Pagi itu, Arga dan Sekar kembali dari kota dengan wajah lelah tapi puas. Truk pendingin berhasil sampai, beras Sumberjati laku terjual, dan pembeli kota terlihat antusias. Bahkan, salah satu pemilik jaringan toko bahan organik langsung mengajak mereka duduk untuk membicarakan kontrak jangka panjang.
Tawaran itu menggiurkan: pembelian rutin setiap bulan, harga stabil, dan promosi produk di seluruh cabang mereka. Namun, ada syarat yang membuat Arga terdiam: semua produksi beras kemasan harus diprioritaskan untuk mereka, dan pengiriman harus memenuhi kuota tetap, tanpa boleh berkurang.
Sekar membaca dokumen itu dengan alis berkerut. “Kalau panen kita bagus, ini menguntungkan. Tapi kalau gagal panen atau ada masalah, kita bisa kena penalti besar.”
Saat kabar tawaran ini sampai ke desa, reaksi warga terbelah.
“Kalau kita ambil, kita punya pembeli tetap. Nggak perlu pusing cari pasar,” kata salah satu petani muda.
“Tapi kalau kita terikat, kita nggak bisa jual ke tempat lain. Kita jadi tergantung,” bantah yang lain.
Pak Darto menatap Arga serius. “Ga, ini mirip dengan perjanjian Rendra, hanya beda baju. Bedanya, ini langsung dari pembeli, bukan lewat perantara. Tapi risikonya sama: kita kehilangan kebebasan.”
Arga merasa terjepit. Ia tahu, kesempatan seperti ini jarang datang. Tapi ia juga tahu, jika salah langkah, desa bisa kembali terjebak dalam ketergantungan yang sulit dilepaskan.
Malam itu, ia duduk di beranda bersama Sekar. Angin malam membawa aroma padi yang mulai menguning.
“Kar,” kata Arga pelan, “aku ingin desa ini maju, tapi aku juga takut kita mengulang kesalahan yang sama. Bedanya, kali ini taruhannya lebih besar.”
Sekar menatapnya lama. “Kalau begitu, kita harus pastikan keputusan ini diambil bersama — dan semua orang siap menanggung akibatnya, apapun yang terjadi.”
Di kejauhan, suara jangkrik terdengar seperti detak waktu yang terus berjalan, mendekatkan mereka pada keputusan yang akan menentukan arah masa depan Sumberjati.
Balai desa sore itu penuh sesak. Udara terasa berat, bukan hanya karena panas, tapi juga karena ketegangan yang menggantung. Di meja depan, kepala desa membuka rapat dengan suara datar.
“Kita semua sudah tahu tawaran dari pembeli kota. Hari ini kita putuskan: terima atau tidak.”
Begitu pintu rapat ditutup, suara-suara langsung pecah.
“Kita harus terima! Ini kesempatan emas,” seru seorang petani muda yang dulu paling keras mengkritik Arga.
“Kesempatan emas atau jerat emas?” balas Pak Darto, yang kini menjadi salah satu pendukung setia Arga.
Perdebatan cepat memanas. Beberapa warga yang dulu menolak ide beras kemasan kini justru mendorong kontrak, sementara sebagian yang dulu ragu kini khawatir akan risiko ketergantungan.
“Kalau kita menolak, jangan salahkan siapa-siapa kalau panen kita nggak laku,” sindir seorang ibu paruh baya.
“Kalau kita terima, jangan menyesal kalau nanti kita nggak bisa jual ke tempat lain,” jawab yang lain.
Arga duduk di tengah, mendengarkan dengan rahang mengeras. Ia tahu, ini bukan lagi sekadar soal bisnis — ini sudah menyentuh harga diri dan hubungan antarwarga. Sekar yang duduk di sudut ruangan bisa melihat bagaimana tatapan beberapa orang ke Arga berubah menjadi penuh tantangan.
Ketika kepala desa memintanya bicara, Arga berdiri.
“Aku tidak akan memaksa. Tapi aku minta kita semua jujur pada diri sendiri: apakah kita mau maju dengan risiko, atau kita mau aman tapi terikat? Jangan sampai kita memilih hanya karena takut atau karena ingin cepat untung.”
Suasana hening sejenak, tapi kemudian suara-suara kembali pecah. Kali ini, nada mereka lebih keras, bahkan ada yang mulai saling menyalahkan. Kepala desa akhirnya memutuskan rapat ditunda dua hari, agar emosi mereda.
Saat warga bubar, Sekar menghampiri Arga. “Ga, dua hari ini akan menentukan. Kalau kamu nggak punya langkah yang bisa menyatukan mereka, keputusan nanti bisa berakhir bukan cuma soal kontrak… tapi juga soal kamu tetap diterima di desa ini atau tidak.”
Arga menatap jalan desa yang mulai gelap. Ia sadar, waktu yang tersisa bukan hanya untuk menyelamatkan usaha — tapi juga untuk menjaga agar desa ini tidak terbelah selamanya.
Dua hari sebelum rapat final, Arga meminta izin kepala desa untuk mengadakan “pertemuan makan bersama” di halaman balai desa. Bukan rapat resmi, melainkan acara santai di mana semua warga diundang — tanpa agenda tertulis, tanpa kursi berderet, hanya tikar panjang dan hidangan dari hasil panen masing-masing.
Sekar sempat ragu. “Ga, kalau ini gagal, kamu akan terlihat seperti orang yang mencoba cari simpati.”
Arga tersenyum tipis. “Bukan simpati yang aku cari. Aku mau mereka ingat lagi kenapa kita memulai ini.”
Sore itu, halaman balai desa dipenuhi aroma nasi liwet, sayur asem, ikan bakar, dan sambal terasi. Warga duduk melingkar, anak-anak berlarian, dan suasana yang biasanya tegang saat rapat berubah hangat.
Setelah semua mulai makan, Arga berdiri di tengah lingkaran.
“Kita semua di sini pernah berbeda pendapat. Ada yang setuju, ada yang menolak. Tapi sebelum ada kontrak, sebelum ada tawaran dari kota, kita memulai ini karena satu hal: kita ingin hasil panen kita dihargai. Kita ingin anak-anak kita bangga menyebut nama desa ini.”
Ia lalu menunjuk ke hidangan di depan mereka. “Lihat meja ini. Semua yang kita makan hari ini berasal dari tanah kita sendiri. Kita bisa berbagi tanpa kontrak, tanpa syarat. Pertanyaannya, apakah kita mau mempertahankan kebebasan ini, atau kita mau menyerahkannya demi rasa aman yang belum tentu selamanya?”
Suasana hening. Beberapa warga yang sebelumnya keras menentang mulai menunduk, sementara yang mendukung terlihat semakin mantap.
Pak Darto angkat bicara, suaranya berat tapi tegas. “Kalau kita mau maju, kita harus maju bersama. Kalau kita jatuh, kita jatuh bersama. Aku pilih kita tetap berdiri di kaki sendiri.”
Perlahan, beberapa warga lain mengangguk. Tidak semua setuju, tapi malam itu, untuk pertama kalinya sejak perdebatan dimulai, mereka duduk di satu lingkaran, makan dari piring yang sama, dan berbicara tanpa saling serang.
Sekar menatap Arga dari seberang lingkaran. Ia tahu, apapun hasil rapat nanti, malam ini Arga sudah memenangkan sesuatu yang lebih penting: ia membuat desa ini kembali merasa seperti satu keluarga.
Balai desa malam itu penuh sesak. Lampu neon berkelip, udara terasa panas meski jendela terbuka lebar. Semua warga hadir, duduk di kursi plastik atau berdiri di belakang. Di meja depan, kepala desa membuka rapat dengan suara tegas.
“Hari ini kita putuskan: menerima tawaran pembeli kota, atau menolak dan tetap berjalan sendiri.”
Suasana hening sejenak, lalu suara-suara mulai terdengar.
“Kalau kita terima, kita aman dari ancaman perusahaan besar,” ujar seorang petani muda.
“Tapi kalau gagal panen, kita bisa kena penalti. Itu sama saja menjerat leher sendiri,” balas Pak Darto.
Arga berdiri, menatap semua orang. “Aku tahu kita lelah berdebat. Tapi aku ingin kita ingat: usaha ini lahir dari keinginan kita untuk dihargai. Tawaran ini bisa jadi jalan pintas, tapi juga bisa jadi rantai. Kalau kita terima, pastikan kita siap menanggung semua risikonya bersama. Kalau kita tolak, kita harus siap bekerja lebih keras dan menghadapi ancaman dari luar.”
Sekar memperhatikan wajah-wajah di ruangan itu. Ada yang menunduk, ada yang menatap Arga dengan mata penuh keyakinan, dan ada pula yang masih ragu.
Kepala desa lalu mengangkat tangan. “Kita akan voting. Yang setuju menerima tawaran, angkat tangan.”
Beberapa tangan terangkat, jumlahnya cukup banyak.
“Yang menolak?”
Tangan-tangan lain terangkat, hampir sama banyaknya.
Suasana tegang. Kepala desa menghitung dengan hati-hati, lalu menghela napas. “Selisihnya tipis… tapi mayoritas memilih menolak tawaran. Kita akan tetap berjalan sendiri.”
Beberapa warga bersorak lega, tapi ada juga yang langsung keluar ruangan dengan wajah kesal. Arga menatap Sekar, dan Sekar membalas dengan senyum tipis — bukan senyum kemenangan, tapi senyum lega karena desa ini masih memegang kendali atas dirinya sendiri.
Namun, di dalam hati Arga tahu, keputusan ini bukan akhir dari masalah. Menolak tawaran berarti mereka harus siap menghadapi tekanan yang mungkin lebih keras dari sebelumnya. Dan ia sadar, mulai besok, perjuangan mereka baru benar-benar dimulai.
Share this novel