Sejak mengetahui bahwa sabotase di pelabuhan melibatkan mantan sopir koperasi dan kemungkinan bantuan dari orang dalam, Arga dan Sekar sepakat untuk bergerak hati-hati. Mereka tahu, jika tuduhan dilontarkan tanpa bukti, desa bisa pecah menjadi dua kubu.
Mereka mulai dengan langkah kecil: mempersempit lingkaran orang yang tahu detail jadwal pengiriman. Setiap kali ada pengiriman, Arga sengaja memberikan informasi waktu dan rute yang sedikit berbeda kepada tiap anggota pengurus. Tujuannya sederhana — jika ada kebocoran, mereka bisa melacak dari jalur informasi mana ia keluar.
Sekar, di sisi lain, mendekati warga secara personal. Ia mengobrol santai di warung, di sawah, atau saat membantu di dapur umum, mencoba menangkap percakapan yang mungkin mengarah pada siapa yang berhubungan dengan pihak luar.
Dua minggu kemudian, hasilnya mulai terlihat. Pada satu pengiriman percobaan, hanya tiga orang yang tahu rute sebenarnya. Dan anehnya, di titik pemberhentian pertama, sudah ada dua orang asing yang menunggu — persis seperti yang terjadi di pelabuhan.
Arga mencatat nama-nama yang ada di lingkaran itu. Salah satunya adalah anggota koperasi yang belakangan sering absen rapat, tapi selalu muncul saat ada pembagian keuntungan.
Malamnya, Arga dan Sekar memanggil Pak Darto untuk berdiskusi.
“Kalau kita konfrontasi sekarang, dia bisa menyangkal dan memutarbalikkan keadaan,” kata Sekar.
Pak Darto mengangguk. “Kita butuh bukti yang tidak bisa dibantah. Tangkap dia saat tangan masih memegang karung.”
Mereka pun menyusun rencana: pada pengiriman berikutnya, Arga akan sengaja membuat “jebakan” — satu karung beras berisi penanda khusus yang hanya bisa dikenali oleh mereka bertiga. Jika karung itu hilang atau rusak sebelum sampai tujuan, mereka akan tahu siapa yang membocorkan rute.
Di luar, malam terasa lebih sunyi dari biasanya. Arga menatap gelapnya jalan desa dan berkata pelan, “Kalau benar dia orangnya… ini akan jadi luka yang sulit disembuhkan.”
Hari pengiriman tiba. Semua berjalan seperti biasa di mata warga, tapi di balik layar, Arga, Sekar, dan Pak Darto sudah menyiapkan rencana. Satu karung beras diberi tanda khusus di bagian dalam jahitannya — benang merah tipis yang hanya mereka bertiga tahu. Karung itu dimasukkan ke truk bersama muatan lain, dan rute pengiriman hanya diberitahukan kepada tiga orang, termasuk anggota koperasi yang mereka curigai.
Truk berangkat pagi-pagi, diikuti dari jauh oleh motor yang dikendarai Arga dan Rian. Mereka sengaja menjaga jarak, pura-pura tidak terlibat.
Di sebuah titik pemberhentian yang tidak ada dalam rute resmi, truk berhenti. Dari balik pepohonan, Arga melihat anggota koperasi itu berbicara dengan dua pria asing. Salah satunya adalah mantan sopir yang terekam CCTV di pelabuhan. Mereka membuka bak truk, menarik keluar satu karung — karung dengan benang merah.
Arga memberi isyarat ke Rian, lalu mereka mendekat cepat. “Berhenti!” teriak Arga. Pria asing itu kaget, tapi anggota koperasi yang mereka curigai justru mencoba menutup bak truk seolah tak terjadi apa-apa.
Pak Darto yang sudah menunggu di ujung jalan datang bersama dua warga lain. Karung itu dibuka di tempat, dan benang merah terlihat jelas. Tidak ada lagi ruang untuk menyangkal.
Wajah anggota koperasi itu pucat. “Aku… aku butuh uang. Mereka janji bayar lebih kalau aku kasih info rute,” katanya lirih.
“Dengan harga menghancurkan usaha kita sendiri?” suara Sekar bergetar, antara marah dan kecewa.
Malam itu, rapat darurat digelar. Warga terbelah: sebagian ingin mengusirnya dari koperasi, sebagian lagi merasa ia harus diberi kesempatan kedua karena alasan ekonomi.
Arga berdiri di depan semua orang. “Ini bukan hanya soal satu orang. Ini soal apakah kita bisa saling percaya. Kalau kita biarkan tanpa konsekuensi, besok bisa terjadi lagi.”
Keputusan akhirnya diambil: anggota itu dikeluarkan dari koperasi, tapi tidak diusir dari desa. Ia tetap boleh menjual hasil panennya secara pribadi, namun tanpa akses ke jalur distribusi bersama.
Keputusan itu berat, tapi Arga tahu, menjaga kepercayaan lebih penting daripada menjaga jumlah anggota. Dan malam itu, ia sadar — perjuangan Sumberjati bukan hanya melawan pihak luar, tapi juga menjaga agar api di dalam tidak padam oleh pengkhianatan.
Sejak insiden penangkapan anggota koperasi yang membocorkan rute, Arga memutuskan untuk memperketat semua prosedur distribusi. Setiap pengiriman kini diawasi oleh dua orang yang berbeda, rute hanya diberitahukan beberapa jam sebelum berangkat, dan gudang diberi kunci ganda yang hanya dipegang oleh Arga dan Pak Darto.
Awalnya, warga menerima aturan baru itu dengan tenang. Tapi perlahan, bisik-bisik mulai terdengar di warung kopi dan tepi sawah.
“Kenapa sekarang semua harus lewat izin Arga?”
“Dulu kita saling percaya, sekarang seperti diawasi terus.”
Sekar mencoba menenangkan. “Ini demi keamanan, bukan karena kita saling curiga.”
Namun, ia tahu, rasa tidak nyaman itu nyata. Beberapa anggota koperasi mulai jarang hadir rapat, dan ada yang memilih menjual sebagian hasil panen langsung ke pasar tanpa lewat koperasi.
Suatu sore, seorang ibu mendatangi Arga di gudang. “Ga, anak saya mau ikut mengantar beras, tapi katanya harus disetujui dulu. Kenapa ribet sekali sekarang?”
Arga menarik napas panjang. “Bu, ini untuk mencegah kejadian seperti kemarin terulang. Kita tidak bisa sembarangan lagi.”
Ibu itu mengangguk pelan, tapi wajahnya tetap menyimpan kecewa.
Pak Darto memperingatkan Arga, “Kalau kita terlalu ketat, orang akan merasa tidak dipercaya. Dan kalau rasa itu tumbuh, koperasi bisa pecah dari dalam.”
Malam itu, Arga duduk di beranda bersama Sekar.
“Kita membangun sistem ini untuk melindungi semua orang,” kata Arga.
“Tapi kalau sistem ini membuat orang merasa terasing, kita justru kehilangan hal yang paling kita jaga: kebersamaan,” jawab Sekar.
Di kejauhan, lampu-lampu rumah warga berkelip. Arga sadar, menjaga koperasi tetap utuh bukan hanya soal melawan ancaman dari luar, tapi juga menjaga agar benih-benih curiga di dalam tidak tumbuh menjadi jurang yang memisahkan mereka.
Pagi itu, suasana gudang koperasi sudah tegang sejak awal. Beberapa warga datang untuk menimbang hasil panen, tapi antrean berjalan lambat karena Arga sedang memeriksa ulang setiap karung. Aturan baru yang ia terapkan membuat proses lebih lama, dan sebagian warga mulai menggerutu.
Ketegangan memuncak ketika salah satu karung milik Pak Rudi — petani senior yang disegani — dibuka untuk pemeriksaan acak. Di dalamnya ditemukan beberapa butir beras yang warnanya berbeda, tanda bercampurnya varietas lain.
“Ini apa maksudnya, Ga? Kau pikir aku sengaja campur beras?” suara Pak Rudi meninggi.
Arga mencoba menenangkan. “Pak, ini prosedur. Kita harus pastikan kualitas sama untuk semua pengiriman.”
“Tapi kau memeriksa seolah aku tidak jujur! Dulu kita saling percaya, sekarang semua dianggap tersangka!”
Suasana di gudang langsung panas. Beberapa warga membela Pak Rudi, mengatakan aturan baru terlalu keras. Yang lain mendukung Arga, mengingatkan bahwa tanpa keamanan, koperasi bisa hancur lagi.
Sekar yang melihat dari sudut ruangan tahu, ini bukan sekadar soal karung beras. Ini soal luka lama yang belum sembuh sejak pengkhianatan terungkap.
“Ga,” bisiknya, “kalau kita biarkan, ini bisa pecah jadi dua kubu.”
Arga menarik napas panjang, lalu berdiri di tengah ruangan. “Aku minta maaf kalau aturan ini membuat kalian merasa tidak dipercaya. Tapi kita semua tahu, sekali kepercayaan hilang, sulit untuk kembali. Aku tidak mau kejadian kemarin terulang. Tapi aku juga tidak mau kita saling curiga seperti ini.”
Ia lalu mengusulkan kompromi: pemeriksaan tetap dilakukan, tapi dilakukan oleh tim yang dipilih warga sendiri, bukan hanya oleh dirinya atau pengurus inti. Dengan begitu, semua merasa terlibat dan diawasi secara adil.
Keputusan itu meredakan suasana, meski wajah Pak Rudi masih kaku. Saat warga mulai bubar, Sekar berbisik, “Kamu berhasil meredakan hari ini. Tapi retakan ini belum hilang. Kita harus cari cara menutupnya sebelum melebar.”
Arga mengangguk. Ia tahu, menjaga koperasi tetap utuh kini bukan hanya soal melawan musuh di luar, tapi juga soal menyembuhkan hati yang mulai renggang di dalam.
Share this novel