bab 2

Drama Series 49

Beberapa minggu berlalu sejak gosip mulai beredar. Sekar berusaha menjalani hari seperti biasa, tapi ia tahu, tatapan orang-orang di pasar kini berbeda. Ada yang sekadar penasaran, ada pula yang menyimpan nada menghakimi.

Sementara itu, proyek pembangunan jembatan yang dikerjakan Arga hampir selesai. Artinya, waktunya di desa tinggal menghitung hari. Namun, setiap sore, entah bagaimana, langkahnya selalu membawanya ke arah rumah Sekar—kadang dengan alasan melihat lahan, kadang hanya untuk berbincang sebentar di pagar bambu.

Suatu sore, Arga datang dengan wajah lebih serius dari biasanya.
“Aku… mungkin minggu depan harus kembali ke kota,” ucapnya pelan.
Sekar terdiam, menatap ke arah sawah yang mulai menguning. “Memang itu tujuanmu dari awal, kan? Datang, kerja, lalu pergi.”
“Tapi… aku tidak menyangka akan menemukan alasan untuk ingin tinggal lebih lama,” jawab Arga, suaranya nyaris berbisik.

Sekar menoleh, menatapnya lekat. “Arga, hidup di desa bukan seperti liburan. Di sini, semua orang saling tahu urusan masing-masing. Dan aku… tidak mau jadi bahan cerita hanya karena kita terlalu dekat.”

Arga mengangguk, tapi matanya menyiratkan kegelisahan. Ia tahu, jika ia pergi sekarang, mungkin ia tak akan pernah melihat Sekar lagi. Namun, jika ia memutuskan tinggal, ia harus siap menghadapi dunia yang sama sekali berbeda dari kehidupannya di kota.

Malam itu, Sekar duduk di beranda, memandangi bintang-bintang. Di hatinya, ia pun dilanda dilema yang sama—antara menjaga ketenangan hidupnya, atau memberi kesempatan pada perasaan yang diam-diam tumbuh.

Pagi itu, kabar beredar cepat di warung kopi dekat balai desa: Arga memutuskan memperpanjang masa tinggalnya. Alasannya resmi—mengawasi tahap akhir proyek jembatan—tapi bagi sebagian warga, alasannya sudah jelas: Sekar.

“Wah, orang kota itu betah juga di sini,” celetuk seorang bapak sambil menyeruput kopi.
“Betah atau betah sama orangnya?” sahut yang lain, disambut tawa kecil.

Sekar mendengar kabar itu dari Siti, sahabatnya sejak kecil.
“Kamu hati-hati, Kar. Orang-orang sudah mulai pasang telinga. Kalau memang cuma urusan kerja, ya jangan terlalu sering ketemu,” ujar Siti sambil menatapnya serius.
Sekar hanya mengangguk, meski hatinya terasa berat. Ia tahu Siti benar, tapi ia juga tahu Arga bukan sekadar “orang kota” yang singgah.

Sore harinya, Arga datang lagi, kali ini membawa dua bungkus gorengan dari pasar.
“Untuk Ibu dan adikmu,” katanya sambil tersenyum.
Sekar menerima, tapi ekspresinya datar. “Kenapa kamu memutuskan tinggal lebih lama?”
“Karena… aku belum selesai di sini,” jawab Arga, menatapnya lekat. “Bukan cuma soal jembatan.”

Sekar menunduk, mencoba menghindari tatapan itu. “Arga, aku tidak mau hidupku jadi bahan cerita. Aku sudah cukup nyaman dengan kesederhanaan di sini.”
“Aku mengerti,” jawab Arga pelan. “Tapi kadang, kita tidak bisa memilih kapan dan di mana hati kita berhenti.”

Hening sejenak. Angin sore membawa aroma padi yang mulai menguning. Di kejauhan, suara anak-anak bermain layangan terdengar samar.

Sekar tahu, jika ia membiarkan perasaan ini tumbuh, hidupnya tak akan sama lagi. Tapi menutup hati pun terasa seperti mengingkari sesuatu yang sudah terlanjur hadir.

Hujan deras semalaman membuat sungai di tepi desa meluap. Pagi itu, kabar cepat menyebar: salah satu tiang penyangga jembatan yang sedang dibangun retak. Warga khawatir, karena jembatan itu adalah satu-satunya akses menuju pasar dan sekolah.

Arga langsung turun ke lokasi bersama beberapa pekerja. Lumpur menempel di sepatunya, kemejanya basah oleh gerimis yang belum reda. Ia memeriksa kerusakan sambil memberi instruksi cepat.

Sekar, yang mendengar kabar itu dari tetangga, ikut datang membawa termos berisi teh panas untuk para pekerja. Saat ia menyerahkan gelas kepada Arga, beberapa warga yang berdiri di pinggir jalan mulai berbisik-bisik lagi.
“Lihat, kan? Selalu saja dekat.”
“Kalau bukan karena dia, orang kota itu sudah pulang.”

Sekar pura-pura tak mendengar, tapi hatinya panas. Ia tahu, membantu Arga bukan untuk mencari perhatian, melainkan karena ia peduli pada desa ini.

