bab 43

Drama Completed 256

Ruang sidang kali ini terasa berbeda. Dari awal, kuasa hukum PT Graha Pangan Nusantara terlihat lebih waspada. Mereka membawa tumpukan map baru, dan beberapa kali berbisik sambil melirik ke arah meja tergugat, seolah mencoba membaca gerak-gerik Arga dan timnya.

Hakim memulai dengan agenda mendengarkan saksi ahli dari pihak penggugat. Saksi itu memaparkan analisis pasar yang, menurutnya, membuktikan bahwa Sumberjati “tidak mungkin” menjadi korban kartel, melainkan hanya kalah bersaing secara wajar.

Maya membiarkan paparan itu selesai, lalu dengan tenang mengajukan pertanyaan silang yang menusuk:
> “Apakah Saudara saksi mengetahui adanya instruksi pembatasan distribusi dari perusahaan logistik tertentu ke wilayah tertentu?”

Saksi terdiam sejenak, lalu menjawab singkat, “Tidak tahu.” Tapi Arga melihat jelas, kuasa hukum penggugat langsung menunduk, mencatat sesuatu dengan cepat.

Di luar sidang, Laras memberi tahu Arga bahwa sejak pagi ada dua orang tak dikenal memotret dirinya dan Bima di halaman pengadilan. “Mereka mengikuti sampai ke parkiran,” katanya. “Sepertinya mereka mulai curiga kita punya sesuatu yang belum keluar.”

Sore itu, di rumah singgah tempat tim menginap, Arga mengumpulkan semua orang. “Mereka sudah mencium bau. Kita harus pastikan salinan bukti bocoran itu aman di luar negeri juga. Kalau mereka berani menekan media lokal, kita punya cadangan yang tak bisa mereka sentuh.”

Rudi mengangguk. “Kita kirim ke jaringan jurnalis internasional malam ini. Tanpa detail lengkap, tapi cukup untuk memberi sinyal bahwa kita siap meledakkannya kapan saja.”

Malam turun di kota, tapi di ruang kecil itu, strategi disusun dengan ketelitian seperti orang menyiapkan langkah terakhir sebelum bentrokan besar. Arga tahu, permainan ini sudah masuk tahap di mana satu langkah salah bisa membuat semua runtuh — atau justru menjatuhkan lawan sepenuhnya.

Dua hari setelah sidang terakhir, suasana di Sumberjati mulai memanas lagi. Pagi-pagi, sebuah truk besar dengan logo PT Graha Pangan Nusantara berhenti di pasar kecamatan. Mereka membagikan beras gratis kepada warga sekitar, sambil membagikan selebaran yang menuduh koperasi Sumberjati “memanipulasi opini publik demi keuntungan pribadi”.

Beberapa warga desa tetangga yang belum tahu duduk perkaranya mulai bertanya-tanya. Ada yang mengirim pesan ke Sekar, menanyakan apakah benar koperasi “memainkan harga” seperti yang tertulis di selebaran.

Di saat yang sama, Laras menerima kabar dari rekan jurnalisnya di Jakarta: media internasional yang memegang salinan bukti bocoran mulai menghubungi Kementerian Perdagangan dan Kedutaan Besar Indonesia di luar negeri untuk meminta komentar resmi. Tekanan ini membuat kementerian mengeluarkan pernyataan singkat bahwa mereka “memantau perkembangan kasus Sumberjati dengan serius”.

Arga mengumpulkan pengurus di balai desa.
> “Mereka sedang memancing kita untuk bereaksi emosional. Kalau kita terpancing, mereka akan bilang kita menyerang balik dengan fitnah. Kita harus jawab dengan data, bukan amarah.”

Keputusan diambil: koperasi akan menggelar Pasar Terbuka Sumberjati akhir pekan ini, mengundang media dan warga dari desa sekitar untuk melihat langsung proses penjualan, harga, dan kualitas beras. Semua transparan, tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Sementara itu, Rudi mengusulkan langkah tambahan: mengirimkan ringkasan bukti bocoran ke media internasional yang sudah memegang salinannya, agar mereka mulai menulis latar belakang kasus tanpa membuka semua detail. “Biar publik tahu ada sesuatu yang lebih besar di balik ini,” katanya.

Malamnya, di pos jaga, Arga duduk bersama Andi dan Reno. Dari kejauhan, lampu-lampu sawah berkelip. Ia tahu, langkah mereka berikutnya akan menentukan apakah Sumberjati bisa mempertahankan dukungan publik — atau justru terjebak dalam narasi yang dipasang lawan.

Sejak pagi, halaman balai desa dipenuhi tenda-tenda putih. Karung-karung beras Sumberjati ditata rapi, lengkap dengan label harga yang jelas. Warga dari desa sekitar berdatangan, sebagian penasaran, sebagian ingin membeli langsung. Kamera media nasional dan lokal berderet di sisi lapangan, merekam setiap aktivitas.

Arga membuka acara dengan sambutan singkat:
> “Hari ini, semua orang bisa melihat sendiri bagaimana kami bekerja. Tidak ada yang disembunyikan. Harga, kualitas, dan proses — semua terbuka.”

Awalnya, suasana berjalan lancar. Wartawan mewawancarai pembeli, anak-anak berlarian, dan transaksi berlangsung ramai. Namun, menjelang siang, seorang pria paruh baya yang tidak dikenal tiba-tiba berteriak di tengah kerumunan.
> “Beras ini bercampur batu! Saya beli tadi pagi, lihat ini!”

Ia mengangkat segenggam beras dari kantong plastik, memperlihatkan beberapa butir kecil yang memang tampak seperti kerikil. Kamera langsung mengarah ke arahnya. Beberapa pengunjung mulai berbisik-bisik.

Sekar segera memeriksa beras itu. Dari tekstur dan warna, ia tahu ini bukan dari stok Sumberjati. “Pak, ini bukan beras kami. Plastik kemasannya pun berbeda,” katanya tegas.

Namun pria itu bersikeras. “Saya beli di sini, pagi tadi!”

Arga bergerak cepat. Ia mengajak pria itu ke meja pemeriksaan kualitas yang memang disiapkan untuk acara ini. Di depan wartawan, ia membuka karung beras Sumberjati yang masih tersegel, menakar sampel, dan memeriksanya bersama dua pembeli lain. Hasilnya: bersih, tanpa campuran.

Laras, yang sejak awal curiga, membisikkan pada Arga bahwa ia melihat pria itu datang dari arah pasar kecamatan, bukan dari area penjualan resmi. “Sepertinya ini upaya sabotase,” ujarnya.

Arga lalu mengumumkan di pengeras suara:
> “Kami tidak akan menuduh siapa pun, tapi kami pastikan semua beras yang keluar dari sini melewati pemeriksaan kualitas. Jika ada yang menemukan masalah, silakan periksa bersama kami di tempat. Transparansi adalah janji kami.”

Tepuk tangan pecah, dan suasana mulai tenang kembali. Namun Arga tahu, insiden ini bukan kebetulan. Ada pihak yang sengaja mencoba merusak momen ini di depan kamera.

Di sudut lapangan, Rudi sudah memeriksa rekaman CCTV portabel yang dipasang pagi tadi. Wajah pria itu terekam jelas — dan Rudi yakin, ia pernah melihatnya di foto-foto intel lapangan yang memantau kegiatan koperasi.

Malam setelah Pasar Terbuka, Rudi memutar ulang rekaman CCTV portabel di ruang rapat balai desa. Gambar tidak terlalu tajam, tapi cukup jelas untuk mengenali ciri-ciri: pria paruh baya, berkemeja kotak-kotak, dengan bekas luka di pelipis kiri.

Laras langsung mengeluarkan ponselnya, membuka folder foto hasil liputan beberapa minggu lalu. “Ini dia,” katanya sambil menunjuk layar. “Orang ini pernah saya lihat di gudang logistik milik PT Graha Pangan Nusantara di kota. Waktu itu dia sedang mengawasi bongkar muat.”

Sekar menambahkan, “Kalau dia karyawan mereka, berarti insiden tadi bukan spontan. Itu operasi yang direncanakan.”

Maya segera menghubungi kontaknya di asosiasi untuk memeriksa identitas. Tak sampai dua jam, jawaban datang: pria itu bernama Samsul Rahman, staf lapangan di perusahaan logistik yang terdaftar sebagai mitra distribusi utama PT Graha Pangan Nusantara.

Arga menatap data itu lama. “Kalau kita bawa ini ke publik, mereka akan kesulitan menyangkal. Tapi kita harus pastikan semua prosedur hukum terpenuhi, supaya tidak bisa dibantah di pengadilan.”

Keputusan diambil:
- Langkah hukum: Maya akan menyiapkan laporan resmi ke kepolisian tentang dugaan sabotase, lengkap dengan rekaman CCTV dan bukti keterkaitan Samsul dengan perusahaan logistik.
- Langkah media: Rudi dan Laras akan menyiapkan narasi yang hati-hati untuk media, menekankan bahwa koperasi tidak menuduh tanpa bukti, tapi meminta penyelidikan terbuka.
- Langkah internal: Tim perlindungan warga akan memperketat penjagaan gudang dan acara publik, mengantisipasi serangan balasan.

Keesokan paginya, berita tentang laporan resmi koperasi Sumberjati mulai muncul di portal-portal berita. Judulnya bervariasi, tapi intinya sama: “Koperasi Sumberjati Laporkan Dugaan Sabotase oleh Staf Perusahaan Logistik”.

Di kantor pusat PT Graha Pangan Nusantara, suasana dilaporkan tegang. Beberapa sumber mengatakan manajemen memanggil semua staf lapangan untuk “klarifikasi internal”.

Arga tahu, ini baru langkah awal. Tapi untuk pertama kalinya, mereka punya bukti yang menghubungkan serangan langsung ke jaringan lawan — dan itu mengubah posisi tawar Sumberjati secara drastis.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience