Completed
256
Dua hari setelah laporan resmi diajukan, dua penyidik dari Polres datang ke Sumberjati. Mereka memeriksa rekaman CCTV, mewawancarai saksi, dan mencatat detail kejadian di Pasar Terbuka. Sikap mereka profesional, tapi Arga bisa merasakan ada ketertarikan khusus pada identitas Samsul Rahman, pelaku yang tertangkap kamera.
Sore itu, salah satu penyidik, Pak Dedi, berbicara empat mata dengan Arga di teras balai desa.
> “Pak Arga, dari hasil penelusuran awal, Samsul bukan sekadar staf lapangan. Dia sering menerima instruksi langsung dari seorang pejabat di dinas perdagangan kabupaten. Nama itu… sudah lama kami dengar, tapi belum pernah ada bukti yang cukup.”
Arga terdiam. Nama yang disebut Pak Dedi adalah Pak Wibowo, kepala dinas perdagangan yang selama ini dikenal dekat dengan PT Graha Pangan Nusantara. Ia sering hadir di acara-acara perusahaan dan bahkan pernah memuji “kontribusi mereka terhadap stabilitas harga” di media.
Malamnya, Arga mengumpulkan tim inti. Maya menegaskan, “Kalau benar ada keterlibatan pejabat, kasus ini akan naik level. Tapi kita harus hati-hati — melawan perusahaan saja sudah berat, melawan jaringan yang punya akses ke kekuasaan akan jauh lebih rumit.”
Sekar menimpali, “Tapi ini juga kesempatan. Kalau kita bisa buktikan hubungan itu, publik akan melihat bahwa yang kita lawan bukan sekadar persaingan dagang, tapi sistem yang merugikan petani.”
Keputusan diambil: koperasi akan bekerja sama penuh dengan penyidik, sambil menyiapkan jalur publik untuk mengungkap keterlibatan pejabat jika penyelidikan resmi mulai melambat.
Di sisi lain, Rudi mulai menghubungi jurnalis investigasi yang punya rekam jejak membongkar kasus korupsi daerah. “Kalau kita mainkan ini dengan tepat,” katanya, “kita bisa memaksa mereka bereaksi sebelum mereka sempat menutup rapat-rapat pintu.”
Malam itu, di luar balai desa, hujan turun deras. Tapi di dalam, semua orang tahu badai yang sebenarnya baru saja mulai terbentuk — badai yang bisa membersihkan langit Sumberjati, atau justru merobohkan segalanya.
Sejak laporan sabotase dilayangkan, penyidik Polres menempatkan Samsul dalam pengawasan diam-diam. Dua anggota tim, Pak Dedi dan seorang rekan, mengikuti rutinitasnya selama beberapa hari. Awalnya, Samsul hanya terlihat beraktivitas biasa: mengawasi bongkar muat di gudang logistik, mengunjungi pasar, dan pulang ke rumah kontrakannya di pinggiran kota.
Namun pada malam ketiga, sesuatu berbeda. Samsul meninggalkan rumah dengan mobil sewaan, lalu berhenti di sebuah kafe kecil di tepi jalan raya yang sepi. Tak lama kemudian, dua pria lain datang — salah satunya langsung dikenali oleh Pak Dedi: Pak Wibowo, kepala dinas perdagangan kabupaten.
Dari jarak aman, penyidik memotret pertemuan itu. Mereka melihat ketiganya berbicara serius, sesekali menunduk sambil memeriksa dokumen di meja. Seorang pria berpakaian rapi yang duduk di samping Pak Wibowo kemudian diidentifikasi sebagai Rangga Prasetyo, manajer operasional PT Graha Pangan Nusantara untuk wilayah Jawa Barat.
Pertemuan berlangsung sekitar 40 menit. Di akhir, Samsul menerima sebuah amplop tebal dari Rangga, lalu menyelipkannya ke dalam tas. Setelah itu, mereka berpisah tanpa berjabat tangan — seolah sengaja menghindari kesan akrab.
Keesokan paginya, Pak Dedi datang ke Sumberjati membawa foto-foto hasil pengintaian. Arga, Sekar, dan Maya melihatnya dengan tatapan tegang.
> “Kalau ini kita gabungkan dengan bukti bocoran dokumen yang kita punya,” kata Maya, “maka rantai hubungan dari sabotase di lapangan sampai ke pejabat daerah dan eksekutif perusahaan akan lengkap.”
Namun, Pak Dedi mengingatkan, “Kami harus berhati-hati. Foto ini kuat, tapi untuk menjerat secara hukum, kami butuh bukti transaksi atau komunikasi yang jelas. Kalau kita gegabah, mereka bisa bilang ini hanya pertemuan biasa.”
Arga mengangguk. “Kita akan bantu cari bukti itu. Tapi mulai sekarang, kita tahu pasti siapa yang ada di balik semua ini.”
Di luar, langit sore mulai memerah. Di dalam balai desa, semua sadar bahwa permainan ini sudah menyentuh lapisan kekuasaan yang lebih tinggi — dan setiap langkah berikutnya harus diambil dengan presisi, atau mereka akan menjadi target serangan yang lebih besar.
Di ruang rapat balai desa yang lampunya diredupkan, Arga, Maya, Pak Dedi, dan tim inti duduk melingkar. Di tengah meja, ada sketsa rencana yang sudah disusun sejak malam sebelumnya: operasi umpan.
Idenya sederhana tapi berisiko tinggi: membuat seolah-olah koperasi Sumberjati sedang mencari “jalur distribusi alternatif” yang bisa mengganggu pasar milik PT Graha Pangan Nusantara. Informasi ini akan sengaja dibocorkan melalui orang yang diyakini punya koneksi ke Samsul. Harapannya, pihak lawan akan bereaksi — mungkin dengan menawarkan “kompensasi” agar Sumberjati mundur, atau bahkan mengirim orang untuk mengancam.
Maya menegaskan, “Kita tidak boleh memancing dengan kebohongan yang bisa dianggap fitnah. Kita hanya memberi kesan bahwa kita punya rencana ekspansi besar. Sisanya biar mereka yang mengambil langkah.”
Pak Dedi menambahkan, “Begitu ada pertemuan atau komunikasi yang mengarah ke suap atau ancaman, kami akan rekam dan amankan sebagai bukti. Tapi ingat, semua harus sesuai prosedur hukum.”
Rudi dan Laras bertugas mengatur “kebocoran” informasi itu. Mereka memilih jalur yang tidak terlalu mencolok: obrolan santai di warung kopi yang sering didatangi kurir logistik, dengan nada setengah berbisik tapi cukup terdengar.
Dua hari kemudian, hasilnya mulai terlihat. Seorang pria tak dikenal mendatangi salah satu pengurus koperasi di pasar, mengaku “utusan dari pihak yang peduli” dan menawarkan sejumlah uang agar rencana ekspansi itu dibatalkan. Pengurus itu, yang sudah dibekali alat perekam kecil, menanggapi dengan hati-hati sambil memastikan semua percakapan terekam.
Malamnya, rekaman itu diputar di balai desa. Suara pria itu jelas menyebut nama “Pak Wibowo” sebagai orang yang “tidak ingin Sumberjati bikin masalah di pasar”.
Pak Dedi tersenyum tipis. “Ini yang kita tunggu. Dengan ini, kita punya bukti langsung bahwa pejabat daerah terlibat dalam upaya menghalangi koperasi.”
Arga menghela napas panjang. “Kita sudah dekat. Tapi semakin dekat, semakin berbahaya. Kita harus siap kalau mereka memutuskan untuk menyerang habis-habisan.”
Di luar, angin malam membawa aroma tanah basah. Di dalam, semua sadar bahwa permainan ini hampir mencapai klimaks — dan sekali kartu ini dibuka, tidak akan ada jalan kembali.
Pagi itu, Maya dan Pak Dedi berangkat ke ibu kota provinsi dengan membawa salinan rekaman suara dan foto-foto pertemuan Samsul, Pak Wibowo, dan Rangga. Mereka langsung menuju kantor Kejaksaan Tinggi untuk menyerahkan bukti secara resmi, ditemani perwakilan Asosiasi Petani Mandiri Nusantara.
Di ruang tunggu, suasana tegang. Maya berulang kali memeriksa map dokumen, sementara Pak Dedi berbicara singkat lewat telepon dengan atasannya. Begitu dipanggil masuk, mereka disambut oleh Kepala Seksi Pidana Khusus yang langsung memutar rekaman itu. Ekspresinya berubah serius.
> “Kalau ini valid, kita bicara soal tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Kami akan koordinasi dengan KPK,” ujarnya singkat.
Sore harinya, berita tentang “laporan resmi dugaan kolusi pejabat daerah dan perusahaan beras” mulai muncul di media provinsi. Tak lama, media nasional ikut mengangkat, memicu gelombang komentar publik. Tagar #BongkarKartelBeras kembali naik, kali ini disertai tuntutan agar pemerintah pusat turun tangan.
Di sisi lain, di kantor PT Graha Pangan Nusantara, rapat darurat digelar. Sumber internal yang dihubungi Laras mengatakan suasana kacau: beberapa eksekutif saling menyalahkan, dan ada kabar bahwa Pak Wibowo mulai “mengambil jarak” dari perusahaan untuk menyelamatkan dirinya.
Di Sumberjati, Arga menerima telepon dari seorang pejabat provinsi yang sebelumnya tak pernah menghubungi mereka. Nada suaranya ramah, tapi jelas ada maksud di baliknya.
> “Pak Arga, saya sarankan Bapak tetap tenang. Situasi ini akan segera ditangani. Tidak perlu membuat pernyataan tambahan ke media.”
Arga menutup telepon itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, ketika pejabat mulai meminta “tenang”, artinya ada kekuatan besar yang sedang bergerak — entah untuk membersihkan masalah, atau justru menutupinya.
Malam itu, di balai desa, warga berkumpul lagi. Sekar membacakan berita terbaru, dan tepuk tangan bergema. Tapi Arga hanya menatap keluar jendela, memikirkan langkah berikutnya. Ia sadar, badai ini sudah membesar hingga ke tingkat provinsi, dan setiap langkah ke depan akan menentukan apakah Sumberjati akan diingat sebagai desa yang berhasil membongkar kartel… atau sebagai korban yang dilupakan begitu saja.
Share this novel