Sejak berdirinya Koperasi Mandiri Sumberjati yang dipimpin kelompok Bu Ratna, pasar beras di wilayah sekitar mulai berubah. Pembeli dari kota kini punya dua pilihan: membeli dari koperasi Arga atau dari koperasi baru.
Awalnya, perbedaan harga hanya tipis. Namun, demi menarik lebih banyak petani, koperasi Bu Ratna mulai menawarkan harga beli gabah lebih tinggi dan menjual beras ke luar dengan margin tipis. Strategi ini membuat beberapa pembeli lama koperasi Arga beralih.
Di gudang koperasi lama, Arga memandangi catatan penjualan yang menurun.
“Kalau kita ikut turunkan harga, kas desa akan terkuras,” kata Sekar sambil menghitung ulang biaya operasional.
Pak Darto menimpali, “Kalau kita tidak turunkan, pembeli akan pergi. Ini seperti perang harga yang tidak akan ada pemenangnya.”
Di tengah kebuntuan itu, muncul pihak ketiga: seorang pedagang besar dari luar daerah yang menawarkan membeli beras dari kedua koperasi sekaligus, dengan syarat harga ditekan serendah mungkin. Ia mengaku ingin “membantu” desa agar tidak saling menjatuhkan, tapi Arga mencium motif lain.
“Kalau kita terima, dia akan jadi pengendali harga. Kita semua akan tergantung padanya,” ujar Arga.
Sementara itu, di lapangan, suasana antarwarga mulai renggang. Petani yang menjual ke koperasi Bu Ratna enggan ikut kerja bakti di gudang lama, dan sebaliknya, anggota koperasi Arga mulai menolak meminjamkan alat panen kepada “orang kubu sebelah”.
Sekar memandang Arga dengan cemas. “Ga, ini bukan lagi soal harga. Ini sudah jadi soal identitas dan gengsi. Kalau kita tidak temukan cara untuk membuat mereka duduk satu meja, desa ini akan terbelah permanen.”
Arga terdiam, menatap sawah yang menguning di kejauhan. Ia tahu panen besar akan datang sebentar lagi — dan itu bisa menjadi momen untuk menyatukan atau justru memecahkan desa sepenuhnya.
Musim panen tiba. Sawah-sawah Sumberjati menguning sempurna, bulir padi berat menunduk, seolah siap dipetik. Biasanya, panen besar menjadi pesta desa: semua warga turun ke sawah, lalu merayakannya dengan makan bersama di lapangan.
Tahun ini berbeda. Dua koperasi mengadakan acara panen masing-masing, di lokasi yang berdekatan tapi terpisah pagar bambu.
- Koperasi Arga menggelar tenda di sisi timur lapangan, lengkap dengan spanduk bertuliskan “Bersama untuk Desa”.
- Koperasi Bu Ratna menempati sisi barat, dengan spanduk “Mandiri dan Sejahtera”.
Suasana awalnya masih terkendali. Musik dangdut dari dua panggung bersahut-sahutan, anak-anak berlarian di tengah lapangan, dan para pembeli dari luar daerah datang meninjau hasil panen.
Namun, ketegangan mulai terasa ketika dua rombongan truk pengangkut beras tiba hampir bersamaan. Sopir dari masing-masing kubu saling berebut jalur keluar, membuat lalu lintas di jalan desa macet. Beberapa warga dari kedua pihak mulai berteriak, saling menuduh menghalangi.
Puncaknya, salah satu karung beras jatuh dari truk dan robek, isinya tumpah di tanah. Seorang pemuda dari kubu Bu Ratna menuduh itu sabotase, sementara pihak Arga bersikeras itu kecelakaan. Suasana memanas, dan hanya campur tangan cepat para tetua desa yang mencegah perkelahian terbuka.
Di tengah keributan, para pembeli luar daerah terlihat saling berbisik. Beberapa dari mereka memutuskan pergi lebih awal, khawatir dengan situasi yang tidak kondusif.
Malamnya, Arga duduk di beranda rumah, memandangi sisa-sisa jerami yang terbawa angin. Sekar duduk di sampingnya, wajahnya letih.
“Ga, kalau begini terus, kita bukan cuma kehilangan pembeli… kita kehilangan wajah di mata orang luar,” katanya.
Arga mengangguk pelan. “Mungkin kita terlalu sibuk membuktikan siapa yang benar, sampai lupa membuktikan bahwa desa ini layak dipercaya.”
Di kejauhan, suara mesin truk masih terdengar, mengangkut hasil panen ke arah yang berbeda. Dua jalur, dua tujuan — dan satu desa yang semakin sulit menemukan titik temu.
Dua hari setelah keributan di acara panen, kabar buruk datang. Pembeli besar dari Surabaya yang selama ini menjadi pelanggan utama kedua koperasi mengirimkan surat resmi: kontrak dibatalkan. Alasannya singkat — “situasi internal desa tidak kondusif untuk kerja sama jangka panjang.”
Arga membaca surat itu berulang kali, seolah berharap kata-katanya akan berubah. Di gudang, para pekerja mulai resah. Tanpa kontrak itu, beras yang sudah dikemas siap kirim akan menumpuk, dan harga di pasar lokal jauh lebih rendah.
Di sisi lain desa, Bu Ratna menerima surat yang sama. Ia memanggil beberapa orang kepercayaannya, tapi wajah mereka menunjukkan kekhawatiran yang sama.
“Kalau kita tidak segera cari pembeli baru, kita akan rugi besar,” kata salah satu anggota.
Kabar pembatalan kontrak menyebar cepat. Warga mulai saling menyalahkan: kubu Arga menuding kericuhan di sisi Bu Ratna yang memicu pembatalan, sementara kubu Bu Ratna menuduh Arga sengaja memprovokasi.
Sekar, yang melihat situasi semakin panas, memutuskan menghubungi Bu Ratna secara pribadi. Mereka bertemu di sebuah warung kecil di pinggir sawah, jauh dari telinga warga.
“Bu, kalau kita terus begini, dua-duanya akan tenggelam,” kata Sekar.
Bu Ratna menatapnya lama. “Kau mau bilang kita harus kerja sama lagi?”
“Setidaknya sampai kita dapat pembeli baru. Setelah itu… terserah mau bagaimana,” jawab Sekar.
Beberapa hari kemudian, Arga dan Bu Ratna duduk berhadapan di balai desa. Tidak ada senyum, hanya tatapan hati-hati.
“Kita buat kesepakatan sementara,” kata Arga. “Gabungkan stok untuk memenuhi pesanan besar. Keuntungan dibagi sesuai jumlah yang disumbang.”
Bu Ratna mengangguk pelan. “Tapi semua proses harus transparan. Tidak ada rapat rahasia.”
Kesepakatan itu belum tentu menghapus luka lama, tapi setidaknya memberi mereka peluang untuk bertahan. Di luar, sawah yang baru dipanen terlihat kosong, tapi di hati Arga, ia tahu musim berikutnya akan menentukan apakah desa ini bisa kembali satu… atau pecah selamanya.
Kesepakatan darurat antara dua koperasi membuat stok gabungan mereka cukup besar untuk menarik minat pembeli baru. Seorang pengusaha dari Semarang, Pak Herman, datang langsung ke Sumberjati untuk melihat kualitas beras.
Di balai desa, Arga dan Bu Ratna duduk di sisi berlawanan meja, sementara Pak Herman tersenyum ramah.
“Saya tertarik membeli seluruh stok ini,” katanya. “Tapi… saya dengar hubungan di sini sedang tidak terlalu harmonis. Itu artinya saya harus menanggung risiko. Jadi, saya harap harganya bisa lebih bersahabat.”
Arga langsung paham maksudnya: Pak Herman sedang memanfaatkan situasi. Jika mereka menolak, ia bisa dengan mudah membeli dari salah satu kubu saja dengan harga lebih rendah.
Bu Ratna menatap Arga sekilas, lalu berkata, “Kami sudah punya harga dasar yang disepakati.”
Pak Herman tersenyum tipis. “Harga dasar itu bagus… kalau kalian benar-benar solid. Tapi kalau tidak, saya bisa ambil dari pihak yang mau memberi harga lebih murah.”
Suasana di ruangan menegang. Sekar, yang duduk di belakang, memberi isyarat halus agar Arga menahan diri. Ia tahu, sedikit saja emosi terpancing, kesepakatan darurat ini bisa runtuh.
Arga akhirnya berkata, “Pak Herman, kami memang punya perbedaan, tapi untuk urusan ini, kami berdiri di harga yang sama. Kalau Bapak mau, kita bisa bicara soal volume dan pengiriman, tapi harga tidak berubah.”
Bu Ratna mengangguk pelan, meski matanya tetap waspada.
Pak Herman terdiam beberapa detik, lalu tersenyum lagi. “Baiklah. Saya akan pertimbangkan. Tapi ingat, pasar itu keras. Kalau kalian tidak cepat memutuskan, ada banyak desa lain yang siap menjual.”
Setelah ia pergi, Arga dan Bu Ratna masih duduk dalam diam. Mereka sama-sama tahu, mempertahankan harga berarti mempertahankan muka — tapi juga mempertaruhkan kesempatan penjualan besar.
Di luar, langit sore mulai memerah. Sekar berbisik pada Arga, “Ga… ini baru awal. Kalau kita tidak benar-benar kompak, pembeli seperti dia akan terus datang, dan setiap kali mereka akan mencoba membelah kita lagi.”
Arga menatap jalan yang mulai sepi. Ia sadar, ujian terbesar dari kerja sama ini bukanlah menemukan pembeli — tapi menjaga agar meja perundingan tidak retak sebelum kesepakatan tercapai.
Share this novel