa dulu. Salinannya akan kita titipkan ke media dan asosiasi, tapi kita tahan publikasi penuh sampai sidang berikutnya. Kalau mereka mencoba menutup kasus, kita lepaskan semuanya.”

Keputusan itu disambut anggukan setuju. Malamnya, salinan digital terenkripsi dikirim ke tiga redaksi besar dan satu organisasi advokasi internasional, dengan instruksi jelas: “Rilis hanya jika kami memberi sinyal atau jika kami diserang.”

Di luar, langit Tambelang gelap tanpa bintang. Arga tahu, mereka baru saja menaruh kartu terkuat di meja — dan sekarang tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membukanya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience