Completed
256
Musim panen di Karangjati tiba lebih awal dari Sumberjati. Truk-truk kecil mulai mengangkut gabah ke fasilitas pengeringan yang sudah disepakati. Tim kontrol kualitas dari Sumberjati, dipimpin Sekar, hadir sejak hari pertama untuk memastikan proses sesuai standar.
Awalnya, semua tampak baik. Gabah dari beberapa petani Karangjati kering merata, warnanya cerah, dan aromanya khas. Namun, di hari ketiga, tim menemukan tumpukan gabah yang masih lembap dan bercampur butiran patah. Setelah ditelusuri, ternyata gabah itu berasal dari lahan yang dipanen tergesa-gesa karena hujan deras diperkirakan turun.
Sekar mencatat temuan itu dan langsung melapor ke Arga. “Kalau kita masukkan ke penggilingan, kualitas beras akan turun. Tapi kalau kita tolak, pasokan untuk pengiriman minggu depan tidak akan cukup,” ujarnya.
Bu Ratna menimbang-nimbang. “Kalau kita tunda pengiriman, pembeli bisa kecewa. Tapi kalau kita kirim dengan kualitas turun, pelanggan akan kehilangan kepercayaan.”
Rapat darurat digelar di gudang Karangjati. Perwakilan petani Karangjati membela diri, “Kami tidak punya pilihan. Kalau menunggu cuaca cerah, gabah bisa rusak di sawah.”
Arga mencoba menenangkan, tapi ia tahu ini bukan sekadar soal cuaca — ini soal komitmen pada standar yang sudah mereka janjikan.
Akhirnya, keputusan diambil:
- Gabah yang tidak memenuhi standar akan disimpan terpisah dan dijual sebagai beras medium di pasar lokal, bukan untuk kemasan premium.
- Pengiriman ke pelanggan utama akan dikurangi volumenya, disertai penjelasan jujur bahwa ini demi menjaga kualitas.
- Koperasi akan membantu Karangjati mendapatkan terpal dan alat pengering tambahan agar panen berikutnya tidak tergesa-gesa.
Keputusan itu membuat beberapa anggota Karangjati kecewa, tapi juga memberi sinyal bahwa Sumberjati tidak akan mengorbankan reputasi demi memenuhi target angka.
Malamnya, Arga berdiri di depan tumpukan gabah yang ditolak, mendengar suara hujan mulai turun di atap seng. Ia sadar, menjaga kualitas berarti siap menanggung kerugian jangka pendek demi masa depan yang lebih panjang.
Pagi itu, Sekar menerima panggilan dari kantor pembeli utama di kota. Nada suara di ujung telepon terdengar dingin.
“Kami menghargai komitmen kualitas kalian,” kata manajer pembelian, “tapi ini sudah kedua kalinya volume pengiriman berkurang. Kalau tren ini berlanjut, kami harus mempertimbangkan pemasok lain.”
Sekar menutup telepon dengan wajah pucat. Ia langsung memanggil Arga dan Bu Ratna ke balai koperasi. “Kita sedang berjalan di garis tipis. Kalau kehilangan kontrak ini, arus kas kita akan terguncang,” ujarnya.
Belum sempat mereka menyusun strategi, kabar lain datang dari Karangjati. Pak Surya, kepala desa sekaligus koordinator mitra, mengirim pesan singkat: “Petani kami kecewa. Gabah yang ditolak sulit dijual di pasar lokal. Mereka merasa kerja sama ini merugikan.”
Arga menghela napas panjang. “Jadi sekarang kita ditekan dari dua sisi: pembeli utama minta volume stabil, Karangjati minta semua gabah mereka diterima.”
Rapat darurat digelar malam itu. Beberapa opsi muncul:
- Melonggarkan standar sementara untuk menjaga volume.
- Mencari pembeli tambahan khusus untuk gabah kualitas medium.
- Membantu Karangjati meningkatkan proses agar semua gabah lolos standar.
Mak Siti, yang duduk di barisan belakang, angkat bicara. “Kalau kita longgarkan standar, kita akan kehilangan kepercayaan. Kalau kita paksakan semua gabah diterima, kita akan kehilangan pelanggan. Pilihannya cuma satu: kerja lebih keras untuk menaikkan kualitas semua pasokan.”
Akhirnya, koperasi memutuskan langkah berani:
1. Mengirim tim pelatihan ke Karangjati untuk mengajarkan teknik panen dan pengeringan yang sesuai standar.
2. Menyewa gudang tambahan di perbatasan desa untuk menampung gabah medium, yang akan dijual ke pasar lokal dengan merek berbeda.
3. Menegosiasikan ulang kontrak dengan pembeli utama, menawarkan jadwal pengiriman yang lebih fleksibel tapi dengan jaminan kualitas.
Keputusan ini berarti biaya tambahan dan kerja lebih berat, tapi Arga tahu, mempertahankan dua jalur hubungan ini penting untuk masa depan koperasi.
Malam itu, ia berdiri di depan gudang baru yang masih kosong, membayangkan tumpukan gabah dari dua desa yang suatu hari bisa sama-sama layak menyandang nama Sumberjati.
Tim pelatihan dari Sumberjati tiba di Karangjati dengan membawa terpal baru, alat ukur kelembapan, dan panduan pengeringan yang sudah terbukti menjaga kualitas beras premium. Sekar memimpin sesi pertama di lumbung desa, menjelaskan langkah demi langkah proses yang diharapkan.
Sebagian petani menyimak dengan serius, mencatat, bahkan mencoba langsung mengukur kelembapan gabah mereka. Namun, di sudut ruangan, beberapa wajah terlihat sinis.
Pak Darto, petani senior Karangjati, akhirnya angkat bicara. “Kami sudah puluhan tahun menjemur di halaman rumah. Gabah kami laku, pembeli tidak pernah komplain. Kenapa sekarang harus ikut aturan orang luar?”
Beberapa mengangguk setuju. “Kalau semua harus sesuai standar Sumberjati, apa bedanya kami dengan buruh yang hanya ikut perintah?”
Sekar mencoba menjelaskan bahwa ini bukan soal merendahkan cara lama, tapi soal memenuhi janji kualitas yang sudah disepakati bersama. “Kalau satu karung saja kualitasnya turun, nama kita semua yang kena,” ujarnya.
Namun, resistensi itu nyata. Ada yang sengaja tidak hadir di sesi pelatihan berikutnya. Ada pula yang tetap menjemur di halaman rumah, lalu mengirim gabahnya ke gudang tanpa melalui pemeriksaan awal.
Bu Ratna mengusulkan pendekatan berbeda: mengajak petani yang sudah mencoba metode baru untuk berbagi pengalaman langsung. Maka, diadakan pertemuan kecil di rumah Pak Surya. Petani yang berhasil menjual gabahnya dengan harga lebih tinggi karena lolos standar bercerita bagaimana perubahan kecil di proses pengeringan membuat hasilnya lebih baik.
Cerita itu mulai melunakkan sebagian hati. Tapi Arga tahu, ini belum selesai. “Perubahan butuh waktu,” katanya pada Sekar saat perjalanan pulang. “Yang penting, kita tidak menyerah di tengah jalan.”
Di kejauhan, lampu-lampu rumah Karangjati mulai menyala. Arga membayangkan, jika kerja sama ini berhasil, cahaya itu akan menjadi bagian dari jaringan yang lebih besar — tapi jika gagal, bisa jadi padam sebelum sempat menyala terang.
Hari itu, truk pengangkut gabah dari Karangjati tiba di gudang Sumberjati lebih awal dari jadwal. Sekar dan tim kontrol kualitas langsung memeriksa muatan. Dari luar, karung-karung itu tampak rapi, tapi saat dibuka, bau apek langsung tercium. Butiran gabah terasa lembap, sebagian bahkan mulai berjamur.
Sekar menutup karung dengan wajah muram. “Ini tidak bisa diproses untuk beras premium. Kalau kita paksakan, seluruh batch bisa rusak,” ujarnya tegas.
Keputusan diambil di tempat: seluruh pengiriman ditolak. Truk diminta kembali ke Karangjati.
Kabar itu menyebar cepat. Sore harinya, di balai desa Karangjati, suasana memanas. Beberapa petani merasa dipermalukan.
“Kalau begini terus, lebih baik kami jual sendiri ke pasar. Tidak usah ikut aturan Sumberjati yang ribet!” seru Pak Darto.
Yang lain menimpali, “Kami sudah rugi ongkos kirim. Siapa yang mau ganti?”
Pak Surya mencoba menenangkan, tapi ketegangan sudah terlanjur tinggi. Sebagian petani yang sebelumnya ragu kini terang-terangan mengancam keluar dari kerja sama.
Malam itu, Arga dan Bu Ratna datang ke Karangjati untuk bertemu langsung. Arga berbicara di depan forum yang penuh emosi.
“Kami tidak menolak karena ingin merugikan kalian. Kami menolak karena ingin menjaga nama yang kita bangun bersama. Kalau satu kali saja kita kirim beras buruk, kepercayaan pembeli akan hilang, dan itu sulit kembali.”
Beberapa wajah mulai melunak, tapi tidak semua. Ada yang tetap bersikeras bahwa standar Sumberjati terlalu tinggi untuk kondisi mereka.
Akhirnya, disepakati langkah darurat:
- Gabah yang ditolak akan dibeli koperasi dengan harga gabah medium, untuk dijual di pasar lokal.
- Koperasi akan mengirim tim tambahan ke Karangjati selama masa panen untuk membantu proses pengeringan langsung di sawah.
- Kesepakatan kerja sama akan dievaluasi ulang setelah musim ini berakhir.
Saat perjalanan pulang, Bu Ratna berkata pelan, “Kalau musim ini gagal, Karangjati mungkin akan benar-benar keluar.”
Arga menatap jalan gelap di depan. Ia tahu, mempertahankan mitra sama sulitnya dengan mempertahankan pelanggan — dan keduanya sedang diuji pada saat yang bersamaan.
Share this novel