Hujan deras turun tanpa henti selama tiga hari berturut-turut. Sungai kecil di pinggir desa meluap, membanjiri beberapa rumah di bagian utara Sumberjati. Air setinggi lutut membuat warga harus mengungsi sementara ke balai desa.
Di antara para pengungsi, ada keluarga yang kehilangan seluruh persediaan beras karena dapurnya terendam. Anak-anak mulai menangis kelaparan, dan para ibu hanya bisa memasak seadanya dari bantuan mie instan yang datang dari desa tetangga.
Melihat kondisi itu, beberapa warga mendesak agar lumbung pangan dibuka dan beras dibagikan tanpa menunggu prosedur.
“Ini darurat, Ga! Masa kita harus isi formulir segala?” teriak seorang pemuda.
Arga mengerti kegentingan situasi, tapi ia juga tahu stok lumbung sudah menipis. Jika dibagikan tanpa batas, mereka bisa kehabisan sebelum panen.
Sekar menariknya ke sudut ruangan. “Kalau kita terlalu kaku, orang akan menganggap aturan lebih penting dari nyawa. Tapi kalau kita longgarkan, aturan yang baru kita buat akan runtuh.”
Akhirnya, Arga mengambil keputusan: lumbung dibuka untuk bantuan darurat, tapi pembagian dilakukan terukur — setiap keluarga terdampak banjir mendapat jatah yang cukup untuk tiga hari, sambil menunggu bantuan dari luar desa.
Keputusan itu meredakan ketegangan, meski ada beberapa yang masih mengeluh jatahnya terlalu sedikit. Namun, malam itu, saat Arga melihat anak-anak pengungsi makan nasi hangat di balai desa, ia merasa keputusan itu tepat.
Pak Darto menepuk bahunya. “Kadang, Ga, aturan memang perlu… tapi hati nurani harus tetap jadi kompas.”
Arga hanya mengangguk. Ia tahu, badai hujan akan reda, tapi badai yang menguji keseimbangan antara aturan dan kemanusiaan akan selalu datang, dalam bentuk yang berbeda.
Air banjir akhirnya surut, meninggalkan lumpur tebal di jalan-jalan desa dan bau lembap yang menyelimuti udara. Warga mulai kembali ke rumah masing-masing, membersihkan sisa-sisa kerusakan. Di balai desa, Arga dan pengurus koperasi memeriksa catatan lumbung: 25 karung beras telah keluar selama masa darurat.
Saat rapat evaluasi, Pak Rudi langsung mengangkat tangan.
“Menurut saya, yang menerima bantuan harus mengganti stok itu. Kalau tidak, lumbung akan cepat kosong.”
Seorang ibu yang rumahnya terendam menjawab dengan nada tersinggung, “Pak, kami menerima karena memang butuh. Kalau harus ganti sekarang, dari mana uangnya? Sawah kami saja belum bisa ditanami lagi.”
Suasana rapat memanas. Sebagian warga setuju dengan Pak Rudi, beralasan bahwa keadilan berarti setiap pengambilan harus ada penggantian. Sebagian lagi menilai bantuan darurat tidak boleh dibebani kewajiban mengganti, karena itu akan membuat orang enggan meminta bantuan meski benar-benar butuh.
Sekar mencoba menengahi. “Kalau kita memaksa yang terdampak banjir mengganti sekarang, itu sama saja menambah beban mereka. Tapi kalau tidak ada rencana penggantian sama sekali, stok kita akan habis sebelum panen.”
Arga lalu mengusulkan solusi kompromi:
- Penggantian dilakukan secara bertahap, setelah panen berikutnya.
- Semua warga menyumbang sedikit lebih banyak dari biasanya untuk mengisi kembali lumbung, sebagai bentuk solidaritas.
- Bagi keluarga yang terdampak banjir, kewajiban mengganti akan dimulai setelah kondisi mereka pulih.
Keputusan ini akhirnya disepakati, meski beberapa wajah masih terlihat tidak puas. Arga tahu, ini bukan solusi sempurna, tapi setidaknya bisa meredakan ketegangan sementara.
Malam itu, ia berjalan melewati lumbung yang kini setengah kosong. Di balik pintu kayu itu, ia melihat bukan hanya beras, tapi juga simbol kepercayaan yang rapuh — yang harus terus dijaga agar tidak runtuh oleh perbedaan pandangan.
Untuk mengisi kembali stok lumbung, warga sepakat mengadakan Pasar Malam Gotong Royong di lapangan desa. Acara ini akan menjual hasil bumi, makanan khas, kerajinan tangan, dan menampilkan hiburan rakyat. Semua keuntungan akan digunakan untuk membeli beras tambahan bagi lumbung.
Persiapan berjalan meriah. Anak-anak berlatih tarian tradisional, para ibu membuat kue-kue, dan para pemuda membangun panggung dari bambu. Sekar mengatur promosi lewat media sosial, berharap menarik pengunjung dari desa tetangga dan kota kecil terdekat.
Namun, dua hari sebelum acara, Arga menerima kabar dari seorang kenalan di kota: sebuah perusahaan besar — yang dulu pernah mencoba mengambil alih pasar beras Sumberjati — berencana mengirim “tim promosi” ke acara tersebut.
“Mereka bilang mau ikut meramaikan, tapi aku curiga mereka punya agenda lain,” kata kenalan itu lewat telepon.
Arga langsung mengadakan rapat kecil dengan pengurus.
“Kalau mereka datang, bisa jadi mereka mencoba mencitrakan diri sebagai pendukung desa, lalu perlahan masuk lagi ke pasar kita,” ujar Arga.
Pak Darto mengangguk. “Tapi kalau kita melarang, orang bisa menganggap kita menutup diri dari bantuan.”
Sekar mengusulkan strategi: izinkan mereka datang, tapi batasi ruang gerak — hanya boleh membuka stan di area tertentu, tanpa hak menjual produk beras atau menampilkan logo besar-besaran. Semua transaksi harus lewat panitia.
Hari acara tiba, lapangan desa penuh warna dan suara. Lampu-lampu gantung berkelip, aroma sate dan jagung bakar memenuhi udara. Tim promosi perusahaan itu memang hadir, dengan senyum ramah dan seragam rapi. Mereka membagikan brosur, tapi tatapan Arga tak lepas dari mereka, memastikan tidak ada langkah yang melampaui kesepakatan.
Di tengah keramaian, seorang pria dari tim itu mendekati Arga. “Pak Arga, kita sebenarnya punya tawaran baru. Mungkin setelah acara ini, kita bisa bicara lebih serius.”
Arga hanya tersenyum tipis. “Kita lihat saja nanti. Malam ini, panggung ini milik warga Sumberjati.”
Acara berakhir sukses, menghasilkan cukup dana untuk membeli 40 karung beras tambahan. Tapi Arga tahu, kehadiran perusahaan itu bukan kebetulan. Mereka sedang mengamati, menunggu celah untuk masuk kembali.
Tiga hari setelah Pasar Malam Gotong Royong, sebuah amplop tebal tiba di balai desa. Di sudutnya tertera logo perusahaan besar yang dulu pernah mencoba menguasai pasar beras Sumberjati. Arga membuka amplop itu di hadapan pengurus koperasi.
Isinya adalah surat penawaran kerja sama yang disusun rapi, lengkap dengan brosur berwarna. Mereka menawarkan:
- Pembelian beras Sumberjati dalam jumlah besar dengan harga di atas pasar.
- Bantuan modal untuk memperluas gudang dan membeli mesin penggiling modern.
- Program pelatihan untuk petani, dengan biaya ditanggung perusahaan.
Namun, di bagian syarat, tertulis bahwa perusahaan akan memiliki hak eksklusif untuk menjual beras Sumberjati di luar daerah, dan semua kemasan harus menggunakan merek mereka.
Sekar membaca pelan-pelan, lalu menatap Arga. “Kalau kita terima, nama Sumberjati akan hilang dari kemasan. Orang hanya akan tahu merek mereka, bukan desa kita.”
Pak Darto menghela napas. “Tapi tawaran ini bisa mengisi lumbung kita sampai penuh, bahkan lebih. Dan warga yang lelah berjuang mungkin akan tergoda.”
Kekhawatiran itu terbukti benar. Saat kabar penawaran menyebar, sebagian warga mulai membicarakan keuntungan yang bisa didapat.
“Kalau uangnya cukup untuk memperbaiki sawah dan rumah, kenapa tidak?” kata seorang bapak di warung.
“Tapi kalau kita jual nama, nanti kita cuma jadi buruh di tanah sendiri,” balas yang lain.
Arga tahu, ini bukan sekadar tawaran bisnis. Ini ujian bagi persatuan desa. Ia memutuskan untuk mengadakan musyawarah terbuka, di mana semua warga boleh bicara dan memilih.
Malam itu, di balai desa yang penuh sesak, Arga berdiri di depan mikrofon. “Kita akan putuskan bersama. Tapi ingat, keputusan ini akan menentukan bukan hanya berapa banyak beras yang kita jual… tapi siapa kita di mata dunia luar.”
Suasana hening. Semua menunggu, sadar bahwa malam ini bisa menjadi titik balik — entah menuju kemakmuran cepat, atau mempertahankan jalan panjang yang penuh tantangan.
Share this novel