Siang menjelang, hujan reda. Arga memanggil Sekar ke tepi sungai.
“Sekar, aku butuh bantuanmu. Aku harus bicara dengan kepala desa dan beberapa pemilik lahan untuk rencana perbaikan. Kamu kenal mereka semua, kan?”
Sekar mengangguk. “Aku bisa bantu. Tapi… kamu siap kalau nanti orang makin banyak bicara?”
Arga menatapnya serius. “Biar saja. Yang penting, jembatan ini selesai dan aman. Dan… aku tidak mau menjauh hanya karena takut omongan orang.”

Sekar terdiam. Ada sesuatu di nada suaranya yang membuatnya sulit menolak.

Sore itu, mereka berjalan bersama menuju rumah kepala desa. Langkah mereka melewati jalanan becek, tatapan warga mengikuti dari teras rumah masing-masing. Sekar bisa merasakan beban pandangan itu, tapi untuk pertama kalinya, ia memilih untuk tidak menunduk.

Di hatinya, ia mulai sadar—mungkin, menjaga jarak bukan lagi pilihan yang ia inginkan.

Pagi itu, Sekar berdiri di tepi sungai bersama Arga dan kepala desa. Mereka membicarakan rencana perbaikan jembatan, sambil menunjuk-nunjuk bagian yang retak. Beberapa warga ikut berkumpul, sebagian membantu, sebagian hanya menonton.

Sekar sibuk mencatat daftar bahan yang dibutuhkan, sementara Arga menjelaskan teknis pengerjaan. Dari sudut matanya, Sekar bisa melihat beberapa ibu-ibu berbisik sambil melirik ke arah mereka. Ia mencoba mengabaikan, tapi suara-suara itu seperti jarum kecil yang menusuk pelan.

Siang menjelang, mereka mulai mengangkut batu dan kayu. Arga tak segan ikut mengangkat beban berat, meski kemejanya basah oleh keringat. Sekar sempat menawarinya air minum, dan momen itu—sesederhana apapun—terasa seperti percakapan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.

Namun, sore harinya, Siti datang ke rumah Sekar dengan wajah khawatir.
“Kar, kamu harus hati-hati. Ada yang bilang kamu sengaja dekat sama Arga supaya dia betah di sini. Katanya, kamu mau ikut dia ke kota.”
Sekar terdiam. “Orang selalu punya cerita. Tapi aku tahu apa yang kulakukan.”
Siti menatapnya lama. “Aku cuma takut kamu terluka.”

Malam itu, Sekar duduk di beranda, memandangi jembatan yang tampak samar di kejauhan. Ia tahu, proyek itu akan selesai dalam beberapa minggu. Dan saat itu tiba, Arga mungkin akan pergi—membawa serta semua kenangan yang mereka bangun di bawah tatapan penuh prasangka.

Di sisi lain, Arga di rumah kontrakannya menatap peta desa di meja. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah ia siap meninggalkan tempat ini… atau justru siap meninggalkan hidup lamanya di kota demi sesuatu yang baru?

Hujan turun deras sejak sore, disertai angin kencang yang membuat dedaunan berjatuhan di jalan desa. Sekar sedang membantu ibunya menutup warung kecil di teras rumah ketika suara teriakan terdengar dari arah sungai.

“Air naik! Jembatan hampir roboh!”

Sekar dan ibunya saling pandang. Tanpa pikir panjang, Sekar berlari ke arah sumber suara. Di tepi sungai, ia melihat Arga bersama beberapa warga berusaha mengikat tiang penyangga dengan tali baja agar tidak hanyut. Air keruh mengalir deras, membawa ranting dan potongan kayu yang menghantam kaki jembatan.

“Sekar! Tolong ambilkan lampu petromaks di rumah Pak RT!” teriak Arga di tengah gemuruh air.
Sekar berlari menembus hujan, kakinya terperosok lumpur beberapa kali. Nafasnya terengah saat kembali membawa lampu, lalu ia ikut membantu warga menyorotkan cahaya agar Arga dan yang lain bisa bekerja.

Di tengah kekacauan itu, salah satu papan pijakan jembatan terlepas. Arga hampir terjatuh, tapi Sekar spontan menarik lengannya. Mereka saling menatap sesaat, basah kuyup, napas memburu. Tak ada kata-kata, tapi tatapan itu menyimpan rasa yang sulit disembunyikan.

Setelah berjam-jam, air mulai surut. Jembatan berhasil diselamatkan untuk sementara. Warga bubar perlahan, meninggalkan Arga dan Sekar yang masih berdiri di tepi sungai.

“Kalau tadi kamu tidak ada…” Arga berhenti, menatap Sekar dengan mata yang lelah tapi hangat.
Sekar menggeleng. “Kita semua saling bantu. Itu saja.”
“Tapi aku… tidak mau lagi hanya jadi orang yang datang dan pergi,” ucap Arga pelan, nyaris tenggelam oleh suara sisa hujan.

Sekar menunduk, merasakan dadanya berdebar. Malam itu, di bawah langit kelabu dan sisa bau tanah basah, ia tahu bahwa hubungan mereka sudah melewati titik yang tak bisa kembali seperti semula.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience