bab 31

Drama Completed 256

Sejak kunjungan Pak Adrian dari PT Nusantara Grain, suasana Sumberjati berubah. Beberapa anggota koperasi menerima telepon dari pihak luar — ada yang menawarkan bantuan modal, ada yang menjanjikan pelatihan ekspor, bahkan ada yang menyebut nama pejabat kabupaten yang “mendukung penuh” kerja sama itu.

Di balai desa, Arga menerima kunjungan dari seorang staf dinas perdagangan. “Kalau koperasi kalian bisa ekspor, nama desa akan naik. Kami bisa bantu urus izin dan promosi,” katanya.
Bu Ratna mengangguk sopan, tapi hatinya gelisah. Ia tahu, dukungan seperti ini sering datang dengan harapan tersembunyi.

Sementara itu, di warung kopi, beberapa petani mulai terbuka menyatakan dukungan. “Kalau kita bisa ekspor, anak-anak kita bisa kerja di gudang, bukan cuma di sawah,” kata seorang bapak muda.
Yang lain mulai bertanya, “Kenapa kita harus mempertahankan merek Sumberjati? Toh yang penting uang masuk.”

Sekar mencatat perubahan sikap ini dengan cemas. Ia tahu, jika suara mayoritas mulai condong ke arah pragmatisme, idealisme koperasi bisa runtuh pelan-pelan.

Arga dan Bu Ratna memutuskan menggelar musyawarah terbuka di lapangan desa. Semua warga diundang, bukan hanya anggota koperasi. Di panggung sederhana, mereka memaparkan tawaran PT Nusantara Grain, lengkap dengan untung-ruginya.

Lalu, mereka membuka sesi tanya jawab.
Seorang pemuda bertanya, “Kalau kita ekspor, apakah kita masih bisa jual beras ke tetangga sendiri?”
Seorang ibu bertanya, “Kalau merek kita hilang, apakah anak-anak kita tahu bahwa beras itu dari tanah kita?”

Di tengah diskusi, Mak Siti maju ke depan. Ia membawa sekarung beras kemasan Sumberjati dan berkata, “Saya tidak tahu soal ekspor. Tapi saya tahu rasa beras ini. Saya tahu tangan siapa yang menanamnya. Kalau kita hilangkan nama ini, kita hilangkan jejak kita.”

Tepuk tangan pelan terdengar. Tidak semua setuju, tapi kata-kata itu menggugah.

Akhirnya, koperasi memutuskan:
- Menolak tawaran PT Nusantara Grain dalam bentuk yang menghapus merek Sumberjati.
- Membuka negosiasi ulang dengan syarat: ekspor boleh dilakukan, tapi merek dan kendali tetap milik koperasi.

Pak Adrian menerima kabar itu dengan wajah datar. “Kami akan pertimbangkan ulang,” katanya singkat.

Malam itu, Arga duduk di gudang, menatap kemasan beras yang masih bertuliskan “Sumberjati”. Ia tahu, keputusan ini mungkin membuat mereka kehilangan peluang besar — tapi juga menjaga sesuatu yang lebih penting: hak untuk menentukan arah sendiri.

Setelah menolak tawaran PT Nusantara Grain, koperasi Sumberjati memutuskan untuk mengambil langkah berani: membangun jalur distribusi sendiri ke kota-kota besar. Target pertama adalah Bandung dan Jakarta, dua pasar yang dianggap potensial untuk beras premium kemasan mereka.

Sekar memimpin tim pemasaran, dibantu anak-anak muda desa yang sudah terbiasa berjualan online. Mereka menyewa truk kecil untuk mengirim langsung ke beberapa toko bahan pangan dan pasar modern.

Awalnya, respon cukup positif. Pemilik toko menyukai cerita di balik merek Sumberjati dan kualitas berasnya. Namun, masalah mulai muncul:
- Persaingan harga: di pasar kota, beras premium dari daerah lain dijual lebih murah karena dipasok dalam jumlah besar oleh tengkulak lama.
- Biaya logistik: ongkos kirim dan sewa gudang sementara di kota memakan sebagian besar keuntungan.
- Gangguan di lapangan: dua kali truk pengiriman mereka tertahan di jalan oleh oknum yang mengaku “mengatur distribusi beras” di wilayah tertentu.

