Completed
256
Dua hari setelah pasar gabah terbuka, suasana desa masih ramai membicarakan keberhasilan acara itu. Kas koperasi kembali aman, dan sebagian anggota mulai percaya bahwa mereka bisa mandiri tanpa bergantung pada satu pembeli.
Namun, di sebuah warung kopi dekat jalan utama, Arga mendapat kabar dari seorang pemuda desa bahwa Pak Herman, salah satu pembeli yang kalah lelang, kembali datang diam-diam. Ia tidak datang ke balai desa, melainkan mengundang beberapa anggota koperasi ke pertemuan kecil di rumah seorang warga.
Menurut kabar, tawarannya sederhana tapi menggiurkan:
- Ia bersedia membeli gabah dengan harga 5% lebih tinggi dari harga pasar.
- Pembayaran dilakukan tunai di tempat.
- Tidak ada kontrak panjang, hanya kesepakatan per musim.
Bagi sebagian anggota, tawaran ini terdengar seperti kesempatan emas. “Kalau koperasi mau, kita bisa jual sebagian ke dia, sisanya tetap lewat koperasi. Semua untung,” kata salah satu petani muda yang hadir di pertemuan itu.
Tapi Sekar melihat bahaya yang sama seperti dulu. “Begitu kita buka celah, pembeli luar akan masuk dan memecah kita dari dalam. Hari ini 5%, besok bisa 10%, tapi dengan syarat yang membuat kita tergantung.”
Arga dan Bu Ratna memutuskan memanggil rapat darurat pengurus. Suasana tegang. Beberapa anggota terang-terangan mendukung ide menjual sebagian ke Pak Herman, dengan alasan koperasi tidak boleh menutup peluang. Yang lain bersikeras menolak, mengingatkan bahwa tujuan koperasi adalah kekuatan kolektif, bukan sekadar mengejar harga tertinggi.
Pak Lurah yang hadir akhirnya berkata, “Kita harus ingat, koperasi ini lahir dari keinginan untuk berdiri di kaki sendiri. Kalau kita kembali tergoda janji manis, semua yang kita bangun bisa runtuh.”
Keputusan belum diambil malam itu. Tapi Arga tahu, ini bukan sekadar soal harga gabah — ini ujian kesetiaan pada kesepakatan yang mereka perjuangkan dengan susah payah.
Di luar, hujan rintik mulai turun, membasahi jalan desa. Arga menatap lampu gudang yang berpendar di kejauhan, bertanya dalam hati: Apakah cahaya itu akan tetap milik bersama, atau suatu hari akan direbut lagi oleh orang luar?
Balai desa sore itu penuh. Semua kursi terisi, bahkan beberapa warga berdiri di belakang. Di meja depan, Arga dan Bu Ratna duduk berdampingan, sementara Sekar memegang palu kecil untuk memimpin jalannya rapat.
Agenda tunggal: memutuskan apakah koperasi akan menerima tawaran Pak Herman untuk menjual sebagian gabah di luar kontrak.
Sejak awal, perdebatan langsung memanas.
“Kita butuh uang cepat, dan tawaran itu jelas lebih menguntungkan,” kata seorang petani muda.
“Kalau kita terima, koperasi ini hanya jadi papan nama. Kita kembali ke masa lalu,” balas seorang anggota senior.
Suara-suara saling tumpang tindih. Sekar beberapa kali mengetuk meja, tapi sulit meredakan emosi yang sudah menggelegak.
Lalu, dari pojok ruangan, terdengar suara pelan tapi jelas. Itu Mak Siti, petani perempuan berusia hampir tujuh puluh tahun yang jarang bicara di rapat. Semua menoleh.
“Saya ini cuma punya sawah setengah bau,” katanya, “hasilnya tidak banyak. Kalau koperasi pecah, saya tidak punya daya tawar. Dulu, sebelum ada koperasi, saya sering dipaksa jual murah karena tidak ada pilihan. Sekarang, meski uangnya tidak langsung banyak, saya tahu harga saya sama dengan yang lain. Itu membuat saya tidur nyenyak.”
Ruangan hening. Mak Siti melanjutkan, “Kalau kita terima tawaran itu, mungkin kita dapat uang lebih hari ini. Tapi besok? Tahun depan? Kita akan kembali diadu-adu. Saya sudah tua, tapi saya tidak mau lihat anak cucu saya mengulang kesalahan yang sama.”
Kata-kata itu seperti menembus dinding keras di kepala sebagian anggota. Beberapa yang tadinya mendukung tawaran mulai terdiam, menunduk.
Arga memanfaatkan momen itu. “Kita bisa cari cara lain untuk menambah pendapatan tanpa mengorbankan kesepakatan. Tapi kalau kita buka celah ini, kita tidak akan bisa menutupnya lagi.”
Akhirnya, dengan suara mayoritas tipis, rapat memutuskan menolak tawaran Pak Herman. Keputusan itu disambut tepuk tangan kecil — bukan karena semua puas, tapi karena mereka tahu, untuk kali ini, mereka memilih tetap bersama.
Malamnya, Arga berjalan pulang melewati jalan desa yang basah sisa hujan. Ia teringat wajah Mak Siti yang tenang saat berbicara. Kadang, pikirnya, kekuatan koperasi bukan pada angka atau kontrak… tapi pada suara yang berani mengingatkan siapa mereka sebenarnya.
Sepekan setelah rapat yang menolak tawaran Pak Herman, suasana desa mulai tenang kembali. Namun, Arga dan Bu Ratna tahu, koperasi tidak bisa hanya mengandalkan penjualan gabah jika ingin bertahan jangka panjang.
Di rapat pengurus berikutnya, Sekar membuka pembicaraan.
“Kita punya sumber daya lain yang belum dimanfaatkan. Kenapa tidak kita olah sebagian gabah menjadi beras kemasan sendiri? Kita bisa jual langsung ke pasar kota atau lewat toko online.”
Usulan itu membuat ruangan riuh. Beberapa anggota antusias, membayangkan merek beras “Sumberjati” terpajang di rak supermarket. Yang lain ragu, mengingat biaya mesin penggilingan modern, kemasan, dan distribusi.
Pak Lurah menambahkan ide lain: memanfaatkan limbah sekam gabah untuk dijadikan bahan bakar briket atau pakan ternak. “Nilainya memang tidak sebesar beras, tapi bisa jadi pemasukan tambahan dan mengurangi limbah,” ujarnya.
Akhirnya, mereka sepakat memulai proyek percontohan:
1. Menggiling sebagian kecil gabah menjadi beras premium kemasan 5 kg.
2. Mengolah sekam menjadi briket untuk dijual ke pasar lokal.
3. Memanfaatkan media sosial untuk promosi, dengan foto-foto proses panen dan cerita tentang koperasi.
Beberapa anak muda desa yang paham teknologi langsung menawarkan diri mengurus pemasaran online. Mereka membuat akun Instagram dan TikTok koperasi, menampilkan video singkat tentang kehidupan petani dan proses produksi.
Tak disangka, video pertama — yang menampilkan Mak Siti menjemur gabah sambil bercerita tentang masa mudanya — menjadi viral di tingkat lokal. Pesanan beras kemasan mulai masuk, bahkan dari luar kabupaten.
Melihat perkembangan itu, Arga tersenyum. “Mungkin inilah cara kita menjaga koperasi tetap hidup — dengan membuka pintu ke dunia luar, tapi tetap memegang kunci di tangan kita sendiri.”
Namun, di sudut pikirannya, ia sadar: semakin besar perhatian yang datang, semakin besar pula risiko pihak luar mencoba masuk lagi… kali ini dengan cara yang lebih halus.
Beras kemasan “Sumberjati” yang awalnya hanya proyek percontohan kini mulai dikenal luas. Foto Mak Siti di kemasan, lengkap dengan senyum tulusnya, menjadi daya tarik tersendiri. Media lokal datang meliput, bahkan sebuah stasiun TV daerah menayangkan liputan khusus tentang “desa yang bangkit lewat koperasi”.
Pemerintah kabupaten pun mengundang Arga, Bu Ratna, dan Sekar untuk menerima penghargaan “Inovasi Pertanian Rakyat”. Di panggung, tepuk tangan bergema, dan untuk sesaat semua perbedaan terasa jauh.
Namun, di balik sorotan itu, muncul riak-riak kecil.
Beberapa anggota yang tidak terlibat langsung dalam proyek beras kemasan mulai merasa tersisih. “Kenapa cuma orang-orang tertentu yang diajak foto dan diwawancara? Padahal kita semua bagian dari koperasi,” keluh seorang petani muda di warung kopi.
Lebih jauh lagi, ada pedagang beras lokal yang merasa tersaingi. Mereka mulai menyebarkan kabar miring: bahwa beras kemasan Sumberjati sebenarnya diambil dari luar desa, atau bahwa keuntungan hanya dinikmati segelintir orang.
Sekar mendengar gosip itu dan melaporkannya di rapat pengurus. “Kalau kita biarkan, kabar ini bisa merusak kepercayaan dari dalam dan luar,” katanya.
Bu Ratna menimpali, “Kita harus pastikan semua anggota merasa dilibatkan. Kalau tidak, rasa iri akan tumbuh, dan itu lebih berbahaya daripada persaingan harga.”
Akhirnya, diputuskan untuk memperluas tim produksi beras kemasan: setiap dusun mengirim perwakilan untuk ikut dalam proses penggilingan, pengemasan, dan promosi. Selain itu, sebagian keuntungan dari penjualan kemasan akan dialokasikan untuk dana sosial desa, agar manfaatnya terasa langsung oleh semua warga.
Malam itu, Arga duduk di beranda rumahnya, memandangi kemasan beras Sumberjati yang baru dicetak. Ia tahu, menjaga keberhasilan bukan hanya soal menjual produk — tapi juga memastikan semua orang merasa memiliki.
Di kejauhan, lampu gudang dan rumah-rumah warga berkelip. Sorotan kamera mungkin akan pergi suatu hari, tapi yang benar-benar menentukan masa depan Sumberjati adalah cahaya yang tetap menyala di hati warganya.
Share this novel