Completed
256
Video sederhana yang direkam warga Sumberjati—testimoni ibu pedagang, petani muda, hingga anak sekolah—mulai menyebar luas di media sosial. Awalnya hanya dibagikan di grup WhatsApp antar-desa, lalu diunggah ke Fac dan TikTok oleh jurnalis independen. Dalam hitungan hari, video itu ditonton ratusan ribu kali.
Komentar publik membanjir:
- “Ini suara asli rakyat, bukan iklan politik.”
- “Kalau koperasi bisa bikin harga stabil, kenapa pemerintah diam saja?”
- “Saya bukan orang Sumberjati, tapi saya dukung perjuangan mereka.”
Narasi propaganda lawan yang menyebut koperasi “radikal” mendadak kehilangan daya. Spanduk dan baliho mereka masih berdiri di kota, tapi publik lebih percaya wajah-wajah tulus dari desa yang berbicara apa adanya.
Di sisi lain, KPK semakin agresif. Dua kepala dinas yang dipanggil resmi ditetapkan sebagai tersangka setelah bukti transfer dana dari perusahaan logistik cocok dengan dokumen yang diserahkan R.S. Tekanan politik makin berat: partai mereka mulai menjauh, khawatir ikut terseret.
Namun, kemenangan ini juga membawa risiko baru. Laras mendapat kabar dari jaringan jurnalis bahwa ada rencana “serangan balik” dengan cara menggugat balik koperasi secara perdata, menuduh mereka melakukan “pencemaran nama baik” terhadap pejabat.
Maya menanggapi dengan tenang. “Itu hanya manuver untuk mengulur waktu. Selama kita punya bukti, gugatan itu tidak akan bertahan lama. Tapi kita harus siap menghadapi proses hukum ganda.”
Malam itu, di balai desa, warga menonton tayangan berita yang menampilkan potongan video testimoni mereka sendiri. Ada rasa bangga sekaligus haru. Arga berdiri di depan mereka dan berkata:
> “Kita sudah membuktikan bahwa suara rakyat bisa lebih kuat daripada uang dan propaganda. Tapi jangan lupa, perjuangan ini belum selesai. Kita harus tetap bersatu sampai keadilan benar-benar ditegakkan.”
Sorak-sorai memenuhi balai desa. Untuk pertama kalinya, Sumberjati bukan hanya simbol perlawanan lokal, tapi sudah menjadi inspirasi nasional.
Awal minggu, kabar mengejutkan datang: PT Graha Pangan Nusantara bersama beberapa pejabat yang namanya sudah terseret kasus resmi mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Tuduhannya: pencemaran nama baik dan kerugian reputasi akibat pernyataan publik koperasi Sumberjati.
Media segera menyorot. Judul-judul berita berbunyi: “Kartel Beras Balik Gugat Koperasi”. Narasi ini jelas dirancang untuk membingungkan publik: seolah-olah Sumberjati bukan korban, melainkan pelaku.
Maya membaca berkas gugatan dengan wajah serius. “Mereka tahu kasus pidana di KPK sulit mereka hentikan. Jadi mereka buka front baru di pengadilan umum, berharap bisa melemahkan kita lewat tekanan hukum dan biaya.”
Arga mengangguk. “Ini bukan soal menang atau kalah di perdata. Ini soal menguras energi kita. Mereka ingin kita sibuk membela diri, bukan melanjutkan perjuangan.”
Langkah cepat diambil:
- Tim hukum ganda: Maya memimpin koordinasi dengan pengacara publik yang bersedia mendampingi koperasi secara pro bono.
- Dokumentasi terbuka: semua pernyataan publik Sumberjati dikumpulkan, lengkap dengan bukti bahwa setiap klaim didasarkan pada data dan dokumen resmi.
- Kampanye transparansi: warga kembali dilibatkan, kali ini dengan menggelar forum terbuka di balai desa, memperlihatkan bukti-bukti yang sudah diserahkan ke KPK.
Di sisi lain, KPK justru mempercepat proses pidana. Dua pejabat provinsi resmi ditahan, dan pengadilan tipikor dijadwalkan dalam waktu dekat. Publik mulai melihat pola: gugatan perdata hanyalah manuver politik untuk mengalihkan perhatian dari kasus utama.
Namun, tekanan psikologis tetap terasa. Beberapa warga mulai khawatir: “Kalau mereka menang di perdata, apakah koperasi bisa bangkrut membayar ganti rugi?”
Arga menjawab dengan tegas di depan rapat desa:
> “Kita tidak akan mundur. Kalau mereka pikir uang bisa membungkam kita, mereka salah. Kita punya sesuatu yang lebih kuat: kebenaran dan solidaritas.”
Sorak-sorai memenuhi balai desa. Meski dua medan perang kini terbuka, semangat warga justru semakin menyala.
Hari sidang perdata pertama tiba. Ruang Pengadilan Negeri penuh sesak: pengacara perusahaan, tim hukum koperasi, wartawan, bahkan beberapa warga desa yang datang khusus untuk memberi dukungan moral.
Pihak lawan membuka dengan percaya diri. Mereka menghadirkan seorang saksi yang mengaku sebagai “mantan anggota koperasi Sumberjati” dan bersaksi bahwa koperasi pernah menerima dana dari pihak asing. Saksi itu berbicara lancar, seolah-olah tahu detail internal koperasi.
Beberapa wartawan mulai berbisik, dan hakim tampak mencatat serius. Sekar yang duduk di bangku pengunjung menggenggam tangan erat, wajahnya tegang.
Namun, giliran tim hukum Sumberjati tiba. Maya berdiri, lalu mengajukan pertanyaan sederhana:
> “Saudara saksi, bisa sebutkan nomor anggota koperasi Anda dan tahun berapa Anda resmi terdaftar?”
Saksi itu terdiam. Ia mencoba mengalihkan jawaban, tapi Maya sudah menyiapkan bukti: daftar resmi anggota koperasi yang ditandatangani dinas koperasi kabupaten. Nama saksi itu tidak pernah tercatat.
Tak berhenti di situ, Maya juga memutar rekaman video dari forum terbuka di balai desa, di mana warga secara transparan menunjukkan laporan keuangan koperasi. Rekaman itu memperlihatkan audit resmi yang sudah diverifikasi pemerintah daerah.
Hakim menatap saksi dengan tajam. “Saudara, apakah Anda sadar bahwa memberikan keterangan palsu di bawah sumpah bisa berakibat pidana?” Saksi itu mulai gelisah, wajahnya pucat.
Ruang sidang mendadak riuh. Wartawan mencatat cepat, kamera menyorot ekspresi gugup saksi. Pihak lawan terlihat saling berbisik, jelas tidak menyangka koperasi menyiapkan bukti sekuat itu.
Di luar gedung, warga yang menunggu bersorak ketika mendengar kabar bahwa saksi palsu terbongkar. “Kita tidak hanya bertahan, kita menyerang balik!” teriak seorang petani muda.
Arga menatap langit sore yang mendung. Ia tahu, ini baru awal dari rangkaian sidang panjang. Tapi hari ini, mereka berhasil menunjukkan bahwa kebenaran bisa berdiri tegak bahkan di panggung yang coba dipelintir.
Di tengah gempuran kasus pidana dan sidang perdata yang mulai goyah, suasana di kantor pusat PT Graha Pangan Nusantara semakin kacau. Eksekutif saling menyalahkan, rapat darurat berlangsung hampir setiap malam, dan beberapa staf senior sudah mulai mengundurkan diri diam-diam.
Suatu sore, Maya menerima panggilan dari seorang pengacara yang mengaku mewakili Budi Santoso, Direktur Operasional perusahaan. Pesannya singkat:
> “Klien saya bersedia bekerja sama dengan KPK sebagai justice collaborator. Ia punya dokumen internal dan rekaman rapat yang bisa membuktikan keterlibatan direksi lain, termasuk aliran dana ke pejabat tinggi.”
Arga terdiam mendengar kabar itu. “Kalau benar, ini bisa jadi pukulan terakhir. Tapi kita harus hati-hati. Bisa saja ini jebakan.”
Maya meneliti lebih jauh. Ternyata, Budi memang sudah lama dikenal sebagai orang yang sering berselisih dengan direktur utama. Motivasinya jelas: menyelamatkan diri, sekaligus menjatuhkan rival internalnya.
Beberapa hari kemudian, KPK mengumumkan resmi bahwa seorang eksekutif perusahaan telah mengajukan diri sebagai justice collaborator. Identitasnya belum dibuka ke publik, tapi bocoran media menyebut nama Budi.
Di Sumberjati, kabar itu disambut dengan sorak-sorai. Sekar berkata, “Kalau orang dalam sudah berbalik arah, berarti benteng mereka benar-benar runtuh.”
Namun Dimas mengingatkan, “Jangan terlalu cepat lega. Orang seperti Budi bisa saja hanya memberi sebagian kebenaran, menyembunyikan bagian lain untuk melindungi dirinya. Kita harus pastikan KPK menggali semuanya.”
Malam itu, Arga menatap warga yang berkumpul di balai desa.
> “Kita sudah melihat musuh mulai saling menjatuhkan. Tapi ingat, perjuangan kita bukan hanya soal menghukum mereka. Tujuan kita adalah memastikan sistem distribusi pangan lebih adil, agar tidak ada lagi desa yang diperas seperti kita.”
Warga mengangguk, menyadari bahwa kemenangan sejati bukan hanya runtuhnya lawan, tapi lahirnya tatanan baru yang lebih bersih.
Share this novel