bab 4

Drama Series 49

Meja makan di rumah keluarga Arga panjang dan rapi, dengan taplak putih dan peralatan makan berkilau. Sekar duduk di ujung, berhadapan langsung dengan ibu Arga. Di sampingnya, Arga berusaha mencairkan suasana dengan obrolan ringan, tapi udara di ruangan itu terasa tegang.

“Jadi, Sekar,” suara ibu Arga terdengar tenang tapi tajam, “kamu bekerja apa di desa?”
Sekar menelan ludah sebelum menjawab. “Saya membantu ibu berjualan di pasar, Bu. Dan mengurus adik.”
Ibu Arga mengangguk singkat, lalu menatap piringnya. “Pekerjaan yang… sederhana.”

Sekar tersenyum tipis, mencoba tidak tersinggung. “Iya, Bu. Tapi saya senang melakukannya.”
Arga melirik ibunya, lalu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Namun, Sekar bisa merasakan bahwa setiap kata yang ia ucapkan sedang ditimbang-timbang.

Sepanjang makan malam, Sekar lebih banyak diam, mendengarkan percakapan Arga dan keluarganya tentang bisnis, perjalanan, dan hal-hal yang terasa jauh dari kehidupannya di desa. Sesekali ia tersenyum, tapi di dalam hati, ada rasa asing yang mulai tumbuh.

Usai makan, Arga mengantarnya ke kamar tamu. “Maaf kalau ibuku terkesan dingin,” katanya pelan. “Dia hanya… butuh waktu.”
Sekar mengangguk. “Aku mengerti. Tapi Arga… dunia kamu dan dunia aku terasa sangat berbeda.”
Arga menatapnya serius. “Perbedaan itu yang membuat kita saling melengkapi.”

Malam itu, Sekar berbaring di ranjang empuk yang terasa terlalu mewah baginya. Lampu kota berkelip di luar jendela, tapi pikirannya melayang ke suara jangkrik dan aroma tanah basah di desanya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah hatinya benar-benar siap untuk tinggal di antara dua dunia yang begitu berbeda.

Pagi di kota terasa berbeda. Bukan suara ayam atau desir angin di antara padi yang membangunkan Sekar, melainkan deru kendaraan dan klakson yang tak henti-henti. Ia berdiri di balkon kamar tamu, memandangi jalanan yang sibuk.

Hari itu, Arga mengajaknya berkeliling. Mereka mampir ke kafe modern, butik, dan pusat perbelanjaan. Sekar mencoba tersenyum, tapi di dalam hati ia merasa seperti orang asing yang sedang menonton dunia dari balik kaca.

Di sebuah butik, pegawai toko menatapnya dari ujung kepala hingga kaki sebelum bertanya, “Mau cari baju untuk acara formal, Mbak?” Nada suaranya sopan, tapi tatapannya membuat Sekar merasa dinilai.
Arga cepat-cepat menimpali, “Iya, untuk makan malam keluarga nanti.”

Sekar mencoba beberapa gaun yang dipilihkan Arga. Cantik, tapi terasa aneh di tubuhnya. Ia terbiasa dengan kain batik dan kebaya sederhana, bukan gaun mahal dengan potongan yang rumit. Saat ia keluar dari ruang ganti, Arga tersenyum.
“Kamu cantik sekali.”
Sekar tersenyum tipis. “Tapi ini bukan aku, Arga.”

Malamnya, mereka menghadiri makan malam di rumah kerabat Arga. Percakapan di meja penuh istilah bisnis, rencana investasi, dan cerita perjalanan ke luar negeri. Sekar hanya sesekali menanggapi, lebih banyak mendengarkan.

Di perjalanan pulang, ia duduk diam di kursi penumpang. Lampu-lampu kota berkelebat di jendela, tapi pikirannya melayang ke jalan desa yang becek, ke suara tawa anak-anak bermain layangan, ke aroma tanah basah setelah hujan.

“Arga,” ucapnya pelan, “aku senang kamu mengajakku ke sini. Tapi aku juga sadar… dunia ini bukan milikku. Aku takut, kalau aku memaksakan diri, aku akan kehilangan diriku sendiri.”

Arga menoleh, menatapnya lama. “Aku tidak ingin mengubahmu, Sekar. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu bisa berada di mana saja—di desa atau di kota—tanpa kehilangan siapa dirimu.”

Sekar mengangguk, tapi hatinya tahu, kata-kata itu akan diuji. Karena cepat atau lambat, ia harus memilih: kembali ke desa dengan segala kesederhanaannya, atau mencoba bertahan di dunia yang terasa asing namun menawarkan masa depan bersama Arga.

Hari itu, Arga mengajak Sekar menghadiri acara makan siang bersama rekan bisnisnya di sebuah restoran mewah di pusat kota. Sekar mengenakan gaun sederhana yang dibelikan Arga, rambutnya disanggul rapi. Ia berusaha percaya diri, meski di dalam hati masih ada rasa canggung.

Awalnya, percakapan di meja berlangsung sopan. Namun, salah satu tamu — seorang pria muda yang tampak akrab dengan Arga — melontarkan komentar yang membuat Sekar terdiam.
“Jadi ini gadis desa yang bikin kamu betah di sini, Ga? Wah, hebat juga kamu bisa ‘menemukan’ dia.”
Nada suaranya setengah bercanda, tapi tatapannya merendahkan.

Sekar tersenyum tipis, mencoba menahan diri. Arga langsung menegur, “Jaga bicaramu. Sekar bukan barang temuan.” Suasana meja mendadak hening.

Sepulang dari acara itu, Sekar meminta Arga berhenti di taman kota. Hujan rintik mulai turun, membasahi jalanan. Mereka duduk di bangku taman, diam cukup lama.
“Arga,” kata Sekar akhirnya, “aku tidak marah pada ucapan orang tadi. Tapi kejadian itu membuatku sadar… dunia ini akan selalu melihatku sebagai ‘gadis desa’ yang berbeda dari kalian. Dan aku tidak mau menghabiskan hidup dengan terus membuktikan diriku di mata orang.”

Arga menatapnya, wajahnya serius. “Aku tidak peduli apa kata mereka. Yang penting, aku tahu siapa kamu.”
Sekar menggeleng pelan. “Tapi aku peduli, Arga. Bukan karena aku malu, tapi karena aku ingin hidup di tempat di mana aku tidak harus menjelaskan siapa diriku setiap hari.”

Hujan semakin deras. Sekar berdiri, menatap lampu-lampu kota yang berpendar di genangan air. Dalam hatinya, ia mulai merasakan tarikan kuat untuk pulang — bukan karena ia ingin menjauh dari Arga, tapi karena ia ingin kembali ke tanah yang membuatnya merasa utuh.

Hujan semalam masih menyisakan genangan di jalanan kota. Sekar duduk di tepi ranjang kamar tamu, memandangi tasnya yang sudah setengah terisi. Ia sudah memikirkan ini semalaman, menimbang antara rasa dan logika.

Pagi itu, Arga mengetuk pintu. “Kita sarapan di luar, yuk,” ajaknya dengan senyum yang mencoba menutupi kegelisahan.
Sekar menggeleng pelan. “Arga… kita perlu bicara.”

Mereka duduk di ruang tamu yang sepi. Sekar menatap jemarinya sendiri sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin pulang ke desa. Bukan karena aku tidak menghargai apa yang kamu tunjukkan di sini, tapi… aku merasa tempatku bukan di kota ini.”

Arga terdiam. Matanya mencari-cari alasan untuk membantah, tapi ia tahu Sekar sudah mantap.
“Aku bisa ikut kamu ke desa,” ucapnya akhirnya.
Sekar menggeleng. “Kamu punya hidup di sini, Arga. Pekerjaan, keluarga, tanggung jawab. Aku tidak mau jadi alasan kamu meninggalkan semuanya. Kalau kita memang ditakdirkan, kita akan menemukan jalan, entah di kota atau di desa.”

Suasana hening. Hanya suara jam dinding yang terdengar. Arga menunduk, lalu menghela napas panjang. “Kalau itu keputusanmu, aku akan menghormatinya. Tapi izinkan aku mengantarmu pulang.”

Sore itu, mereka berjalan di trotoar kota untuk terakhir kalinya bersama. Lampu-lampu mulai menyala, dan Sekar menyadari betapa indahnya kota ini… tapi juga betapa asingnya ia di tengah keramaian itu.

Di hatinya, ia tahu pulang bukan berarti mundur. Pulang adalah kembali ke akar, sambil membawa pelajaran dari perjalanan ini. Dan entah bagaimana, ia merasa lebih kuat daripada sebelumnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience