Keesokan paginya, langit cerah seolah tak pernah ada hujan deras semalam. Namun, suasana di desa justru terasa lebih berat. Di warung kopi, di pasar, bahkan di sumur umum, satu topik yang dibicarakan semua orang hanyalah kejadian di jembatan — dan bagaimana Sekar dan Arga terlihat “terlalu dekat” saat bekerja menyelamatkannya.
Sekar merasakan tatapan itu sejak ia melangkah keluar rumah. Ada yang tersenyum tipis, ada yang berbisik sambil menunduk. Ia mencoba menahan diri, tapi di dalam hati, rasa lelah mulai menumpuk.
Siang itu, Siti datang lagi.
“Kar, aku tahu kamu nggak salah. Tapi orang-orang sudah mulai membuat cerita sendiri. Ada yang bilang kamu akan ikut Arga ke kota.”
Sekar menatap sahabatnya itu lama. “Aku belum tahu apa yang akan kulakukan, Sit. Yang aku tahu, aku nggak mau hidupku diatur oleh gosip.”
Sementara itu, di rumah kontrakannya, Arga duduk menatap peta proyek yang hampir selesai. Ia tahu waktunya di desa tinggal sedikit. Tapi setiap kali ia membayangkan pergi, wajah Sekar muncul di pikirannya.
Sore menjelang, Arga memberanikan diri datang ke rumah Sekar. Kali ini, ia tidak membawa alasan pekerjaan.
“Aku tahu, kehadiranku bikin kamu jadi bahan omongan,” katanya pelan. “Tapi aku juga tahu, kalau aku pergi sekarang, aku akan menyesal seumur hidup.”
Sekar terdiam. Angin sore membawa aroma padi yang menguning, dan suara anak-anak bermain layangan terdengar dari kejauhan.
“Arga… hidup di desa ini sederhana, tapi juga rapuh. Sekali ada yang retak, sulit diperbaiki. Aku harus hati-hati.”
“Aku mengerti,” jawab Arga. “Tapi kalau kamu mau… aku siap tinggal. Bukan untuk proyek, tapi untuk kamu.”
Sekar menatapnya, mencoba membaca kesungguhan di matanya. Ia tahu, keputusan ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang keberanian menghadapi dunia yang berbeda.
Malam itu, ia duduk di beranda, memandangi bintang-bintang. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya bertanya: apakah ia siap mengambil risiko demi sesuatu yang mungkin menjadi awal baru dalam hidupnya?
Pagi itu, Sekar sedang menjemur padi di halaman ketika Arga datang. Kali ini ia tidak membawa map proyek atau alasan pekerjaan. Di tangannya ada sebuah amplop putih.
“Aku mau bicara,” ucapnya, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.
Sekar mengangguk, mengajaknya duduk di bangku kayu di teras. Arga menyerahkan amplop itu.
“Ini… undangan untuk datang ke rumah orang tuaku di Bandung. Aku ingin kamu bertemu mereka.”
Sekar terdiam. Kata-kata itu terasa seperti angin kencang yang tiba-tiba datang, membuatnya kehilangan pijakan.
“Arga… kamu tahu ini bukan hal kecil. Aku belum pernah keluar desa sejauh itu. Dan… kalau aku pergi, orang-orang di sini akan bicara lebih banyak lagi.”
Arga menatapnya lekat. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu, kalau kita terus memikirkan omongan orang, kita tidak akan pernah maju. Aku ingin mereka mengenal kamu, bukan hanya dari cerita yang aku sampaikan.”
Sekar menunduk, jemarinya meremas ujung kain sarung yang ia kenakan. Di satu sisi, ada rasa takut—takut meninggalkan zona aman, takut menghadapi dunia yang asing. Tapi di sisi lain, ada rasa penasaran dan… harapan.
Sore itu, Sekar menceritakan undangan itu pada ibunya. Sang ibu hanya tersenyum tipis.
“Kalau hatimu yakin, pergilah. Tapi ingat, jangan pernah lupa dari mana kamu berasal.”
Malamnya, Sekar duduk di beranda, memandangi jalan desa yang sepi. Di kejauhan, suara jangkrik bersahut-sahutan. Ia tahu, keputusan ini akan mengubah banyak hal—bukan hanya tentang dirinya dan Arga, tapi juga tentang bagaimana ia melihat dunia.
Kabar itu menyebar lebih cepat daripada yang Sekar bayangkan. Ia belum memberi jawaban pada Arga, tapi entah bagaimana, warga desa sudah membicarakan bahwa ia akan ikut ke Bandung.
Di warung kopi, beberapa bapak menggeleng-gelengkan kepala.
“Anak itu berani sekali, ikut orang kota,” ujar salah satu.
“Kalau pulang nanti, belum tentu sama,” timpal yang lain.
Sekar mendengarnya ketika lewat, tapi ia memilih terus berjalan. Di dalam hati, ia tahu, setiap langkah yang ia ambil akan selalu diikuti suara-suara seperti itu.
Sore itu, Arga datang lagi. Ia tidak banyak bicara, hanya duduk di bangku kayu teras rumah Sekar sambil menatap jalan desa yang sepi.
“Aku tahu ini berat untukmu,” katanya akhirnya. “Tapi aku ingin kamu melihat dunia yang aku jalani. Biar kamu bisa memutuskan dengan mata sendiri, bukan hanya dari cerita.”
Sekar menatapnya lama. “Kalau aku pergi, aku harus siap dengan semua omongan orang. Dan kalau aku tidak pergi… aku mungkin akan menyesal.”
Malamnya, Sekar berbicara dengan ibunya. Sang ibu menatapnya dengan mata yang teduh.
“Pergi bukan berarti melupakan desa ini, Kar. Kadang, kita harus melangkah keluar untuk tahu seberapa kuat akar kita.”
Keesokan paginya, Sekar memberi jawaban pada Arga.
“Aku ikut. Tapi hanya untuk beberapa hari. Setelah itu, aku kembali.”
Arga tersenyum lega. “Itu sudah cukup.”
Namun, keputusan itu membuat riak di desa semakin besar. Ada yang mendukung, ada yang mencibir. Dan di tengah semua itu, Sekar mulai menyadari — perjalanan ini bukan hanya tentang mengenal keluarga Arga, tapi juga tentang menguji dirinya sendiri.
Pagi itu, udara desa masih dingin ketika Sekar berdiri di depan rumah, membawa tas kain berisi beberapa helai pakaian. Ibunya menepuk bahunya pelan.
“Jangan takut. Lihatlah dunia dengan mata sendiri, Kar. Tapi ingat, pulanglah dengan hati yang tetap utuh.”
Arga datang menjemput dengan mobil sewaan. Beberapa tetangga pura-pura sibuk menyapu halaman, tapi tatapan mereka mengikuti setiap langkah Sekar. Ia menunduk, mencoba mengabaikan bisik-bisik yang terdengar samar.
Perjalanan menuju kota memakan waktu berjam-jam. Sawah dan pepohonan perlahan berganti menjadi deretan bangunan tinggi dan jalanan padat. Sekar menatap keluar jendela, matanya tak lepas dari pemandangan yang asing baginya.
“Banyak sekali mobil…” gumamnya.
Arga tersenyum. “Nanti malam, kamu akan lihat kota ini lebih hidup lagi.”
Sesampainya di Bandung, Sekar merasa seperti masuk ke dunia lain. Suara klakson, lampu-lampu toko, aroma kopi dari kafe-kafe modern—semuanya terasa begitu berbeda dari sunyi desa.
Mereka berhenti di sebuah rumah besar dengan halaman rapi. Arga menarik napas panjang sebelum membuka pintu pagar.
“Aku harap kamu siap. Ibuku orangnya… tegas,” katanya sambil tersenyum tipis.
Sekar mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang. Saat pintu rumah terbuka, seorang wanita paruh baya dengan tatapan tajam menyambut mereka.
“Ini Sekar?” tanyanya, suaranya datar.
Sekar menunduk sopan. “Iya, Bu. Senang bertemu…”
Wanita itu hanya mengangguk singkat, lalu mempersilakan masuk.
Di ruang tamu yang luas, Sekar duduk dengan punggung tegak. Ia bisa merasakan tatapan sang ibu menilai dari ujung kepala hingga kaki. Dan di saat itu, ia sadar—tantangan yang akan ia hadapi di kota ini bukan hanya soal menyesuaikan diri, tapi juga membuktikan bahwa ia pantas berada di sisi Arga.
Share this novel