bab 10

Drama Series 49

Hari-hari setelah rapat terasa tegang. Warga terbelah: sebagian mendukung Arga untuk menolak perjanjian dengan lembaga Rendra, sebagian lagi ingin segera menandatangani demi keamanan.

Di tengah kebimbangan itu, kabar buruk datang dari pasar kecamatan. Perusahaan besar mulai menjual beras kemasan mereka dengan harga yang bahkan lebih murah dari gabah mentah. Mereka juga membagikan bonus peralatan tani gratis bagi pengecer yang mau menjual produk mereka secara eksklusif.

Pak Darto datang ke rumah Arga sore itu, wajahnya muram.
“Ga, kalau begini terus, gabah kita nggak akan laku. Orang-orang sudah mulai tergoda. Ada yang bilang mau jual semua panennya ke mereka.”

Sekar yang mendengar percakapan itu ikut cemas. Ia tahu, jika terlalu banyak warga yang menyerah, usaha beras kemasan Sumberjati akan mati sebelum berkembang.

Beberapa malam kemudian, Arga menghadiri ronda. Di pos jaga, ia mendengar dua pemuda desa berbisik.
“Kalau ikut perusahaan besar, kita dapat uang cepat.”
“Ya, daripada nunggu usaha Arga yang belum jelas.”

Arga menahan diri untuk tidak menanggapi. Ia tahu, marah hanya akan membuat jarak semakin lebar. Tapi di dalam hatinya, ia merasa waktu mereka semakin sedikit.

Keesokan harinya, Rendra kembali menghubungi kepala desa, menawarkan “bantuan darurat” berupa modal tunai jika perjanjian ditandatangani segera. Tawaran itu membuat pihak yang pro-kerja sama semakin vokal.

Sekar menatap Arga malam itu. “Ga, kalau kamu mau mempertahankan pilihanmu, kamu harus punya langkah besar. Kalau tidak, minggu depan semua ini akan berakhir.”

Arga menatap gelapnya sawah di kejauhan. Ia sadar, ini bukan lagi sekadar soal harga beras atau kontrak kerja sama. Ini soal mempertahankan martabat desa — dan mungkin, mempertahankan dirinya sendiri di mata Sekar.

Malam itu, setelah berbicara lama dengan Sekar, Arga memutuskan untuk mengambil langkah yang belum pernah ia coba: memotong jalur distribusi biasa dan langsung menjual beras kemasan Sumberjati ke konsumen kota dalam jumlah besar, tanpa perantara.

Ia menghubungi beberapa kenalan lamanya di Bandung — bukan perusahaan besar, melainkan jaringan kafe, restoran, dan toko bahan organik yang sedang naik daun. Ia menawarkan konsep farm-to-table: beras segar langsung dari petani, tanpa rantai distribusi panjang.

Namun, untuk memenuhi pesanan awal, mereka harus mengirim minimal satu ton beras dalam waktu dua minggu. Itu berarti semua warga yang mendukung harus bekerja ekstra, dan mereka harus mengeluarkan modal sendiri untuk transportasi dan kemasan tambahan.

Keesokan harinya, Arga memanggil rapat kecil di rumah Pak Darto.
“Kalau kita berhasil, kita punya pembeli tetap di kota. Kalau gagal… kita bisa rugi besar,” kata Arga jujur.
Beberapa warga ragu, tapi akhirnya setuju. “Daripada kita diam dan menunggu, lebih baik kita coba,” ujar Pak Darto.

Hari-hari berikutnya desa terasa seperti sarang lebah. Semua orang bekerja: menjemur, menggiling, mengemas, menempel label. Sekar mengatur pencatatan stok dan pembayaran, sementara Arga bolak-balik ke kecamatan untuk mengurus izin pengiriman.

Namun, di tengah persiapan, kabar beredar bahwa perusahaan besar mengetahui langkah mereka. Dua hari sebelum pengiriman, seorang sopir truk yang biasa mengangkut hasil panen ke kota tiba-tiba membatalkan kontrak, dengan alasan “ada tekanan dari pihak tertentu”.

Sekar menatap Arga dengan cemas. “Kalau kita nggak dapat truk, semua ini sia-sia.”
Arga terdiam, lalu berkata, “Kalau mereka mau menutup jalan kita, kita cari jalan lain. Aku nggak akan mundur sekarang.”

Dan malam itu, di bawah langit desa yang gelap, Arga mulai mencari cara untuk mengirim beras itu ke kota — meski harus melawan arus yang mencoba menghentikannya.

Setelah sopir truk membatalkan kontrak, Arga menghabiskan malam mencari solusi. Ia menghubungi beberapa kenalan lama, tapi semua menolak dengan alasan “tidak mau terlibat masalah”.

Pagi berikutnya, saat duduk di warung kopi, ia mendengar obrolan dua pemuda desa tetangga yang baru pulang dari kota. Mereka bercerita tentang sebuah koperasi nelayan di pesisir yang rutin mengirim hasil tangkapan ke pasar induk menggunakan truk pendingin.
Arga langsung tergerak. Ia pergi ke desa pesisir itu, menemui ketua koperasi, dan menawarkan kerja sama: truk mereka akan membawa ikan ke kota, lalu pulangnya mengangkut beras Sumberjati.

Ketua koperasi setuju, asalkan ongkos dibayar tunai dan barang diangkut malam hari untuk menghindari kemacetan. Arga menerima tanpa ragu.

Namun, kabar itu rupanya cepat sampai ke telinga perusahaan besar. Dua hari sebelum pengiriman, seorang pria yang pernah datang mengancam di balai desa kini muncul di jalan menuju rumah Arga.
“Kami dengar kamu mau kirim beras lewat jalur nelayan,” katanya dengan nada datar. “Saran saya, batalkan. Kalau tidak, kamu akan menyesal.”

Arga menatapnya tanpa mundur. “Kami hanya menjual hasil panen kami sendiri. Tidak ada yang salah dengan itu.”
Pria itu tersenyum tipis. “Kita lihat nanti.” Lalu ia pergi, meninggalkan rasa was-was yang menempel di udara.

Malam pengiriman tiba. Warga yang mendukung berkumpul diam-diam di gudang, memuat karung-karung beras ke truk pendingin. Sekar ikut membantu, meski matanya terus mengawasi jalan, takut ada yang datang menghalangi.

Saat truk mulai bergerak, Arga berdiri di tepi jalan, napasnya berat. Ia tahu, jika truk itu sampai ke kota dengan selamat, mereka akan punya pembeli tetap. Tapi jika gagal… bukan hanya uang yang hilang, kepercayaan warga pun bisa runtuh.

Dan di kejauhan, lampu truk perlahan menghilang di tikungan, membawa serta harapan — dan risiko — yang akan menentukan masa depan mereka.

Truk pendingin yang membawa satu ton beras Sumberjati berangkat tepat pukul sebelas malam. Udara pesisir lembap, dan jalanan gelap hanya diterangi lampu kendaraan. Arga awalnya berniat tinggal di desa untuk menenangkan warga, tapi sejak truk berangkat, pikirannya tak tenang.

Sekitar pukul satu dini hari, teleponnya berdering. Sopir truk, Pak Saman, berbicara dengan suara tergesa.
“Mas Arga… ada dua motor yang dari tadi ngikutin. Mereka nggak nyalip, cuma jaga jarak. Saya takut ini bukan kebetulan.”

Arga berdiri dari kursinya, jantungnya berdegup kencang. Sekar yang mendengar percakapan itu langsung bangun dari tidurnya.
“Ga, kalau itu orang perusahaan besar… mereka bisa saja menghentikan truk sebelum sampai kota,” kata Sekar, suaranya cemas.

Arga menimbang cepat. Ia bisa menelepon polisi, tapi di jalan antarprovinsi seperti itu, bantuan mungkin datang terlambat. Pilihan lain: ia menyusul dengan motor, mencoba menemui truk di titik tertentu untuk memastikan pengiriman aman.

Pak Darto yang kebetulan lewat mendengar rencana itu. “Kalau kamu mau nyusul, aku ikut. Nggak aman kalau sendirian.”

Akhirnya, Arga dan Pak Darto berangkat dengan motor, menembus udara malam yang dingin. Sementara itu, di dalam truk, Pak Saman mencoba mengatur kecepatan, berharap motor-motor itu bosan mengikuti. Tapi setiap kali ia memperlambat, mereka ikut melambat.

Sekitar tiga puluh kilometer dari kota, Arga berhasil menyusul truk. Ia memberi isyarat pada Pak Saman untuk terus melaju, sementara ia dan Pak Darto memposisikan motor di belakang, menjadi “tameng” antara truk dan dua motor misterius itu.

Motor-motor itu akhirnya menyalip, tapi bukan untuk menyerang — mereka hanya melaju cepat, lalu menghilang di tikungan. Entah itu ancaman yang batal, atau sekadar peringatan.

Saat truk akhirnya masuk ke gerbang pasar induk kota menjelang subuh, semua orang menghela napas lega. Tapi di hati Arga, ia tahu ini belum berakhir. Ada pihak yang ingin mereka gagal, dan malam ini hanyalah babak awal dari permainan yang lebih besar.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience