Completed
256
Beberapa hari setelah foto jabat tangan Pak Wiryo dan Pak Saman viral, Arga menerima undangan resmi dari kantor bupati. Surat itu berkop pemerintah daerah, dengan kalimat pembuka yang hangat: “Kami mengapresiasi langkah Sumberjati dan Waringin dalam membangun kerja sama lintas desa. Kami ingin membicarakan peluang pengembangan lebih lanjut.”
Di ruang rapat kantor bupati, Arga, Sekar, dan Bu Ratna disambut oleh Kepala Dinas Pertanian dan stafnya. Mereka memaparkan rencana Program Sentra Beras Unggulan Kabupaten:
- Menggabungkan beberapa desa penghasil beras lokal ke dalam satu jaringan besar.
- Memberikan bantuan alat modern, gudang berpendingin, dan akses pasar nasional.
- Membentuk badan pengelola bersama yang akan mengatur produksi, harga, dan distribusi.
Sekilas, tawaran ini terdengar seperti mimpi: infrastruktur lebih baik, pasar lebih luas, dan dukungan penuh dari pemerintah. Namun, ada satu syarat yang membuat Arga terdiam:
> “Semua merek beras desa akan dilebur menjadi satu merek kabupaten. Identitas desa akan tetap dicantumkan kecil di label, tapi merek utama akan menjadi milik bersama.”
Sekar langsung menatap Arga. “Kalau kita setuju, nama Sumberjati yang kita bangun bertahun-tahun akan tenggelam di bawah merek kabupaten.”
Bu Ratna menambahkan, “Tapi kalau kita menolak, kita mungkin akan tertinggal dari desa lain yang ikut program ini.”
Arga meminta waktu seminggu untuk memberi jawaban. Dalam perjalanan pulang, ia memandangi hamparan sawah yang menguning. Ia tahu, ini bukan sekadar keputusan bisnis — ini soal memilih antara mempertahankan identitas atau membuka pintu ke peluang yang jauh lebih besar.
Di malam yang sunyi, ia menulis di buku catatannya: “Kadang, untuk tumbuh, kita harus melepas sebagian dari yang kita miliki. Tapi bagaimana jika yang dilepas adalah nama kita sendiri?”
Balai desa malam itu penuh sesak. Kursi-kursi plastik berderet rapat, sebagian warga bahkan berdiri di luar jendela untuk ikut mendengar. Di depan, meja panjang dipenuhi pengurus koperasi, tokoh masyarakat, dan perwakilan kelompok tani.
Arga membuka musyawarah dengan suara tenang. “Pemerintah kabupaten menawarkan kita bergabung dalam Program Sentra Beras Unggulan. Fasilitas modern, pasar lebih luas… tapi merek Sumberjati akan dilebur menjadi merek kabupaten. Kita harus memutuskan bersama.”
Suasana langsung riuh.
Pak Darto, yang dulu keras menolak perubahan, kali ini berdiri di barisan pendukung program. “Kalau kita mau maju, kita harus ikut arus. Jangan takut kehilangan nama, yang penting perut kenyang dan sawah tetap panen.”
Di sisi lain, Mak Siti menggeleng keras. “Nama itu bukan sekadar tulisan di karung. Itu harga diri kita. Kalau hilang, anak cucu kita hanya akan jadi catatan kaki di sejarah kabupaten.”
Sekar mencoba menengahi, menjelaskan keuntungan dan risiko secara seimbang. Namun, semakin malam, suara-suara mulai terbelah tajam:
- Kelompok pro menekankan peluang pasar nasional, harga jual lebih tinggi, dan bantuan alat modern.
- Kelompok kontra khawatir kehilangan identitas, kontrol harga, dan kedaulatan koperasi.
Pak Wiryo, yang baru saja berdamai dengan Waringin, angkat bicara pelan tapi tegas. “Saya pernah kehilangan hubungan baik demi mempertahankan batas sawah. Jangan sampai kali ini kita kehilangan nama demi mengejar janji yang belum tentu nyata.”
Musyawarah berlangsung hingga larut. Akhirnya, disepakati satu langkah: membentuk tim kecil yang akan menegosiasikan syarat khusus dengan pemerintah kabupaten — termasuk opsi mempertahankan merek Sumberjati di bawah payung program. Keputusan final akan diambil setelah hasil negosiasi jelas.
Saat warga mulai bubar, Arga duduk sendirian di kursi depan. Ia tahu, apa pun hasilnya nanti, keputusan ini akan menjadi titik balik — apakah Sumberjati akan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, atau tetap berdiri dengan nama sendiri meski harus berjalan lebih berat.
Tim kecil yang dibentuk musyawarah — terdiri dari Arga, Sekar, dan Pak Wiryo — berangkat pagi-pagi ke kantor kabupaten. Mereka membawa daftar poin negosiasi yang disepakati warga: mempertahankan nama Sumberjati di kemasan, menjaga kontrol harga di tingkat desa, dan memastikan pembagian keuntungan yang adil.
Di ruang rapat ber-AC, mereka disambut hangat oleh Kepala Dinas Pertanian dan dua stafnya. Presentasi dimulai dengan slide penuh grafik pertumbuhan pasar, foto-foto gudang modern, dan janji akses ke jaringan distribusi nasional.
Namun, saat pembicaraan masuk ke detail kontrak, nada berubah.
- Semua desa peserta program wajib menjual seluruh hasil panen melalui badan pengelola kabupaten.
- Harga beli akan ditentukan oleh badan tersebut, dengan formula yang “mengikuti pasar” namun tanpa jaminan minimum.
- Desa tidak boleh menjual langsung ke pembeli luar, bahkan untuk pesanan kecil, tanpa izin tertulis.
Arga menatap Sekar, yang langsung mencatat poin-poin itu. Ini jelas berbeda dari kesan awal yang mereka terima.
Pak Wiryo mengangkat tangan. “Kalau begitu, kami kehilangan kendali penuh atas hasil panen kami. Apa ini tidak sama saja dengan kembali ke sistem tengkulak, hanya saja tengkulaknya sekarang berbaju pemerintah?”
Kepala dinas tersenyum tipis. “Bapak jangan salah paham. Ini demi efisiensi dan keseragaman merek. Kalau semua berjalan lancar, semua desa akan untung.”
Setelah rapat, di parkiran, Sekar berkata lirih, “Kalau kita setuju, kita mungkin dapat fasilitas… tapi kita juga menyerahkan leher kita untuk diikat.”
Arga mengangguk. “Dan kalau kita menolak, kita harus siap bersaing dengan desa-desa yang ikut program ini, dengan dukungan penuh dari kabupaten.”
Mereka pulang dengan kepala penuh pertanyaan. Di jalan, Arga menatap keluar jendela mobil, melihat sawah-sawah yang menguning. Ia tahu, laporan yang akan mereka bawa pulang bukan sekadar hasil negosiasi — tapi peringatan bahwa setiap bantuan besar selalu datang dengan harga yang harus dibayar.
Balai desa kembali penuh malam itu. Arga, Sekar, dan Pak Wiryo berdiri di depan, membawa map berisi hasil negosiasi dengan pemerintah kabupaten.
Arga memulai dengan nada hati-hati. “Kami sudah menyampaikan semua poin yang kita sepakati. Tapi syarat yang mereka ajukan berbeda dari yang kita harapkan. Mereka ingin semua hasil panen dijual lewat badan pengelola kabupaten, harga ditentukan pusat, dan kita tidak boleh menjual langsung tanpa izin.”
Riuh langsung terdengar.
Kelompok yang sejak awal mendukung program kabupaten merasa syarat itu wajar. “Kalau semua diatur, harga bisa stabil. Kita dapat fasilitas, pasar lebih luas,” kata Pak Darto.
Namun, kelompok yang menolak semakin keras suaranya. Mak Siti berdiri sambil menunjuk ke arah Arga. “Kalau kita setuju, kita menyerahkan leher kita. Hari ini mereka atur harga, besok mereka bisa atur siapa yang boleh tanam dan siapa yang tidak.”
Sekar mencoba menenangkan, menjelaskan bahwa tim negosiasi belum menutup pintu, tapi suasana sudah panas. Beberapa warga mulai saling sindir, bahkan ada yang keluar ruangan dengan wajah kesal.
Pak Wiryo akhirnya bicara. “Kita pernah hampir pecah karena air irigasi. Jangan sampai kali ini kita pecah karena janji manis yang belum tentu nyata. Kalau mau ikut program, pastikan kita tidak kehilangan kendali atas sawah kita sendiri.”
Musyawarah malam itu berakhir tanpa keputusan final. Disepakati akan ada pemungutan suara resmi minggu depan, setelah semua warga diberi kesempatan membaca salinan syarat kontrak.
Saat balai desa mulai sepi, Arga duduk di kursi paling depan, memandang papan tulis yang masih penuh coretan pro dan kontra. Ia sadar, seminggu ke depan akan menjadi masa paling tegang dalam sejarah koperasi — karena yang dipertaruhkan bukan hanya kontrak, tapi arah masa depan Sumberjati.
Share this novel