Malam itu, Arga dan Bu Ratna sepakat untuk tidak langsung menolak atau menerima tawaran Tuan Surya. Mereka ingin menguji seberapa serius dan “bersih” niat konsorsium pangan itu.
Keesokan harinya, mereka mengundang Tuan Surya kembali ke balai desa. Kali ini, Arga yang berbicara lebih dulu.
“Kami menghargai tawaran Bapak. Tapi kalau kami menyerahkan seluruh hasil panen, kami ingin ada jaminan tertulis:
1. Harga beli tidak boleh turun selama lima tahun.
2. Pengelolaan koperasi tetap di tangan warga, tim Bapak hanya sebagai pendamping.
3. Sebagian keuntungan dari penjualan digunakan untuk membangun fasilitas desa.”
Tuan Surya mendengarkan sambil tersenyum tipis. Ia menutup mapnya perlahan, lalu berkata, “Syarat-syarat ini… menarik. Tapi jujur saja, tidak sesuai dengan model kerja kami. Kami butuh kendali penuh untuk memastikan efisiensi. Dan soal harga lima tahun, itu terlalu lama. Pasar berubah cepat.”
Bu Ratna menatapnya tajam. “Kalau begitu, apa sebenarnya tujuan Bapak?”
Tuan Surya menghela napas, lalu berkata dengan nada yang lebih dingin, “Kami tidak hanya ingin membeli beras. Kami ingin mengintegrasikan Sumberjati ke dalam rantai pasok nasional kami. Itu berarti semua proses — dari tanam sampai distribusi — mengikuti standar dan jadwal kami. Desa ini akan menjadi bagian dari sistem yang lebih besar.”
Sekar yang sejak tadi diam, langsung menangkap maksudnya. “Artinya, kami akan kehilangan kebebasan menentukan cara bertani, harga, bahkan kepada siapa kami menjual.”
Tuan Surya tidak membantah. “Tapi sebagai gantinya, kalian akan mendapat kepastian pasar dan modal yang stabil. Tidak ada lagi drama dua koperasi, tidak ada lagi perang harga.”
Setelah ia pergi, suasana di balai desa hening. Arga memandang Bu Ratna.
“Kalau kita terima, kita aman… tapi bukan lagi milik kita sendiri.”
Bu Ratna mengangguk pelan. “Kalau kita tolak, kita harus siap menghadapi musim tanam dengan risiko yang sama seperti kemarin — atau lebih buruk.”
Di luar, angin sore membawa aroma tanah basah. Pilihan yang ada di depan mereka bukan sekadar soal bisnis, tapi soal masa depan desa — apakah akan tetap berdiri di atas kaki sendiri, atau menjadi bagian dari mesin besar yang tak bisa mereka kendalikan.
Arga dan Bu Ratna sepakat: keputusan soal tawaran Tuan Surya terlalu besar untuk diputuskan hanya oleh pengurus. Seluruh warga harus dilibatkan. Maka, diumumkanlah rapat desa terbuka di balai desa pada malam Jumat.
Sejak sore, kursi-kursi sudah dipenuhi. Lampu-lampu gantung menyinari wajah-wajah tegang. Di depan, papan tulis besar memuat dua kolom: Terima Tawaran dan Tolak Tawaran.
Arga membuka rapat dengan suara mantap. “Kita dihadapkan pada dua pilihan. Terima tawaran konsorsium, kita dapat kepastian harga dan pasar, tapi sebagian kendali akan lepas dari tangan kita. Tolak tawaran, kita tetap mandiri, tapi harus siap menghadapi risiko pasar sendirian.”
Bu Ratna menambahkan, “Tidak ada pilihan yang sempurna. Karena itu, malam ini kita putuskan bersama.”
Awalnya, beberapa warga berbicara bergantian dengan tenang. Ada yang menekankan pentingnya kemandirian, ada yang mengingatkan betapa sulitnya mencari pembeli besar. Namun, suasana mulai memanas ketika Pak Rudi berdiri.
“Mandiri itu bagus, tapi apa gunanya kalau kita lapar? Tahun lalu kita rugi besar. Tahun depan bisa lebih parah!” serunya.
Seorang pemuda dari kubu Arga langsung membalas, “Kalau kita serahkan semua ke mereka, kita bukan lagi petani bebas, tapi buruh di tanah sendiri!”
Sorak dan teriakan mulai terdengar. Beberapa orang berdiri, menunjuk-nunjuk, suara meninggi. Sekar mencoba menenangkan, tapi gelombang emosi sudah terlanjur naik. Kursi bergeser, beberapa orang saling dorong.
Pak Lurah yang duduk di tengah akhirnya berdiri dan mengetuk meja keras-keras. “Cukup! Kalau kita mau memutuskan dengan kepala panas, hasilnya hanya akan memecah kita lebih dalam.”
Setelah suasana sedikit reda, diputuskan voting akan dilakukan minggu depan, memberi waktu bagi warga untuk merenung dan berdiskusi tanpa tekanan.
Malam itu, Arga berjalan pulang melewati jalan desa yang sepi. Di kepalanya, ia tahu satu hal: apa pun hasil voting nanti, Sumberjati tidak akan lagi sama seperti dulu.
Seminggu menjelang voting, suasana Sumberjati terasa seperti air yang tenang di permukaan tapi berarus deras di bawahnya. Secara resmi, warga diminta menimbang pilihan dengan kepala dingin. Namun, di lapangan, bisik-bisik mulai terdengar di warung, di pinggir sawah, bahkan di acara pengajian malam.
Beberapa warga mengaku didatangi orang tak dikenal yang menawarkan “bantuan modal” untuk musim tanam berikutnya — dengan syarat mereka memilih menerima tawaran konsorsium. Bantuan itu berupa uang tunai atau pupuk gratis, dibungkus seolah-olah sebagai “sumbangan pribadi”.
Sekar mendengar kabar ini dari seorang ibu yang gelisah. “Saya takut, Mbak… kalau saya tolak, nanti mereka marah. Tapi kalau saya terima, rasanya seperti menjual suara,” katanya lirih.
Di sisi lain, Arga mendapat laporan bahwa ada juga pihak yang menyebarkan selebaran anonim berisi cerita-cerita buruk tentang perusahaan besar yang diduga terkait konsorsium. Beberapa cerita mungkin benar, tapi sebagian jelas dilebih-lebihkan untuk menakut-nakuti.
Bu Ratna, yang awalnya ragu, mulai merasa situasi ini berbahaya. “Kalau warga memilih karena takut atau karena iming-iming, hasil voting nanti tidak akan mencerminkan kehendak sebenarnya,” ujarnya saat rapat kecil dengan Arga dan Sekar.
Mereka bertiga memutuskan untuk mengadakan forum terbuka terakhir sebelum voting, di mana warga bisa bertanya langsung dan semua informasi harus dibuka di depan umum. Tapi mereka sadar, forum itu bisa menjadi ajang adu argumen yang lebih panas daripada rapat sebelumnya.
Malam itu, Arga berdiri di beranda, memandangi lampu-lampu rumah yang berkelip di kejauhan. Ia tahu, yang sedang mereka hadapi bukan sekadar perbedaan pendapat — tapi perang senyap untuk merebut hati dan pikiran warga, sebelum satu suara pun dijatuhkan di kotak kayu minggu depan.
Balai desa malam itu penuh sesak. Lampu-lampu gantung berayun pelan, memantulkan cahaya ke wajah-wajah tegang yang duduk berderet. Di depan, Arga dan Bu Ratna duduk berdampingan, sementara Sekar berdiri di tengah, memegang daftar pertanyaan warga.
Forum dimulai dengan tanya jawab biasa: soal harga, soal kontrak, soal risiko. Beberapa warga menyampaikan kekhawatiran mereka dengan nada hati-hati, yang lain berbicara lantang.
Namun, suasana berubah ketika Pak Saman — petani tua yang jarang bicara di rapat — mengangkat tangan. Suaranya serak, tapi cukup keras untuk terdengar di seluruh ruangan.
“Saya mau bicara… bukan soal harga, tapi soal apa yang terjadi minggu lalu,” katanya.
Semua mata tertuju padanya. Pak Saman menarik napas panjang.
“Minggu lalu, ada orang datang ke rumah saya. Dia bilang dari pihak konsorsium. Dia kasih saya uang, bilang ini ‘bantuan pupuk’. Tapi dia juga bilang, kalau saya mau terus dapat bantuan, saya harus pilih setuju di voting nanti.”
Ruangan langsung riuh. Beberapa warga saling berbisik, yang lain menatap kaget.
Pak Saman melanjutkan, “Saya terima uangnya… tapi malam itu saya tidak bisa tidur. Rasanya seperti saya menjual suara saya. Hari ini, saya kembalikan uang itu lewat kepala dusun.”
Arga menatap Sekar, yang wajahnya menegang. Bu Ratna pun terlihat terkejut — meski ia cepat menunduk, entah menyembunyikan rasa marah atau kecewa.
Seorang ibu di barisan belakang berdiri. “Kalau begitu, bukan cuma saya yang didatangi,” katanya. “Saya juga dapat tawaran, tapi saya diam saja karena takut.”
Pengakuan-pengakuan lain mulai bermunculan. Dalam waktu singkat, forum berubah menjadi ajang curhat warga yang merasa diintimidasi atau diiming-imingi.
Pak Lurah akhirnya berdiri, suaranya tegas. “Kalau ini benar, berarti keputusan kita sedang coba dibeli. Dan itu tidak bisa kita biarkan.”
Malam itu, forum tidak menghasilkan kesepakatan soal menerima atau menolak tawaran. Tapi satu hal jelas: warga kini tahu bahwa ada permainan di balik layar, dan itu membuat banyak orang mulai mempertanyakan niat sebenarnya pihak luar.
Arga pulang dengan langkah berat, tapi di dalam hatinya ada sedikit rasa lega — kebenaran mulai keluar, meski lewat jalan yang berliku.
Share this novel