Dua hari setelah festival, Arga menerima undangan dari sebuah perusahaan distribusi pangan berbasis di Yogyakarta. Mereka tertarik menjadikan beras Sumberjati sebagai produk unggulan dalam jaringan toko bahan makanan sehat mereka.
Arga dan Sekar berangkat ke Yogyakarta, kali ini dengan kepala tegak. Mereka disambut hangat, dan presentasi berjalan lancar. Di akhir pertemuan, direktur perusahaan menyodorkan draft kontrak kerja sama.
“Kami akan bantu branding, kemasan, dan distribusi. Kami juga bisa bantu akses ke supermarket besar. Tapi ada satu syarat,” katanya sambil menunjuk bagian bawah dokumen.
Syarat itu berbunyi:
“Seluruh proses produksi harus mengikuti standar kami, termasuk penggunaan pupuk dan sistem tanam yang telah disetujui oleh tim teknis kami.”
Sekar langsung membaca ulang bagian itu. “Artinya, kita harus ubah cara tanam. Padahal, kekuatan kita justru di metode tradisional dan keberlanjutan.”
Arga bertanya, “Kalau kami tetap pakai metode kami?”
Direktur itu tersenyum tipis. “Kami tidak bisa menjamin distribusi nasional. Pasar besar butuh konsistensi dan efisiensi.”
Dalam perjalanan pulang, Arga dan Sekar duduk di warung kopi kecil di pinggir jalan.
“Ga, ini bisa jadi jalan pintas menuju pasar besar,” kata Sekar pelan.
“Tapi kalau kita ambil, kita bukan lagi Sumberjati yang kemarin. Kita jadi bagian dari sistem yang dulu kita lawan,” jawab Arga.
Sesampainya di desa, mereka mengumpulkan warga. Arga menjelaskan tawaran itu, lengkap dengan keuntungan dan risikonya.
“Kalau kita terima, kita bisa tumbuh cepat. Tapi kita harus ubah cara tanam, cara kerja, bahkan cara kita memandang tanah ini.”
Pak Darto berdiri. “Tanah ini bukan cuma tempat menanam. Ini tempat kita hidup. Kalau kita ubah semuanya demi pasar, kita kehilangan jati diri.”
Voting dilakukan malam itu. Hasilnya: mayoritas warga memilih menolak tawaran tersebut. Mereka memilih tetap bertumbuh perlahan, tapi dengan cara mereka sendiri.
Arga menatap hasil voting itu dengan campuran lega dan gentar. “Kita memilih jalan yang lebih panjang. Tapi ini jalan kita.”
Sekar tersenyum. “Dan kalau kita bisa sampai tujuan dengan cara kita sendiri, itu akan jadi kemenangan yang sesungguhnya.”
Setelah menolak tawaran dari perusahaan distribusi besar, Arga dan warga memutuskan untuk membentuk Koperasi Pangan Sumberjati. Ide ini sederhana: semua hasil panen dikumpulkan di gudang desa, lalu koperasi yang mengatur penjualan dan pengiriman langsung ke pembeli.
Awalnya, semangat warga tinggi. Beberapa pemuda belajar mengemudi truk kecil yang dibeli dari hasil patungan, ibu-ibu mengatur jadwal pengemasan, dan Sekar membuat sistem pencatatan stok sederhana di buku besar.
Namun, masalah mulai muncul begitu pengiriman pertama ke luar pulau dilakukan.
- Biaya logistik membengkak karena ongkos kapal dan bongkar muat lebih mahal dari perkiraan.
- Keterlambatan pengiriman membuat satu pembeli mengancam membatalkan kontrak.
- Perbedaan pendapat muncul di rapat koperasi: sebagian ingin menaikkan harga untuk menutup biaya, sebagian lagi takut pembeli kabur.
Suatu malam, Arga dipanggil ke rumah Pak Darto. Di sana sudah ada beberapa petani senior.
“Ga, kita ini petani, bukan pengusaha besar. Kalau terus begini, kita bisa rugi sebelum panen berikutnya,” kata Pak Darto.
Seorang bapak lain menimpali, “Mungkin kita harus kembali ke cara lama, jual ke tengkulak saja. Setidaknya uangnya cepat.”
Arga terdiam. Ia tahu kekhawatiran mereka masuk akal, tapi kembali ke tengkulak berarti mengulang lingkaran yang dulu mereka lawan.
Sekar yang ikut hadir berkata pelan, “Kalau kita menyerah sekarang, semua perjuangan kemarin sia-sia. Kita harus cari cara menutup biaya tanpa mengorbankan prinsip.”
Keesokan harinya, Arga mengumpulkan pengurus koperasi. Ia mengusulkan langkah darurat:
1. Menggabungkan pengiriman untuk beberapa pembeli sekaligus agar ongkos lebih efisien.
2. Membuka penjualan ritel online untuk konsumen individu di kota besar, dengan harga sedikit lebih tinggi.
3. Mengajak komunitas pangan yang pernah datang ke festival untuk menjadi agen distribusi sukarela.
Rencana itu disetujui, tapi semua sadar ini hanya solusi sementara. Jalan mandiri yang mereka pilih memang memberi kebebasan, tapi juga menuntut ketahanan yang lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan.
Di malam yang sunyi, Arga duduk di beranda, memandang sawah yang menghitam di bawah cahaya bulan. Ia tahu, badai belum lewat — tapi ia juga tahu, mereka sudah terlalu jauh untuk kembali.
Pengiriman perdana ke luar pulau akhirnya berangkat. Dua truk kecil membawa puluhan karung beras menuju pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, untuk dikirim ke pembeli di Lombok dan Makassar. Arga dan dua pemuda desa ikut mengawal sampai dermaga, memastikan semua proses berjalan lancar.
Awalnya, semuanya tampak baik. Karung-karung diturunkan dari truk dan disusun di area tunggu kapal. Namun, saat petugas pelabuhan memeriksa, mereka menemukan beberapa karung di bagian bawah tumpukan robek, isinya tumpah ke lantai.
Petugas mencatat kejadian itu dan langsung menghubungi pembeli. Kabar buruknya: foto-foto karung robek itu sudah dikirim ke pihak pembeli sebelum Arga sempat menjelaskan.
“Kalau kualitas kemasan seperti ini, kami khawatir beras akan rusak di perjalanan,” ujar perwakilan pembeli lewat telepon, suaranya terdengar dingin.
Arga memeriksa karung-karung itu. Jahitannya terlihat seperti sengaja dilemahkan di satu sisi. Ia menatap pemuda yang ikut bersamanya. “Ini bukan kecelakaan biasa.”
Pemuda itu mengangguk pelan. “Aku lihat ada orang asing mondar-mandir di dekat tumpukan tadi, tapi aku kira dia pekerja pelabuhan.”
Sekar yang menerima kabar di desa langsung mengumpulkan warga. “Kalau pembeli membatalkan kontrak karena ini, kita bisa kehilangan kepercayaan pasar luar pulau sebelum sempat berkembang.”
Arga memutuskan untuk bertindak cepat. Ia membeli karung baru di Surabaya, memindahkan beras yang tumpah, dan mengirim foto proses perbaikan ke pembeli sebagai bukti keseriusan mereka. Ia juga menawarkan potongan harga untuk pengiriman pertama sebagai bentuk tanggung jawab.
Malam itu, di penginapan murah dekat pelabuhan, Arga duduk menatap layar ponsel, menunggu balasan. Pesan dari pembeli akhirnya masuk:
“Kami akan terima pengiriman ini. Tapi kalau kejadian seperti ini terulang, kerja sama selesai.”
Arga menghela napas panjang. Ia tahu mereka baru saja lolos dari bencana reputasi — tapi juga sadar, ada pihak yang sengaja mengincar titik terlemah mereka: distribusi.
Sejak insiden karung robek di pelabuhan, Arga tidak bisa tenang. Ia merasa, jika tidak menemukan pelakunya, kejadian serupa akan terus berulang dan perlahan menghancurkan reputasi Sumberjati.
Ia memulai dengan menanyakan kronologi detail kepada dua pemuda yang ikut mengawal pengiriman. Salah satunya, Rian, mengaku melihat seorang pria asing berkemeja lusuh mondar-mandir di dekat tumpukan karung sebelum pemeriksaan.
“Aku kira dia pekerja pelabuhan, Ga. Tapi pas aku tanya, dia cuma senyum dan pergi,” kata Rian.
Arga lalu menghubungi seorang kenalan lama di Surabaya yang bekerja di administrasi pelabuhan. Dari rekaman CCTV, terlihat jelas pria itu membuka salah satu karung dan mengutak-atik jahitannya. Namun yang membuat Arga terkejut adalah saat kenalannya memperbesar gambar wajahnya — pria itu adalah mantan sopir truk yang dulu pernah bekerja untuk koperasi mereka, dan keluar dengan marah setelah dipecat karena ketahuan menjual beras ke tengkulak secara diam-diam.
Lebih mengejutkan lagi, dari catatan pelabuhan, pria itu datang bersama rombongan logistik milik… salah satu warga Sumberjati sendiri.
Sekar yang mendengar laporan itu langsung terdiam. “Jadi… ada orang dalam yang membantu mereka?”
Arga mengangguk berat. “Sepertinya begitu. Dan kalau benar, ini bukan sekadar sabotase dari luar. Ini pengkhianatan.”
Malam itu, Arga memanggil rapat kecil dengan pengurus koperasi. Ia tidak langsung menyebut nama, tapi memperingatkan bahwa ada kebocoran informasi dan akses dari dalam.
“Kita harus perketat semua jalur distribusi. Mulai sekarang, hanya orang yang kita percaya penuh yang boleh ikut mengawal pengiriman,” tegasnya.
Namun, di sudut ruangan, seorang anggota koperasi terlihat gelisah, menghindari tatapan Arga. Sekar memperhatikannya, dan dalam hati ia tahu — menemukan kebenaran mungkin akan memecah desa lebih dalam daripada serangan perusahaan besar sekalipun.
Share this novel