bab 14

Drama Series 53

Balai desa malam itu dipenuhi wajah-wajah tegang. Lampu neon berkelip, suara kursi bergeser terdengar di antara bisik-bisik warga. Kepala desa berdiri di depan, memegang daftar nama untuk voting.

“Yang setuju menerima syarat eksklusif dari pembeli katering, angkat tangan.”
Beberapa tangan terangkat, jumlahnya cukup banyak.
“Yang menolak?”
Lebih banyak tangan terangkat kali ini. Selisihnya tipis, tapi cukup untuk memutuskan: desa menolak syarat eksklusif.

Sorak kecil terdengar dari kelompok yang menolak, tapi sebagian warga langsung keluar ruangan dengan wajah kecewa. Arga berdiri di tengah, menatap semua orang. “Keputusan ini berarti kita memilih jalan yang lebih sulit. Tapi ini juga berarti kita tetap memegang kendali atas apa yang kita tanam dan jual.”

Sekar bisa melihat rasa lega sekaligus kekhawatiran di mata Arga. Ia tahu, kemenangan ini rapuh.

Kekhawatiran itu terbukti hanya dua hari kemudian. Sebuah truk perusahaan besar masuk ke desa, membagikan beras kemasan mereka secara gratis ke rumah-rumah. Di setiap karung ada brosur yang menjelekkan usaha Sumberjati: “Beras kami lebih bersih, lebih murah, dan selalu tersedia.”

Beberapa warga mulai goyah. “Kalau mereka bisa kasih gratis, kenapa kita harus beli dari usaha sendiri?” bisik seorang ibu di warung.

Pak Darto datang ke rumah Arga dengan wajah muram. “Ga, ini bukan lagi soal harga. Mereka mau hancurkan kita di mata warga.”

Arga menatap Sekar. “Kalau mereka main di ranah opini, kita juga harus masuk ke sana. Tapi caranya… harus membuat warga sadar tanpa merasa dipaksa.”

Sekar mengangguk. “Kita harus buat mereka ingat, usaha ini bukan cuma soal beras. Ini soal siapa yang mengendalikan masa depan desa.”

Malam itu, di gudang kecil yang menjadi pusat usaha, Arga mulai menyusun rencana kampanye tandingan — bukan dengan uang, tapi dengan cerita, kebersamaan, dan bukti nyata bahwa Sumberjati bisa berdiri di kaki sendiri.

Arga tahu mereka tidak bisa melawan dengan uang atau hadiah gratis seperti yang dilakukan perusahaan besar. Jadi ia memilih senjata yang mereka punya: cerita.

Bersama Sekar dan beberapa pemuda desa, mereka membuat rangkaian video pendek tentang proses menanam padi, panen, dan kehidupan sehari-hari warga Sumberjati. Tidak ada narasi berlebihan, hanya gambar-gambar jujur: tangan yang kotor oleh lumpur, tawa anak-anak di pematang, dan wajah-wajah lelah tapi bangga saat mengangkat karung beras.

Video itu diunggah ke media sosial dengan tagar #BerasDariTanganKami. Awalnya hanya dibagikan oleh warga dan kerabat, tapi dalam beberapa hari, unggahan itu mulai mendapat perhatian dari akun-akun komunitas pangan lokal, lalu jurnalis independen.

Suatu sore, sebuah mobil berlogo stasiun TV lokal datang ke desa. Seorang reporter muda turun, membawa kamera.
“Kami tertarik meliput kisah kalian. Banyak orang di kota yang penasaran dengan perjuangan melawan dominasi perusahaan besar,” katanya.

Liputan itu tayang dua hari kemudian. Dalam video, terlihat Arga dan Sekar berbicara di tengah sawah, warga bekerja bersama, dan anak-anak membantu menempel label kemasan. Cerita mereka disajikan bukan sebagai kisah bisnis, tapi sebagai perjuangan mempertahankan kedaulatan pangan desa.

Dampaknya langsung terasa. Pesanan beras datang dari berbagai kota, bahkan ada yang menawarkan bantuan logistik. Tapi bersamaan dengan itu, tekanan juga meningkat. Perusahaan besar mengirimkan surat somasi, menuduh mereka “menyebarkan informasi yang merugikan citra” perusahaan.

Pak Darto membaca surat itu dengan wajah kesal. “Mereka mulai panik. Itu artinya kita di jalur yang benar.”
Sekar menatap Arga. “Ga, ini bisa jadi kesempatan… atau awal masalah yang lebih besar. Kalau kita terus maju, kita harus siap menghadapi mereka di ranah hukum.”

Arga mengangguk pelan. “Kalau ini harga untuk mempertahankan desa, aku siap. Tapi kita harus pastikan warga juga siap.”

Dan malam itu, di bawah cahaya lampu gudang yang temaram, mereka mulai merancang langkah berikutnya — kali ini bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk benar-benar membalik keadaan.

Liputan televisi dan tagar #BerasDariTanganKami membuat nama Sumberjati dikenal luas. Dalam seminggu, truk-truk kecil datang membawa pesanan dari komunitas pangan lokal, koperasi mahasiswa, hingga restoran di kota besar. Beberapa relawan dari luar daerah bahkan datang menawarkan bantuan tenaga dan ide pemasaran.

Awalnya, suasana desa penuh semangat. Warga yang sempat ragu mulai kembali membantu di gudang, anak-anak ikut menempel label, dan sawah-sawah kembali ramai. Namun, di tengah euforia itu, Arga mulai melihat tanda-tanda yang membuatnya waspada.

Seorang pria berpenampilan rapi datang mengaku sebagai perwakilan “Koalisi Pangan Mandiri”, sebuah organisasi yang katanya mendukung petani melawan korporasi besar. Ia menawarkan bantuan hukum gratis, promosi nasional, bahkan akses ke modal. Tapi dalam pembicaraan tertutup, ia menyelipkan syarat:
“Kalau nanti usaha ini berkembang, kami ingin hak untuk menggunakan nama Sumberjati dalam kampanye kami. Semua kegiatan promosi harus melalui kami.”

Sekar yang mendengar langsung merasa tidak nyaman. “Ga, ini seperti mengganti satu ketergantungan dengan ketergantungan lain.”
Arga mengangguk. “Mereka datang dengan bendera dukungan, tapi ujungnya tetap ingin mengendalikan.”

Tak lama, muncul pula sekelompok aktivis yang ingin menjadikan Sumberjati sebagai simbol perlawanan nasional. Mereka mendorong Arga untuk ikut aksi di ibu kota, membawa spanduk dan orasi.
“Kalau ikut, nama kalian akan makin besar,” kata salah satu dari mereka.
Tapi Arga tahu, langkah itu bisa memecah warga yang hanya ingin fokus bertani, bukan terlibat politik.

Di tengah semua tawaran itu, Pak Darto mengingatkan, “Ga, Kar… kita harus hati-hati. Jangan sampai perjuangan ini diambil alih orang luar. Kita yang menanam, kita yang harus menentukan arah.”

Malam itu, Arga dan Sekar duduk di beranda, menatap lampu-lampu rumah warga yang berkelip.
“Kar,” kata Arga pelan, “gelombang dukungan ini seperti air pasang. Bisa mengangkat kita… atau menyeret kita ke arus yang bukan milik kita.”
Sekar menatapnya lama. “Kalau begitu, kita harus belajar berenang sebelum airnya terlalu tinggi.”

Setelah gelombang dukungan dari luar desa semakin deras, Arga mulai merasa arah perjuangan Sumberjati mulai kabur. Terlalu banyak suara dari luar yang mencoba mengatur, terlalu banyak agenda yang tidak sepenuhnya sejalan dengan tujuan awal mereka.

Maka, pada rapat terbuka di balai desa, Arga berdiri di depan warga dan para relawan dari luar.
“Kami berterima kasih atas semua bantuan yang datang. Tapi kami ingin menegaskan: keputusan tentang masa depan usaha ini akan diambil oleh warga Sumberjati sendiri. Kami tidak akan menyerahkan kendali kepada pihak mana pun, meskipun mereka datang dengan niat baik.”

Sekar melihat beberapa wajah relawan berubah kaku. Salah satu perwakilan organisasi pangan yang selama ini paling vokal langsung angkat bicara.
“Kalau begitu, mungkin kami harus mempertimbangkan kembali dukungan kami. Kami datang untuk membantu, tapi kalau tidak ada koordinasi penuh, sulit bagi kami untuk melanjutkan.”

Arga menatapnya tenang. “Kami menghargai itu. Tapi kami lebih memilih berjalan lambat dengan kaki sendiri, daripada berlari dengan kaki orang lain.”

Keputusan itu membuat sebagian relawan pergi malam itu juga. Beberapa warga khawatir kehilangan bantuan logistik dan promosi yang selama ini mereka nikmati.
“Ga, apa kita nggak gegabah?” tanya seorang pemuda desa.
Arga menggeleng. “Kalau kita tidak tegas sekarang, nanti kita akan sulit keluar dari bayang-bayang mereka.”

Namun, konsekuensinya langsung terasa. Pesanan dari beberapa jaringan yang dikelola oleh organisasi tersebut dibatalkan. Gudang yang seminggu lalu penuh aktivitas kini kembali terasa lengang.

Sekar duduk di beranda rumah Arga malam itu. “Kamu tahu, Ga… ini akan membuat jalan kita semakin berat.”
Arga menatap gelapnya sawah. “Aku tahu. Tapi setidaknya, jalan ini milik kita sepenuhnya.”

Di kejauhan, suara mesin truk perusahaan besar terdengar samar, seolah mengingatkan bahwa lawan lama mereka masih mengintai — dan kini, mereka harus menghadapi ancaman itu dengan lebih sedikit sekutu di sisi mereka.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience