Sejak pertemuan dengan Pak Herman, suasana di kedua koperasi semakin panas. Di gudang Arga, beberapa anggota mulai gelisah.
“Kalau kita tidak segera jual, beras ini bisa turun kualitasnya,” kata Rian sambil menunjuk tumpukan karung. “Harga sedikit turun masih lebih baik daripada rugi total.”
Di sisi lain, Bu Ratna menghadapi desakan serupa. Anggota koperasinya yang sudah menunggu pembayaran panen mulai resah. Beberapa bahkan mengancam akan menjual stok mereka secara individu ke pembeli kecil, meski harganya jauh di bawah pasar.
Sekar mengatur pertemuan darurat antara Arga dan Bu Ratna di balai desa. Wajah keduanya tegang.
“Kita tidak punya banyak waktu,” kata Bu Ratna. “Kalau kita menolak tawaran Pak Herman, kita harus siap stok menumpuk dan uang petani tertahan.”
Arga menghela napas. “Tapi kalau kita terima harga di bawah standar, kita memberi sinyal bahwa kita bisa ditekan. Tahun depan, mereka akan tawar lebih rendah lagi.”
Suasana hening beberapa saat. Di luar, suara anak-anak bermain terdengar samar, kontras dengan beratnya keputusan di dalam ruangan.
Akhirnya, Sekar angkat bicara. “Bagaimana kalau kita bagi stok? Setengah kita jual ke Pak Herman dengan harga yang dia mau, setengah lagi kita simpan untuk mencari pembeli lain. Kita dapat uang cepat untuk bayar petani, tapi tetap punya peluang harga lebih baik.”
Arga dan Bu Ratna saling pandang. Usulan itu bukan solusi sempurna, tapi mungkin satu-satunya jalan untuk meredakan tekanan dari dua kubu sekaligus.
Mereka sepakat mencoba. Namun, keduanya tahu, langkah ini seperti berjalan di atas tali: sedikit saja salah perhitungan, mereka bisa jatuh — dan kali ini, tidak ada jaring pengaman di bawah.
Awalnya, rencana membagi stok berjalan mulus. Setengah dari gabah sudah terjual ke Pak Herman, dan uangnya digunakan untuk membayar sebagian petani. Sisanya disimpan di dua gudang besar — satu milik koperasi Arga, satu lagi milik koperasi Bu Ratna — sambil menunggu pembeli yang mau membayar harga lebih tinggi.
Namun, dua minggu kemudian, kabar buruk datang dari gudang barat milik koperasi Bu Ratna. Rian, yang kebetulan mengantar karung kosong ke sana, melihat butiran gabah berjatuhan dari celah karung. Saat dibuka, isinya bergerak — ratusan kutu beras merayap di antara bulir.
Bu Ratna langsung memanggil Arga untuk melihat sendiri. Wajahnya pucat.
“Kalau ini menyebar, kita bisa kehilangan seluruh stok simpanan,” katanya.
Pemeriksaan cepat menunjukkan tanda-tanda hama juga mulai muncul di gudang timur milik koperasi Arga, meski belum separah di gudang barat. Penyebabnya kemungkinan kelembapan tinggi akibat hujan deras beberapa hari terakhir, ditambah sirkulasi udara yang buruk.
Sekar mengusulkan dua pilihan:
1. Segera jual semua stok yang tersisa ke pembeli mana pun yang mau, meski harganya di bawah standar.
2. Lakukan fumigasi darurat untuk membasmi hama, tapi itu butuh biaya besar dan waktu — dengan risiko pembeli kabur karena menunggu terlalu lama.
Arga menatap Bu Ratna. “Kalau kita jual cepat, kita selamatkan sebagian nilai, tapi kita kalah di harga. Kalau kita fumigasi, kita bisa dapat harga lebih baik… kalau stoknya masih layak.”
Bu Ratna menghela napas panjang. “Ini taruhan yang bisa membuat kita bangkit… atau jatuh bersama.”
Di luar, hujan mulai turun lagi, menetes di atap seng gudang. Waktu mereka semakin sedikit, dan setiap jam yang lewat berarti hama itu menyebar lebih jauh.
Pagi itu, gudang timur dan barat sama-sama dipenuhi aroma apek yang menusuk. Kutu beras mulai terlihat di beberapa karung, dan waktu terasa semakin menekan.
Arga memanggil rapat darurat bersama Bu Ratna, Sekar, dan perwakilan kedua koperasi.
“Kita tidak bisa menunggu pembeli baru. Kalau hama menyebar, semua stok akan rusak,” kata Arga tegas.
Bu Ratna mengangguk. “Kita jual sekarang, ke siapa pun yang mau, meski harganya di bawah standar. Setidaknya petani dapat uang, dan kita tidak rugi total.”
Keputusan itu diambil dalam hitungan jam. Truk-truk kecil mulai berdatangan, mengangkut karung-karung beras ke pembeli lokal dan pedagang grosir yang biasanya hanya membeli sisa panen. Harga yang mereka tawarkan memang jauh di bawah harapan, tapi uang tunai langsung berpindah tangan.
Namun, tak semua anggota menerima keputusan ini.
Di gudang Arga, seorang petani muda bernama Jaka membanting topi capingnya ke lantai.
“Kita sudah kerja keras, lalu dijual murah begitu saja? Kenapa tidak dari awal saja kita jual ke pembeli kecil, tanpa ribut-ribut?”
Di sisi lain, beberapa anggota koperasi Bu Ratna menuduh Arga sengaja menunda penjualan agar harga jatuh, sehingga ia bisa “menyelamatkan” koperasinya sendiri.
Sekar mencoba menenangkan suasana, tapi jelas keputusan ini meninggalkan rasa pahit. Uang memang masuk, tapi rasa percaya yang sudah rapuh kini semakin retak.
Malam itu, Arga duduk di beranda, memandangi sisa karung yang belum terjual.
“Kita selamatkan stok, tapi kehilangan hati sebagian orang,” katanya lirih.
Sekar menatapnya. “Kadang, Ga… dalam badai, kita hanya bisa memilih perahu yang tidak karam. Tapi setelah itu, kita harus siap membangun lagi dari papan yang tersisa.”
Di kejauhan, suara truk terakhir menghilang di tikungan. Desa ini masih berdiri, tapi pondasinya terasa goyah — dan Arga tahu, badai berikutnya bisa datang kapan saja.
Beberapa hari setelah stok terakhir terjual murah, suasana di desa masih muram. Petani memang sudah menerima sebagian uang, tapi jumlahnya jauh dari yang diharapkan. Banyak yang mulai mengurangi belanja, menunda perbaikan rumah, bahkan ada yang menjual ternak untuk menutup kebutuhan.
Di tengah situasi itu, datanglah seorang pria berpenampilan rapi bernama Tuan Surya. Ia mengaku mewakili sebuah “konsorsium pangan nasional” yang ingin membantu Sumberjati bangkit.
“Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir soal harga atau pembeli. Kami siap membeli seluruh hasil panen berikutnya dengan harga tetap, berapa pun kondisi pasar,” katanya di balai desa, suaranya tenang dan meyakinkan.
Tawaran itu terdengar seperti hujan di musim kemarau. Beberapa warga langsung berbisik-bisik, membayangkan kepastian pendapatan tanpa harus pusing mencari pembeli.
Namun, Sekar yang duduk di sudut ruangan memperhatikan detail kecil: logo di map yang dibawa Tuan Surya mirip dengan salah satu anak perusahaan korporasi besar yang dulu pernah mencoba masuk ke desa.
Ia menatap Arga, memberi isyarat halus.
Arga lalu bertanya, “Kalau kami setuju, apa syaratnya?”
Tuan Surya tersenyum. “Sederhana. Semua hasil panen harus dijual hanya kepada kami. Dan untuk mempermudah, koperasi akan kami kelola bersama tim kami — agar lebih profesional.”
Kalimat itu membuat Arga merasakan dingin di punggungnya. Ia tahu, “dikelola bersama” berarti kendali perlahan akan berpindah ke tangan mereka.
Bu Ratna, yang duduk di sisi lain, tampak ragu. Ia juga mengingat bagaimana perusahaan besar dulu hampir memecah desa.
Setelah pertemuan bubar, Arga, Bu Ratna, dan Sekar bertemu diam-diam di teras rumah Sekar.
“Kalau kita tolak, kita harus siap menghadapi musim tanam tanpa jaminan pembeli,” kata Bu Ratna.
“Kalau kita terima, kita menyerahkan kunci rumah kita pada orang asing,” balas Arga.
Hujan rintik mulai turun, membasahi tanah yang baru saja ditanami bibit padi. Mereka bertiga tahu, keputusan ini akan menentukan apakah Sumberjati akan kembali bangkit dengan kakinya sendiri… atau berdiri di atas tanah yang sudah digadaikan.
Share this novel