bab 48

Drama Completed 256

Setelah penggerebekan perusahaan konsultan teknologi, tekanan publik semakin besar. Media nasional menyorot kasus ini hampir setiap hari, dan nama PT Graha Pangan Nusantara kini identik dengan kata “kartel”.

Di tingkat provinsi, dukungan politik terhadap mereka mulai runtuh. Beberapa anggota DPRD yang dulu vokal membela perusahaan kini memilih diam, bahkan ada yang terang-terangan menyatakan diri “tertipu”.

Malam itu, Arga menerima pesan singkat dari nomor tak dikenal:
“Saya punya dokumen penting. Mereka tidak bisa dipercaya lagi. Kita bisa bertemu diam-diam.”

Pesan itu ditandatangani dengan inisial R.S., yang setelah ditelusuri ternyata adalah seorang mantan staf keuangan di perusahaan logistik mitra PT Graha Pangan Nusantara.

Pertemuan diatur di sebuah rumah makan kecil di pinggiran kota. R.S. datang dengan wajah tegang, membawa map lusuh berisi fotokopi dokumen transfer dana. Ia berbisik, “Ini bukti aliran uang ke beberapa pejabat daerah lain. Mereka pakai rekening atas nama keluarga untuk menyamarkan. Saya sudah tidak tahan lagi melihat semua ini.”

Maya memeriksa cepat dokumen itu. Nominalnya besar, dengan pola transfer rutin ke rekening pribadi yang jelas-jelas tidak sesuai dengan laporan resmi.

R.S. menambahkan, “Saya tahu risiko saya. Tapi setelah KPK masuk, mereka mulai saling menyalahkan. Saya takut dijadikan kambing hitam. Lebih baik saya buka sekarang.”

Arga menatapnya serius. “Kalau ini benar, bukan hanya perusahaan yang runtuh, tapi juga jaringan politik yang menopang mereka.”

Dokumen itu segera diserahkan ke KPK melalui jalur resmi. Namun, Arga sadar, langkah ini akan membuat lawan semakin terpojok — dan orang yang terpojok bisa melakukan hal-hal paling berbahaya.

Di balai desa malam itu, Arga berbicara kepada warga:
> “Kita sudah melihat retakan di dalam benteng mereka. Tapi jangan lengah. Justru saat benteng runtuh, serpihannya bisa melukai siapa saja yang berdiri terlalu dekat.”

Warga mengangguk, memahami bahwa kemenangan semakin dekat, tapi juga semakin berisiko.

Beberapa hari setelah dokumen dari R.S. diserahkan ke KPK, suasana di jaringan koperasi sempat menghangat. Dukungan publik terus mengalir, dan jalur distribusi gabungan mulai stabil. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.

Suatu pagi, Pak Hasan dari Koperasi Tunas Padi datang ke Sumberjati dengan wajah muram. Ia membawa selembar fotokopi dokumen yang beredar di grup WhatsApp pedagang: laporan keuangan palsu yang seolah-olah menunjukkan bahwa Sumberjati menerima “dana gelap” dari perusahaan ekspor beras asing.

“Ini sudah menyebar di pasar kota,” kata Pak Hasan. “Beberapa pedagang mulai bertanya-tanya apakah kalian benar-benar bersih.”

Sekar langsung memeriksa dokumen itu. Logo koperasi Sumberjati dipalsukan, tanda tangan Arga ditempel kasar, dan angka-angka di dalamnya tidak masuk akal. Namun, bagi orang awam, dokumen itu terlihat meyakinkan.

Maya menatap serius. “Ini jelas operasi disinformation. Mereka ingin memecah kita dari dalam, membuat sekutu ragu.”

Arga menghela napas. “Kalau kita hanya membantah, mereka akan bilang kita panik. Kita harus buktikan dengan transparansi penuh.”

Langkah cepat diambil:
- Audit terbuka: Sumberjati mengundang semua koperasi sekutu untuk melihat langsung buku kas, laporan bank, dan catatan transaksi.
- Konferensi bersama: Arga dan Pak Hasan tampil berdampingan di depan media, menegaskan bahwa dokumen itu palsu dan menunjukkan bukti audit resmi.
- Pelacakan sumber: Dimas menelusuri metadata file digital yang beredar. Hasilnya mengejutkan: file itu pertama kali diunggah dari sebuah kantor cabang perusahaan logistik yang sudah lama dicurigai sebagai “markas operasi hitam”.

Klarifikasi ini berhasil meredam keraguan. Bahkan, beberapa koperasi sekutu justru semakin yakin bahwa lawan sedang panik. “Kalau mereka sampai membuat dokumen palsu, artinya mereka sudah kehabisan cara,” ujar Pak Hasan di depan wartawan.

Namun, Arga tetap waspada. “Racun yang disebar tidak selalu hilang meski sudah kita bersihkan. Kita harus terus menjaga kepercayaan, karena sekali retak, sulit diperbaiki.”

Malam itu, di balai desa, warga kembali berkumpul. Mereka sadar, pertarungan ini bukan hanya soal hukum dan ekonomi, tapi juga soal menjaga persatuan. Dan persatuan itu kini menjadi senjata paling ampuh melawan lawan yang semakin terpojok.

Pagi itu, berita utama di televisi nasional menyiarkan daftar nama pejabat provinsi yang dipanggil KPK untuk diperiksa. Di antara nama-nama itu, ada dua kepala dinas dan seorang wakil ketua DPRD provinsi. Publik terkejut, karena selama ini mereka dikenal sebagai tokoh yang sering bicara soal “ketahanan pangan” di media.

Di Sumberjati, warga menonton dengan campuran lega dan cemas. Lega karena kebenaran semakin terbuka, cemas karena mereka tahu, semakin tinggi posisi yang terseret, semakin besar pula tekanan balik yang akan datang.

Kekhawatiran itu terbukti sore harinya. Arga menerima undangan mendadak dari seorang pejabat provinsi yang dulu netral. Pertemuan berlangsung di sebuah hotel di kota. Nada pejabat itu halus, tapi jelas:
> “Pak Arga, kasus ini sudah terlalu jauh. Banyak pihak merasa terguncang. Kalau Bapak dan koperasi mau sedikit menahan diri, mungkin ada jalan tengah. Tidak semua harus dibuka ke publik.”

Arga menatapnya tajam. “Jalan tengah yang Anda maksud adalah menutup mata terhadap kebenaran. Itu bukan pilihan bagi kami.”

Pejabat itu hanya tersenyum tipis. “Kalau begitu, jangan salahkan kalau ada konsekuensi politik. Dukungan bisa berubah arah kapan saja.”

Maya, yang mendampingi Arga, segera mencatat percakapan itu. “Ini bukti bahwa mereka mencoba intervensi. Kita laporkan ke KPK.”

Malamnya, di balai desa, Arga menyampaikan kepada warga:
> “Mereka sudah tidak hanya menyerang dengan fitnah atau sabotase. Sekarang mereka mencoba menekan lewat jalur politik. Tapi kita tidak boleh goyah. Justru ini tanda bahwa perjuangan kita sudah menyentuh inti masalah.”

Warga mengangguk, sebagian dengan wajah tegang, sebagian dengan semangat baru. Mereka tahu, badai berikutnya mungkin lebih besar. Tapi mereka juga tahu, semakin keras lawan menekan, semakin jelas siapa yang sebenarnya takut pada kebenaran.

Setelah tekanan politik semakin terasa, KPK bergerak cepat. Beberapa saksi kunci dari Sumberjati — termasuk pengurus koperasi, sopir truk yang pernah dipaksa berhenti, dan R.S. sang mantan staf keuangan — resmi ditempatkan dalam program perlindungan saksi. Mereka dipindahkan ke lokasi aman dengan identitas yang dijaga ketat.

Di balai desa, suasana campur aduk. Warga lega karena saksi-saksi penting kini lebih aman, tapi juga merasa kehilangan karena beberapa tokoh yang biasa mereka lihat sehari-hari harus “menghilang” sementara. Arga menenangkan mereka:
> “Ini pengorbanan sementara. Tanpa saksi, kebenaran bisa diputarbalikkan. Dengan perlindungan ini, suara mereka akan tetap terdengar di pengadilan.”

Namun, di luar desa, lawan melancarkan serangan balik dengan cara berbeda. Sebuah kampanye politik besar-besaran digelar di kota-kota sekitar. Spanduk dan baliho bermunculan dengan slogan: “Selamatkan Ekonomi Daerah, Tolak Fitnah Koperasi Radikal”.

Di televisi lokal, beberapa politisi tampil memberi pernyataan bahwa “gerakan koperasi tertentu” telah dimanfaatkan oleh pihak asing untuk melemahkan industri pangan nasional. Narasi ini jelas diarahkan untuk menjelekkan Sumberjati, meski tanpa menyebut nama langsung.

Sekar menatap layar televisi dengan geram. “Mereka mencoba membalikkan cerita. Dari penindas jadi korban, dari pelaku jadi pahlawan.”

Maya menambahkan, “Ini strategi klasik: propaganda. Mereka tahu kasus hukum sulit dibendung, jadi mereka main di opini publik.”

Arga berpikir sejenak. “Kalau begitu, kita juga harus melawan di ranah yang sama. Tapi bukan dengan propaganda, melainkan dengan fakta dan wajah manusia.”

Keputusan diambil:
- Kampanye kesaksian warga: video pendek dari petani, pedagang, dan keluarga yang merasakan langsung dampak jalur distribusi koperasi.
- Forum terbuka di balai desa yang dihadiri media, di mana warga bisa bicara langsung tentang pengalaman mereka.
- Kolaborasi dengan jurnalis independen untuk menulis laporan investigasi yang menyoroti kehidupan sehari-hari di Sumberjati, bukan hanya angka-angka.

Malam itu, warga berkumpul untuk merekam testimoni. Seorang ibu pedagang beras berkata dengan suara bergetar, “Kalau bukan karena koperasi, anak saya mungkin sudah putus sekolah. Harga beras stabil, kami bisa hidup lebih tenang.”

Kata-kata sederhana itu, direkam dengan kamera seadanya, justru lebih kuat daripada spanduk dan baliho mahal.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience