Keesokan paginya, sawah yang semalam nyaris tenggelam mulai surut. Warga saling tersenyum lega, meski tubuh mereka pegal dan pakaian masih bau lumpur. Arga ikut duduk di bale-bale dekat warung, menerima ucapan terima kasih dari banyak orang.
Namun, di tengah rasa syukur itu, ponsel Arga berdering. Nomor dari kantornya di kota. Ia menjauh sebentar, lalu kembali dengan wajah yang sulit dibaca.
“Mereka… kecewa,” katanya pelan pada Sekar. “Rapat kemarin menentukan pembagian kontrak. Karena aku tidak hadir, posisiku di proyek digantikan orang lain.”
Sekar terdiam. Ia tahu ini bukan kabar ringan. “Kamu menyesal?” tanyanya hati-hati.
Arga menggeleng, meski matanya menyiratkan sedikit luka. “Tidak. Tapi aku harus jujur, rasanya seperti kehilangan sesuatu yang sudah lama aku bangun.”
Hari-hari berikutnya, Arga lebih banyak di desa. Ia membantu memperbaiki tanggul, ikut menanam ulang padi yang rusak, dan bahkan mulai belajar mengelola irigasi. Warga semakin menghormatinya, tapi Sekar bisa merasakan ada bagian dari Arga yang masih memikirkan dunia lamanya.
Suatu malam, mereka duduk di beranda rumah Sekar. Angin membawa aroma tanah basah, dan suara jangkrik mengisi keheningan.
“Ga,” kata Sekar pelan, “hidup di sini memang penuh kehilangan kecil. Kadang kita harus merelakan sesuatu untuk menjaga yang lain.”
Arga menatapnya lama. “Aku tahu. Dan aku memilih untuk tetap di sini. Tapi aku juga harus mencari cara agar aku tidak merasa… terputus dari diriku yang dulu.”
Sekar mengangguk. Ia sadar, perjalanan mereka belum selesai. Arga mungkin sudah memilih desa, tapi ia masih mencari cara untuk benar-benar menjadi bagian dari dunia ini — tanpa merasa kehilangan dirinya sendiri.
Beberapa minggu setelah kejadian bendungan jebol, Arga mulai gelisah. Ia merasa sudah menjadi bagian dari desa, tapi juga ingin berkontribusi lebih dari sekadar tenaga di sawah.
Suatu sore, ia mengajak Sekar duduk di beranda.
“Aku punya ide,” katanya. “Bagaimana kalau kita bikin usaha pengolahan beras kemasan? Kita bisa jual langsung ke pasar kota, dengan merek dari desa ini. Petani dapat harga lebih baik, dan desa punya nama.”
Sekar menatapnya, setengah kagum, setengah khawatir. “Itu ide bagus, Ga. Tapi butuh modal, butuh izin, dan… butuh kepercayaan warga. Mereka belum tentu langsung setuju.”
Arga mengangguk. Ia tahu tantangan itu nyata. Beberapa hari kemudian, ia mengundang para petani ke balai desa untuk mempresentasikan rencananya. Ia menjelaskan soal kemasan, pemasaran, dan potensi keuntungan.
Namun, tak semua menyambut positif.
“Kalau gagal, siapa yang tanggung rugi?” tanya Pak Darto.
“Jangan-jangan nanti orang kota yang untung, kita cuma kerja,” celetuk yang lain.
Arga mencoba meyakinkan mereka bahwa ia tidak akan mengambil keuntungan sepihak. Tapi ia bisa merasakan tembok ketidakpercayaan yang masih berdiri.
Sekar mendekatinya setelah rapat bubar. “Ga, di sini orang butuh waktu untuk percaya. Mereka sudah sering dengar janji manis, tapi jarang lihat hasilnya.”
Arga menghela napas. “Aku mengerti. Tapi kalau kita tidak mencoba, desa ini akan terus menjual gabah mentah dengan harga murah.”
Malam itu, Arga duduk sendirian di beranda rumah sewaannya. Lampu-lampu rumah warga berkelip di kejauhan, dan suara jangkrik mengisi udara. Ia sadar, menyatukan dua dunia bukan hanya soal ide dan niat baik — tapi juga soal kesabaran, dan kesediaan untuk membuktikan diri sedikit demi sedikit.
Setelah berminggu-minggu meyakinkan warga, Arga akhirnya mendapat izin untuk mencoba memproses sebagian kecil gabah menjadi beras kemasan. Ia meminjam mesin penggiling dari koperasi kecamatan dan mengajak beberapa pemuda desa membantu.
Hari pertama berjalan lancar. Karung-karung gabah masuk ke mesin, keluar menjadi beras putih yang tampak bersih. Arga tersenyum puas, membayangkan kemasan dengan label “Beras Desa Sumberjati” terpajang di rak pasar kota.
Namun, di hari kedua, masalah muncul. Mesin penggiling tiba-tiba macet, dan sebagian beras yang keluar bercampur dengan butiran patah dan sekam halus. Beberapa warga yang melihat langsung mulai berkomentar.
“Kalau begini, mana laku di kota.”
“Baru mulai saja sudah rusak.”
Arga mencoba memperbaiki mesin, tapi butuh waktu. Sementara itu, kabar soal “beras gagal” cepat menyebar. Di warung, Sekar mendengar dua ibu-ibu membicarakannya.
“Sudah dibilang, orang kota itu cuma pintar ngomong.”
“Kasihan Sekar, nanti ikut malu.”
Sore itu, Arga duduk di bale-bale depan rumah sewaannya, wajahnya kusut. Sekar datang membawa teh hangat.
“Ga, ini cuma awal. Mesin bisa diperbaiki. Yang penting, kamu jangan berhenti.”
Arga menghela napas. “Tapi kalau warga sudah kehilangan kepercayaan, semua ini percuma.”
Sekar menatapnya lama. Ia tahu, jika ia bicara di depan warga untuk membela Arga, sebagian akan mendengarkan — tapi sebagian lagi mungkin akan menuduhnya membela karena hubungan pribadi.
Malam itu, ia duduk di beranda rumahnya, memikirkan langkah berikutnya. Apakah ia harus berdiri di samping Arga di depan semua orang, atau membiarkannya membuktikan diri tanpa campur tangan?
Rapat desa sore itu berlangsung di balai yang sederhana, dengan kursi-kursi plastik berderet dan lampu neon yang berkelip. Hampir semua warga hadir. Di depan, kepala desa duduk bersama beberapa tokoh masyarakat. Arga duduk di sisi ruangan, wajahnya tegang, sementara bisik-bisik terdengar di sudut-sudut.
Kepala desa membuka pembicaraan, “Kita semua sudah lihat uji coba usaha beras kemasan. Ada yang berhasil, ada yang belum. Pertanyaannya, apakah kita akan lanjut atau berhenti di sini?”
Beberapa warga langsung angkat bicara.
“Kalau gagal lagi, rugi waktu dan tenaga.”
“Mesinnya saja sudah rusak, bagaimana mau produksi banyak?”
Arga hendak berdiri, tapi Sekar lebih dulu maju. Suaranya tenang, tapi cukup keras untuk terdengar semua orang.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu… saya tahu ada yang ragu. Tapi saya juga tahu, tidak ada usaha yang langsung sempurna di awal. Kita semua pernah gagal menanam, gagal panen, tapi kita tidak berhenti bertani. Kenapa kita tidak memberi kesempatan sekali lagi?”
Ruangan hening. Sekar melanjutkan, “Arga memang orang kota, tapi selama ini dia ikut kerja di sawah, ikut ronda, bahkan membantu saat bendungan jebol. Dia tidak lari ketika sulit. Kalau kita mau maju, kita butuh orang yang mau belajar dan bertahan seperti itu.”
Beberapa warga mulai saling pandang. Pak Darto mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita beri satu kali kesempatan lagi. Tapi semua harus terlibat, supaya kalau berhasil, kita berhasil bersama.”
Arga menatap Sekar, matanya penuh rasa terima kasih. Ia tahu, tanpa keberanian Sekar bicara hari ini, mungkin semua sudah berakhir.
Malam itu, saat warga bubar, Arga berkata pelan, “Kamu tahu, Kar… ini bukan cuma kesempatan kedua untuk usahaku. Ini juga kesempatan kedua untuk aku membuktikan bahwa aku benar-benar milik desa ini.”
Sekar tersenyum tipis. “Kalau begitu, jangan sia-siakan.”
Share this novel