bab 33

Drama Completed 256

Sejak pengiriman gabah Karangjati ditolak total, koperasi Sumberjati mengirim tim tambahan untuk membantu proses panen dan pengeringan langsung di lapangan. Tim ini membawa alat ukur kelembapan, terpal baru, dan jadwal kerja yang ketat.

Hari pertama, mereka langsung turun ke sawah, memeriksa cara petani memotong padi, mengatur penjemuran, bahkan memberi saran posisi terpal agar angin lebih merata.

Bagi sebagian petani, bantuan ini disambut baik. “Lumayan, ada yang bantu angkat-angkat karung,” kata seorang bapak sambil tertawa. Tapi bagi yang lain, kehadiran tim terasa seperti pengawasan berlebihan.

Pak Darto, yang sejak awal skeptis, mulai menggerutu. “Kami ini bukan anak sekolah. Masa setiap langkah harus diawasi? Kalau begini, lebih baik kami kerja sendiri.”
Bisik-bisik mulai terdengar di sudut sawah: ada yang bilang Sumberjati sengaja mencari-cari kesalahan, ada pula yang menuduh mereka ingin menguasai lahan Karangjati pelan-pelan.

Sekar mencoba meredakan ketegangan dengan mengajak ngobrol santai di sela istirahat. Ia bercerita bagaimana dulu di Sumberjati pun banyak yang menolak perubahan, sampai mereka merasakan sendiri manfaatnya. Beberapa petani mulai luluh, tapi sebagian tetap menjaga jarak.

Puncaknya terjadi saat salah satu anggota tim Sumberjati memindahkan tumpukan gabah yang dianggap terlalu lembap tanpa izin pemiliknya. Pemilik lahan marah besar, merasa dipermalukan di depan tetangga. Suasana hampir memanas, untung Pak Surya cepat menengahi.

Malam itu, Arga dan Bu Ratna duduk di beranda rumah Pak Surya, membicarakan situasi.
“Kalau kita terlalu keras, mereka akan mundur. Tapi kalau kita terlalu longgar, kualitas tidak akan naik,” kata Bu Ratna.
Arga menatap gelapnya sawah Karangjati. “Kita harus cari cara agar mereka merasa ini kerja sama, bukan pengawasan. Kalau tidak, musim ini bisa jadi yang terakhir.”

Setelah melihat ketegangan yang muncul akibat kehadiran tim tambahan, Arga sadar mereka butuh cara yang membuat petani Karangjati merasa dihargai, bukan diawasi. Di rapat bersama Pak Surya, ia mengusulkan ide lomba kualitas gabah antar kelompok tani.

“Bukan sekadar lomba,” jelas Arga, “tapi ajang untuk menunjukkan siapa yang bisa menghasilkan gabah terbaik. Hadiahnya cukup besar, dan pemenang akan mendapat kontrak harga premium untuk satu musim penuh.”

Pak Surya setuju, asalkan lomba ini terbuka dan transparan. Maka diumumkanlah Lomba Gabah Emas Karangjati. Setiap kelompok tani boleh mendaftar, gabah akan dinilai berdasarkan tiga kriteria: kelembapan, kebersihan, dan keseragaman butir.

Hari penilaian tiba. Lapangan desa dipenuhi karung-karung gabah yang disusun rapi. Tim juri terdiri dari perwakilan Sumberjati, Karangjati, dan seorang ahli pascapanen dari dinas pertanian.

Suasana berubah hangat. Petani yang sebelumnya enggan mengikuti standar kini sibuk memastikan terpal mereka bersih, gabah dijemur merata, dan karung diberi label kelompok. Bahkan Pak Darto, yang paling keras menolak perubahan, terlihat serius memeriksa kelembapan gabahnya dengan alat pinjaman dari tim Sumberjati.

Saat pengumuman pemenang, kejutan terjadi: kelompok tani yang sebelumnya skeptis justru meraih juara kedua, hanya selisih tipis dari juara pertama. Wajah mereka berseri-seri, dan Pak Darto — meski tak mengaku — terlihat bangga.

Hadiah uang tunai dan kontrak harga premium langsung diserahkan di panggung kecil. Sorak-sorai warga membuat suasana seperti pesta panen.

Malamnya, di beranda rumah Pak Surya, Arga berkata pada Bu Ratna, “Kadang, perubahan tidak datang dari aturan… tapi dari rasa ingin membuktikan diri.”
Bu Ratna tersenyum. “Kalau begitu, kita harus siap membuat tantangan baru setiap musim.”

Di kejauhan, suara jangkrik bercampur tawa warga yang masih merayakan kemenangan. Untuk pertama kalinya sejak kerja sama dimulai, Karangjati dan Sumberjati terasa benar-benar berjalan seiring.

Kabar tentang Lomba Gabah Emas Karangjati cepat menyebar ke desa-desa sekitar. Foto-foto pemenang dengan sertifikat dan hadiah uang tunai beredar di media sosial, bahkan diliput oleh radio lokal.

Tak lama, dua desa lain — Sukamaju dan Ciparay — menghubungi koperasi Sumberjati. Mereka ingin ikut menjadi pemasok, dengan harapan bisa mendapatkan harga premium dan pelatihan yang sama.

Bagi Arga, ini peluang besar: semakin banyak pemasok, semakin stabil pasokan beras premium, dan semakin kuat posisi Sumberjati di pasar. Namun, Sekar mengingatkan, “Kalau kita tidak hati-hati, ini bisa jadi bumerang. Desa-desa ini bisa saling bersaing, bahkan saling menjatuhkan, demi jadi pemasok utama.”

Rapat pengurus memutuskan untuk mencoba model jaringan mitra:
- Setiap desa mitra akan mendapat pelatihan dan standar kualitas yang sama.
- Akan ada kompetisi tahunan antar desa untuk menentukan siapa yang mendapat kontrak volume terbesar.
- Semua beras premium tetap dijual di bawah merek Sumberjati, dengan catatan asal desa dicantumkan kecil di label belakang.

Awalnya, semua berjalan lancar. Pelatihan dimulai, dan desa-desa mitra tampak antusias. Namun, tanda-tanda gesekan mulai muncul:
- Petani Karangjati merasa tersaingi karena desa baru mendapat perhatian yang sama, padahal mereka merasa “lebih dulu berjuang”.
- Sukamaju mulai mempromosikan beras mereka sendiri di media sosial, meski masih dalam kemasan Sumberjati, dengan menonjolkan nama desa mereka.
- Ciparay mengeluh bahwa standar kelembapan terlalu ketat untuk kondisi iklim mereka, dan meminta kelonggaran.

Bu Ratna melihat pola yang mengkhawatirkan. “Kalau kita biarkan, ini akan jadi perlombaan ego, bukan kualitas.”
Arga mengangguk. “Kita harus pastikan semua merasa bagian dari satu keluarga, bukan lawan di arena.”

Malam itu, ia menatap peta desa-desa mitra yang terbentang di meja. Jaringan ini bisa menjadi kekuatan besar… atau medan perang yang memecah belah semua yang sudah mereka bangun.

Lapangan besar di Sumberjati dipenuhi tenda dan meja panjang. Hari itu, Kompetisi Kualitas Gabah Antar Desa pertama resmi digelar. Perwakilan dari Sumberjati, Karangjati, Sukamaju, dan Ciparay hadir dengan karung-karung gabah terbaik mereka.

Suasana awalnya meriah. Musik dangdut dari pengeras suara, aroma gorengan dari warung tenda, dan tawa warga membuat acara terasa seperti pesta panen. Tim juri — gabungan dari koperasi, dinas pertanian, dan perwakilan netral — mulai memeriksa kelembapan, kebersihan, dan keseragaman butir.

Namun, di tengah proses penilaian, seorang anggota tim juri dari dinas pertanian memanggil Sekar dengan wajah serius.
“Ini aneh,” katanya sambil menunjuk satu karung dari desa Sukamaju. “Varietasnya berbeda dari yang mereka daftarkan. Ini bukan padi lokal mereka.”

Sekar memeriksa lebih dekat. Bentuk butirnya memang lebih panjang dan warnanya lebih cerah — ciri khas varietas unggul dari luar daerah. Jika benar, berarti ada desa yang membawa gabah dari luar untuk ikut lomba, melanggar aturan utama kompetisi.

Kabar itu cepat menyebar di antara peserta. Perwakilan Karangjati langsung bereaksi, “Kalau ini dibiarkan, percuma kita jaga kualitas sendiri!”
Warga Sukamaju membantah keras. “Itu hasil sawah kami sendiri, jangan fitnah!”

Ketegangan memuncak. Beberapa orang mulai berdebat keras di dekat tenda penilaian. Arga segera naik ke panggung kecil, meminta semua pihak tenang.
“Kita akan hentikan penilaian sementara. Sampel gabah yang dipermasalahkan akan diuji di laboratorium dinas untuk memastikan asal varietasnya,” ujarnya tegas.

Keputusan itu membuat sebagian peserta kecewa, tapi juga mencegah keributan semakin besar. Kompetisi ditunda sehari, menunggu hasil uji.

Malamnya, Arga duduk di balai desa yang sepi, memandangi daftar nilai yang belum lengkap. Ia sadar, insiden ini bukan hanya soal lomba — tapi soal kepercayaan antar desa yang rapuh. Jika tidak ditangani hati-hati, jaringan pemasok yang mereka bangun bisa runtuh sebelum sempat menguat.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience