bab 50

Drama Completed 256

Sidang tipikor hari itu penuh sesak. Publik menunggu kesaksian dari eksekutif yang kini berstatus justice collaborator. Dengan suara bergetar, Budi Santoso mulai membuka rahasia yang selama ini disembunyikan rapat-rapat.

Ia menjelaskan bahwa PT Graha Pangan Nusantara tidak berdiri sendiri. Ada kontrak rahasia dengan sebuah perusahaan perdagangan internasional berbasis di Singapura, yang selama ini menjadi “pintu keluar” beras murah dari desa-desa, lalu dijual kembali dengan harga tinggi di pasar global.

Lebih mengejutkan lagi, Budi menyerahkan salinan email internal yang menunjukkan adanya koordinasi langsung dengan broker asing untuk mengatur pasokan beras di dalam negeri. Tujuannya jelas: menciptakan kelangkaan semu agar harga naik, sementara keuntungan besar mengalir ke luar negeri.

Ruang sidang mendadak riuh. Hakim harus mengetuk palu berkali-kali untuk menenangkan suasana. Media segera menulis tajuk: “Kartel Beras Terkait Jaringan Internasional”.

Di Sumberjati, warga menonton siaran langsung dengan wajah terkejut. Sekar berbisik pada Arga, “Jadi selama ini bukan hanya kita yang mereka peras, tapi seluruh negeri.”

Maya menambahkan, “Kalau bukti ini sah, kasus ini akan naik ke level nasional. Pemerintah pusat tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu.”

Namun, kabar ini juga membawa ancaman baru. Laras mendapat pesan dari kontak medianya: ada kemungkinan pihak asing yang disebut dalam kesaksian akan menekan lewat jalur diplomatik atau hukum internasional. “Mereka tidak akan tinggal diam kalau kepentingan bisnisnya terganggu,” tulis pesan itu.

Malam itu, Arga berbicara di balai desa:
> “Kita sudah membuka tabir yang lebih besar dari yang pernah kita bayangkan. Perjuangan ini bukan lagi hanya milik Sumberjati. Tapi apa pun yang terjadi, kita akan tetap berdiri di sini, menjaga sawah kita, menjaga kebenaran.”

Warga terdiam, lalu bertepuk tangan panjang. Mereka sadar, jalan yang ditempuh semakin berbahaya, tapi juga semakin penting.

Setelah kesaksian justice collaborator mengungkap keterlibatan jaringan internasional, pemerintah pusat tak bisa lagi berdiam diri. Presiden mengumumkan pembentukan Tim Khusus Pangan Nasional, terdiri dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, dan aparat penegak hukum. Tugasnya: menata ulang distribusi beras dan memastikan tidak ada lagi monopoli.

Media nasional menyorot langkah ini sebagai “titik balik sejarah pangan Indonesia”. Namun, di balik layar, pihak lawan yang semakin terpojok mencoba memainkan narasi baru. Mereka menyebarkan opini bahwa gerakan koperasi seperti Sumberjati justru “mengganggu stabilitas nasional” karena menolak integrasi penuh ke dalam program pemerintah pusat.

Beberapa politisi mulai bicara di televisi:
- “Kita harus hati-hati, jangan sampai kepentingan lokal menghambat strategi nasional.”
- “Koperasi boleh berperan, tapi jangan sampai mereka merasa lebih besar dari negara.”

Narasi ini jelas diarahkan untuk mengadu domba: seolah-olah perjuangan Sumberjati bertentangan dengan kepentingan nasional.

Di balai desa, Arga menanggapi dengan tenang.
> “Kita tidak pernah menolak negara. Justru kita ingin negara hadir melindungi rakyat kecil. Kalau ada yang bilang kita melawan pemerintah, itu fitnah. Kita hanya melawan kartel yang selama ini merusak.”

Maya menambahkan strategi:
- Membangun komunikasi langsung dengan tim khusus pemerintah, mengundang mereka datang ke Sumberjati untuk melihat langsung kondisi lapangan.
- Menggalang dukungan akademisi dan pakar pangan agar narasi koperasi sebagai bagian solusi, bukan ancaman, semakin kuat.
- Menggunakan media independen untuk menampilkan wajah perjuangan warga, bukan sekadar angka-angka.

Beberapa hari kemudian, tim khusus benar-benar datang ke Sumberjati. Mereka melihat gudang, berbicara dengan petani, bahkan ikut makan siang sederhana di balai desa. Salah satu pejabat kementerian berbisik pada Arga, “Saya baru sadar, apa yang kalian lakukan di sini justru yang seharusnya jadi model nasional.”

Namun, Arga tahu, lawan tidak akan menyerah begitu saja. Mereka masih punya jaringan politik, media, bahkan mungkin jalur internasional. Pertarungan belum selesai, tapi untuk pertama kalinya, desa kecil ini berdiri sejajar dengan pusat kekuasaan.

Kunjungan tim khusus pemerintah ke Sumberjati meninggalkan kesan mendalam. Para pejabat yang awalnya skeptis pulang dengan catatan positif. Beberapa hari kemudian, Kementerian Perdagangan mengumumkan rencana pilot project koperasi pangan nasional, dengan Sumberjati sebagai salah satu model utama.

Berita itu disambut gembira. Media menulis: “Dari Desa ke Nasional: Sumberjati Jadi Inspirasi Reformasi Pangan.” Warga desa merasa perjuangan mereka akhirnya diakui.

Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Dua minggu setelah pengumuman, pasar kota mendadak dilanda “krisis” aneh. Harga beras melonjak tajam, stok di beberapa kios kosong, dan antrean panjang terbentuk. Media lokal segera memberitakan “kegagalan koperasi menjaga pasokan”.

Sekar yang turun langsung ke pasar menemukan kejanggalan:
- Gudang koperasi penuh, tapi truk pengangkut ditahan di jalan oleh “razia mendadak” dari aparat yang tidak jelas asalnya.
- Beberapa kios yang biasanya menjual beras koperasi tiba-tiba menolak menerima pasokan, dengan alasan “takut diperiksa”.
- Di sisi lain, beras dari jaringan lawan justru berlimpah di pasar dengan harga sedikit lebih murah.

Maya menyimpulkan, “Ini jelas krisis buatan. Mereka ingin menunjukkan bahwa tanpa kartel, pasar kacau. Mereka sedang menguji kesabaran publik.”

Arga segera menghubungi tim khusus pemerintah, mengundang mereka kembali untuk melihat langsung kondisi gudang dan jalur distribusi. “Kalau mereka hanya melihat pasar, mereka akan percaya narasi lawan. Tapi kalau mereka lihat gudang kita, mereka tahu siapa yang bermain.”

Langkah darurat diambil:
- Distribusi langsung ke warga kota lewat pasar tenda darurat yang dikelola koperasi.
- Dokumentasi terbuka: setiap truk yang berangkat difoto, dicatat, dan diumumkan di media sosial agar publik tahu pasokan benar-benar ada.
- Koordinasi dengan jurnalis independen untuk membongkar razia palsu yang menahan truk.

Malam itu, di balai desa, Arga berbicara dengan suara tegas:
> “Mereka bisa menciptakan krisis, tapi mereka tidak bisa menciptakan kebenaran. Kebenaran ada di gudang kita, di sawah kita, dan di tangan rakyat yang tidak mau lagi ditipu.”

Sorak-sorai warga menggema, meski semua sadar: lawan sedang memainkan kartu terakhir mereka, dan taruhannya adalah kepercayaan publik.

Pasar tenda darurat yang didirikan koperasi di alun-alun kota awalnya hanya dimaksudkan sebagai solusi sementara. Namun, dalam hitungan hari, tenda-tenda sederhana itu berubah menjadi pusat perhatian. Warga kota berbondong-bondong datang, bukan hanya untuk membeli beras dengan harga wajar, tapi juga untuk menunjukkan dukungan.

Antrian panjang terbentuk, dan suasana lebih mirip festival daripada pasar. Anak-anak berlarian, pedagang kecil ikut membuka lapak, dan media sosial dipenuhi foto-foto dengan tagar #BerasDariRakyatUntukRakyat.

Seorang jurnalis independen menulis:
“Di tengah krisis buatan, rakyat menemukan jalannya sendiri. Pasar tenda ini bukan sekadar tempat jual beli, tapi simbol bahwa kebenaran bisa bertahan meski dilawan dengan uang dan kekuasaan.”

Sementara itu, investigasi Dimas dan tim jurnalis menemukan bukti baru: dokumen internal aparat daerah yang memerintahkan “razia mendadak” terhadap truk koperasi. Dokumen itu bocor ke media nasional, dan publik marah. Pertanyaan besar muncul: siapa yang memberi perintah, dan atas dasar apa?

Di televisi, seorang pejabat kementerian yang sebelumnya ragu kini berkata tegas:
> “Kami melihat jelas ada sabotase. Tim khusus akan menindaklanjuti, dan tidak ada yang kebal hukum.”

Di Sumberjati, warga menonton berita itu dengan sorak-sorai. Sekar berbisik pada Arga, “Tenda sederhana kita ternyata lebih kuat dari gedung megah mereka.”

Arga tersenyum tipis. “Karena tenda itu berdiri di atas kepercayaan, bukan kebohongan.”

Namun Maya mengingatkan, “Kita harus tetap waspada. Lawan yang terpojok bisa saja nekat. Tapi sekarang, publik ada di pihak kita. Itu kekuatan terbesar.”

Malam itu, lampu-lampu tenda masih menyala, menerangi wajah-wajah warga yang tersenyum lega. Pasar darurat itu bukan lagi sekadar solusi sementara — ia telah menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap sistem yang menindas.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience