Completed
256
Tiga hari sebelum pemungutan suara, Sekar menerima telepon dari seorang kenalan di Desa Mekarsari, salah satu desa yang lebih dulu bergabung dalam Program Sentra Beras Unggulan Kabupaten. Suaranya terdengar lelah.
“Sekar… harga beli dari badan pengelola turun mendadak minggu ini. Katanya karena harga pasar nasional jatuh. Kami tidak bisa menolak, karena kontrak melarang jual ke pihak lain. Stok kami menumpuk, tapi uang belum cair semua.”
Kabar itu cepat menyebar di Sumberjati. Di warung kopi, orang-orang mulai membicarakan nasib Mekarsari.
“Katanya mereka sampai pinjam ke koperasi simpan pinjam buat bayar buruh panen,” ujar seorang bapak.
“Lihat kan? Kalau semua diatur pusat, kita cuma bisa pasrah,” timpal yang lain.
Namun, kelompok pro-program tidak tinggal diam. Pak Darto mencoba menenangkan, “Itu cuma masalah sementara. Kalau pasar naik lagi, mereka yang ikut program akan lebih cepat dapat pembeli.”
Di balai desa, Arga mengumpulkan pengurus koperasi. “Kita harus pastikan warga tahu fakta lengkap, bukan cuma gosip. Tapi kita juga tidak boleh menutup mata kalau memang ada risiko seperti ini.”
Malam itu, Arga dan Sekar memutuskan untuk mengundang perwakilan Mekarsari datang langsung ke Sumberjati sebelum hari pemungutan suara. Mereka ingin warga mendengar sendiri pengalaman desa yang sudah ikut program — baik sisi positif maupun negatifnya.
Di luar, angin malam bertiup membawa aroma padi yang mulai menguning. Arga menatap gelapnya sawah dan berpikir, Tiga hari lagi, semua akan berubah. Entah kita melangkah bersama kabupaten, atau kita memilih jalan sendiri.
Balai desa sore itu penuh sesak. Warga Sumberjati duduk berdesakan, sebagian berdiri di pintu dan jendela. Di depan, Arga memperkenalkan tamu yang datang dari Mekarsari: Bu Nani, ketua kelompok tani perempuan, dan Pak Jaya, pengurus koperasi mereka.
Bu Nani memulai dengan suara tenang, tapi matanya lelah.
“Waktu kami bergabung dengan program kabupaten, kami pikir ini jalan menuju kemajuan. Gudang baru dibangun, alat panen modern datang. Tapi… setelah panen pertama, harga beli turun. Kami tidak bisa menolak, karena kontrak melarang jual ke pihak lain. Uang dari badan pengelola sering terlambat cair. Sementara buruh panen harus dibayar tunai.”
Pak Jaya menambahkan, “Awalnya kami diberi ruang untuk promosi nama desa di kemasan. Tapi setelah setahun, aturan berubah. Logo kabupaten diperbesar, nama desa kami hanya jadi tulisan kecil di belakang. Sekarang, pembeli di kota bahkan tidak tahu beras itu dari Mekarsari.”
Suasana balai desa hening. Beberapa warga Sumberjati saling pandang, sebagian mengangguk pelan.
Pak Darto, yang pro-program, mencoba bertanya, “Tapi bukankah fasilitasnya membantu? Bukankah pasar kalian lebih luas?”
Bu Nani menatapnya. “Pasar luas, tapi kami tidak lagi punya kendali. Kami seperti buruh di sawah sendiri.”
Kata-kata itu membuat udara di ruangan terasa berat. Mak Siti menunduk, lalu berkata lirih, “Itu yang saya takutkan terjadi di sini.”
Arga menutup pertemuan dengan ucapan terima kasih pada tamu dari Mekarsari. “Kita sudah dengar langsung pengalaman mereka. Keputusan tetap di tangan kita, tapi jangan bilang kita tidak pernah diberi peringatan.”
Malam itu, obrolan di warung kopi dan teras rumah hanya membahas satu hal: apakah Sumberjati akan mengulang langkah Mekarsari, atau memilih jalan yang lebih sulit tapi tetap memegang kendali atas nasib sendiri.
Pagi itu, udara di Sumberjati terasa berbeda. Jalan menuju balai desa dipenuhi warga yang berjalan berkelompok, sebagian sambil berdebat pelan. Di depan pintu, panitia pemungutan suara sudah siap dengan kotak suara kayu, daftar hadir, dan bilik sederhana yang ditutup kain.
Aturannya jelas: setiap kepala keluarga berhak satu suara, memilih “Setuju” atau “Tidak Setuju” untuk bergabung dalam Program Sentra Beras Unggulan Kabupaten.
Suasana di dalam balai desa tegang. Mak Siti duduk di pojok, menatap tajam setiap orang yang masuk. Pak Darto berdiri di dekat pintu, menyapa warga dengan senyum penuh keyakinan. Arga, sebagai ketua koperasi, memilih duduk di kursi tengah, mencoba menjaga netralitas meski hatinya berdebar.
Proses berjalan tertib. Satu per satu warga masuk ke bilik, mencoblos kertas, lalu melipatnya dan memasukkannya ke kotak suara. Tidak ada teriakan, tapi ketegangan terasa di udara.
Menjelang sore, kotak suara dibuka di hadapan semua orang. Panitia mulai menghitung.
“Setuju… Tidak Setuju… Tidak Setuju… Setuju…”
Suara bergantian, membuat penonton menahan napas.
Ketika hitungan mendekati akhir, jelas bahwa selisihnya tipis sekali. Panitia mengumumkan hasil akhir:
- Setuju: 127 suara
- Tidak Setuju: 129 suara
Hanya selisih dua suara yang memutuskan masa depan Sumberjati.
Balai desa hening sejenak, lalu terdengar sorakan dari kelompok yang menolak program. Kelompok yang setuju tampak kecewa, beberapa langsung keluar tanpa bicara.
Arga berdiri. “Keputusan sudah diambil secara demokratis. Kita tidak bergabung dengan program kabupaten. Tapi ingat, ini berarti kita harus bekerja dua kali lebih keras untuk bertahan dan berkembang dengan kekuatan kita sendiri.”
Malam itu, Arga berjalan pulang melewati sawah yang diterangi cahaya bulan. Ia tahu, keputusan ini akan membuat jalan ke depan lebih berat — tapi juga lebih bebas. Dan di lubuk hatinya, ia merasa lega karena desa memilih mempertahankan kendali atas nasibnya sendiri.
Keputusan pemungutan suara yang menolak bergabung dengan Program Sentra Beras Unggulan Kabupaten sempat membuat suasana desa terasa lega. Namun, rasa lega itu tak bertahan lama.
Minggu berikutnya, koperasi mulai merasakan perubahan:
- Pengiriman pupuk subsidi yang biasanya datang awal bulan, kali ini tertunda tanpa penjelasan jelas.
- Petugas penyuluh pertanian yang rutin berkunjung, tiba-tiba jarang muncul.
- Beberapa pembeli besar dari kota yang sebelumnya rutin memesan, mendadak membatalkan kontrak, dengan alasan “mendapat pasokan lebih murah dari desa lain”.
Sekar mencatat semua kejadian itu di buku log koperasi. “Ini bukan kebetulan,” katanya pada Arga di ruang rapat kecil. “Mereka tidak menekan kita secara langsung, tapi membuat kita kesulitan sedikit demi sedikit.”
Di warung kopi, gosip mulai beredar. Ada yang bilang pemerintah kabupaten sengaja mengarahkan bantuan dan pembeli ke desa-desa yang ikut program. Ada pula yang percaya ini hanya masalah administrasi biasa.
Arga mengumpulkan pengurus koperasi. “Kalau ini memang tekanan, kita harus punya strategi bertahan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan pasar lama. Kita harus cari jalur distribusi baru, mungkin langsung ke konsumen akhir.”
Bu Ratna mengusulkan ide berani: membuka toko beras online milik koperasi, menjual langsung ke pembeli di kota tanpa perantara. Ide itu disambut antusias oleh sebagian, tapi juga diragukan oleh yang lain. “Kita belum pernah main di pasar online, apa kita siap?” tanya salah satu anggota.
Arga menatap mereka satu per satu. “Kalau kita tidak mencoba, kita akan pelan-pelan terhimpit. Lebih baik kita melangkah sekarang, meski jalannya belum jelas.”
Malam itu, di teras rumahnya, Arga memandangi layar ponsel, mencari informasi tentang cara memasarkan beras secara daring. Ia tahu, langkah ini mungkin akan membuat Sumberjati semakin mandiri — atau justru menjadi sasaran tekanan yang lebih besar.
Share this novel