Pagi itu, halaman gudang timur kembali lengang. Terpal-terpal besar yang semalam dipenuhi gabah sudah dilipat rapi, mesin lama di gudang barat kembali sunyi. Panen awal berhasil diselamatkan, dan kualitasnya cukup baik untuk dijual ke pembeli yang sudah menunggu.
Warga tersenyum lega. Beberapa bahkan bercanda sambil mengangkut karung terakhir ke truk. Untuk sesaat, Sumberjati terasa seperti dulu lagi — satu desa, satu tujuan.
Namun, di rapat evaluasi sore harinya, suasana berubah.
Pak Rudi mengangkat tangan. “Kita memang berhasil kali ini, tapi jangan lupa, kita kerja sama karena terpaksa. Kalau tidak ada mesin macet, apa kita akan mau saling bantu?”
Seorang ibu dari kubu Bu Ratna menimpali, “Betul. Begitu keadaan normal, jangan sampai kita kembali ke saling curiga.”
Arga menatap semua yang hadir. “Kalau kita mau koperasi gabungan ini bertahan, kita harus punya alasan yang lebih kuat dari sekadar darurat. Kita perlu aturan kerja sama yang jelas, dan komitmen untuk menepatinya.”
Bu Ratna mengangguk. “Dan itu berarti kita harus siap berbagi, bukan hanya saat susah, tapi juga saat untung.”
Sekar mencatat semua masukan di papan tulis. Ia tahu, yang mereka hadapi sekarang bukan lagi soal alat atau stok, tapi soal membangun kebiasaan baru — kebiasaan percaya.
Malamnya, Arga berjalan melewati sawah yang mulai menghijau. Di kejauhan, lampu gudang barat dan timur sama-sama menyala. Ia bertanya-tanya, apakah cahaya itu akan terus menyala berdampingan… atau suatu hari kembali bersinar sendiri-sendiri.
Rapat penyusunan aturan permanen koperasi gabungan digelar di balai desa. Di papan tulis, Sekar menulis tiga poin besar: Pembagian Keuntungan, Pengelolaan Gudang, dan Sistem Rotasi Kepemimpinan.
Awalnya, pembahasan berjalan lancar. Semua setuju bahwa rotasi kepemimpinan enam bulan sekali akan tetap dipertahankan, dan gudang akan dikelola bersama dengan jadwal penggunaan yang diatur.
Masalah muncul saat masuk ke poin pembagian keuntungan.
Kubu Arga mengusulkan pembagian berdasarkan jumlah gabah yang disetor oleh masing-masing anggota. “Siapa yang setor lebih banyak, dapat bagian lebih besar. Itu adil,” kata Rian.
Namun, kubu Bu Ratna menolak. Mereka ingin pembagian berdasarkan jumlah anggota aktif di tiap kelompok, agar koperasi tetap bisa menopang petani kecil yang hasilnya tidak banyak. “Kalau semua dihitung dari jumlah setoran, petani kecil akan makin tertinggal,” ujar Bu Ratna.
Perdebatan memanas. Beberapa petani senior mengingatkan bahwa koperasi dibentuk untuk saling membantu, bukan sekadar mencari untung. Tapi petani muda yang baru bergabung merasa mereka berhak mendapat imbalan sesuai kerja keras masing-masing.
Sekar mencoba menengahi. “Bagaimana kalau kita gabungkan dua sistem? Sebagian keuntungan dibagi rata untuk semua anggota, sebagian lagi berdasarkan jumlah setoran.”
Usulan itu membuat ruangan sedikit tenang, tapi belum ada kata sepakat.
Rapat berakhir larut malam tanpa keputusan final. Wajah-wajah lelah keluar dari balai desa, sebagian masih berbisik-bisik, sebagian lagi diam saja.
Arga berdiri di teras, memandangi lampu-lampu yang mulai padam satu per satu. Ia sadar, masalah ini bukan sekadar soal angka — ini soal bagaimana mereka memandang arti kebersamaan. Dan itu, mungkin, lebih sulit disatukan daripada mesin yang macet.
Belum seminggu sejak rapat pembagian keuntungan berakhir tanpa keputusan, kabar mulai beredar bahwa ada pembeli baru dari luar kota yang tertarik masuk ke Sumberjati. Namanya Ibu Melati, pengusaha beras dari Cirebon yang dikenal lihai membaca situasi pasar.
Ia datang tanpa banyak formalitas, hanya ditemani satu sopir dan membawa beberapa contoh kemasan beras premium. Di warung kopi dekat pasar, ia mengundang perwakilan dari kedua kubu — Arga, Bu Ratna, dan beberapa anggota koperasi gabungan.
“Saya dengar kalian sedang bingung soal pembagian keuntungan,” katanya sambil tersenyum ramah. “Kalau bekerja sama dengan saya, kalian tidak perlu pusing. Saya akan membeli gabah dari setiap petani langsung, dengan harga yang sama per kilo, tanpa melihat besar kecilnya setoran. Semua dibayar tunai.”
Sekilas, tawaran itu terdengar seperti solusi yang adil. Petani kecil tidak akan merasa tertinggal, petani besar tetap mendapat bayaran sesuai hasil panen mereka. Tapi Sekar yang ikut hadir langsung menangkap celahnya.
“Kalau semua dijual langsung ke Ibu, koperasi gabungan kita akan kehilangan fungsi. Kita kembali ke sistem lama, di mana pembeli besar mengatur harga,” ujarnya hati-hati.
Ibu Melati tersenyum tipis. “Saya tidak memaksa. Saya hanya memberi pilihan. Kalau koperasi kalian belum siap jalan, kenapa harus memaksa diri?”
Setelah ia pergi, suasana di meja menjadi berat. Beberapa anggota mulai berbisik bahwa tawaran itu lebih praktis daripada terus berdebat soal aturan. Yang lain khawatir ini hanya cara halus untuk memecah belah lagi.
Arga menatap Bu Ratna. “Kalau kita tidak segera sepakat soal pembagian keuntungan, tawaran seperti ini akan terus datang… dan suatu saat, mungkin ada yang tergoda.”
Bu Ratna mengangguk pelan. “Kita harus putuskan cepat, sebelum koperasi ini hanya tinggal nama.”
Di luar, matahari sore memantulkan cahaya ke hamparan padi yang mulai menguning. Musim panen sebentar lagi tiba — dan dengan itu, keputusan yang akan menentukan apakah Sumberjati tetap bersatu, atau kembali terpecah seperti dulu.
Balai desa malam itu dipenuhi suara kipas angin tua yang berdecit. Di meja panjang, tumpukan kertas berisi simulasi pembagian keuntungan berserakan. Arga duduk di ujung kiri, Bu Ratna di ujung kanan, Sekar di tengah sebagai moderator.
“Tidak ada yang pulang sebelum kita sepakat,” kata Arga membuka rapat. “Panen sudah di depan mata. Kalau kita masih bimbang, pembeli luar akan masuk lagi.”
Awalnya, diskusi berjalan terarah. Angka-angka dibahas, skema dibandingkan. Tapi ketika pembahasan menyentuh kontribusi modal awal koperasi gabungan, nada suara mulai meninggi.
Seorang anggota kubu Arga mengingatkan bahwa sebagian besar dana awal berasal dari koperasi mereka. “Jadi wajar kalau pembagian keuntungan lebih condong ke kami,” ujarnya.
Seorang petani senior dari kubu Bu Ratna langsung menanggapi, “Kalau bicara modal, jangan lupa siapa yang menyumbang gudang barat. Tanpa itu, panen kemarin sudah busuk semua.”
Sekar mencoba menenangkan, tapi percakapan mulai bergeser ke masa lalu: siapa yang dulu memicu perpecahan, siapa yang memutus kontrak pertama kali, siapa yang “menikung” pembeli. Luka lama yang selama ini hanya dibicarakan di belakang kini meledak di ruang rapat.
Pak Lurah yang duduk di sudut akhirnya angkat bicara. “Kalau kita terus mengungkit masa lalu, kita tidak akan pernah maju. Saya usul kita istirahat sebentar, tarik napas, lalu kembali fokus ke angka.”
Setelah jeda singkat, rapat dilanjutkan dengan kepala sedikit lebih dingin. Akhirnya, menjelang pukul dua dini hari, mereka mencapai kompromi:
- 40% keuntungan dibagi rata untuk semua anggota.
- 60% sisanya dibagi sesuai jumlah setoran gabah.
Keputusan itu disahkan dengan catatan: aturan ini akan dievaluasi setiap akhir musim panen.
Saat semua orang pulang, Arga dan Bu Ratna saling bertukar pandang. Tidak ada senyum lebar, hanya anggukan singkat — tanda bahwa mereka sama-sama lelah, tapi setidaknya satu batu besar sudah dipindahkan dari jalan.
Di luar, udara dini hari terasa dingin. Sekar berjalan di belakang mereka sambil berpikir, Mungkin ini bukan akhir dari masalah… tapi setidaknya, malam ini kita memilih untuk tetap duduk di meja yang sama.
Share this novel