Bu Ratna mencurigai ini ulah jaringan tengkulak lama yang merasa wilayahnya “diganggu”. “Mereka tidak akan tinggal diam kalau kita masuk ke pasar mereka,” ujarnya di rapat pengurus.

Arga menatap peta distribusi di meja. “Kalau kita mundur sekarang, semua usaha ini sia-sia. Tapi kalau kita maju tanpa strategi, kita bisa habis di tengah jalan.”

Sekar mengusulkan langkah taktis:
1. Menguatkan penjualan online langsung ke konsumen akhir, memotong jalur distribusi yang dikuasai tengkulak.
2. Membentuk kemitraan dengan koperasi kota untuk berbagi gudang dan jaringan toko.
3. Mengadakan promosi di media sosial dengan menonjolkan cerita petani dan proses alami, bukan sekadar harga.

Sementara itu, kabar tentang “gangguan” di jalan mulai menyebar di desa. Beberapa anggota khawatir, tapi yang lain justru merasa ini bukti bahwa koperasi mulai diperhitungkan.

Malam itu, Arga berdiri di depan gudang, memandangi truk yang siap berangkat ke Bandung. Ia tahu, perjalanan ini bukan hanya soal mengirim beras — tapi juga menguji seberapa jauh Sumberjati berani melangkah keluar dari bayang-bayang tengkulak.

Hanya dalam dua bulan sejak koperasi Sumberjati fokus menjual langsung ke konsumen lewat toko online dan media sosial, pesanan beras kemasan melonjak tajam. Video-video pendek tentang proses panen, penggilingan, dan kisah para petani mendapat ribuan tayangan. Bahkan ada pelanggan dari luar pulau yang rela membayar ongkos kirim tinggi demi mencoba “beras asli Sumberjati”.

Awalnya, semua terasa seperti kemenangan besar. Kas koperasi sehat, anggota mulai merasakan tambahan pendapatan, dan semangat gotong royong kembali menguat.

Namun, masalah baru segera muncul:
- Stok menipis lebih cepat dari perkiraan, bahkan sebelum musim panen berikutnya tiba.
- Proses pengemasan kewalahan karena kapasitas mesin terbatas.
- Kualitas mulai terancam karena sebagian gabah dipanen lebih awal demi memenuhi permintaan.

Sekar mengingatkan di rapat, “Kalau kita memaksa panen sebelum waktunya, kualitas turun. Pelanggan mungkin kecewa, dan itu bisa merusak reputasi yang baru kita bangun.”

Bu Ratna mengusulkan solusi jangka pendek: bekerja sama dengan dua desa tetangga yang punya varietas padi serupa, tapi tetap memberi label “Campuran Sumberjati” agar transparan.
Arga ragu. “Kalau kita mulai mencampur, meski jujur di label, apakah pelanggan akan tetap percaya?”

Di sisi lain, beberapa anggota muda melihat peluang untuk meningkatkan harga demi mengendalikan permintaan. Tapi langkah itu berisiko membuat pelanggan baru mundur.

Akhirnya, koperasi memutuskan tiga langkah darurat:
1. Membatasi jumlah pembelian per konsumen untuk sementara.
2. Mempercepat perbaikan dan penambahan mesin pengemasan.
3. Menjalin komunikasi terbuka dengan pelanggan, menjelaskan bahwa pembatasan ini demi menjaga kualitas.

Langkah ini membuat sebagian pelanggan kecewa, tapi banyak yang justru menghargai kejujuran koperasi.

Malam itu, Arga berdiri di tepi sawah yang masih hijau, memikirkan ironi yang mereka hadapi: dulu mereka berjuang keras mencari pembeli, sekarang mereka berjuang keras menahan pembeli agar tidak kecewa. Ia sadar, tantangan terbesar bukan hanya mencapai sukses… tapi mempertahankannya tanpa kehilangan jati diri.

Arga, Bu Ratna, dan Sekar berangkat pagi-pagi ke Desa Karangjati, salah satu desa tetangga yang terkenal dengan varietas padi mirip Sumberjati. Mereka disambut oleh Kepala Desa Karangjati, Pak Surya, di balai desa yang sederhana tapi rapi.

Tujuan pertemuan jelas: membicarakan kemungkinan pasokan gabah dari Karangjati untuk membantu memenuhi permintaan beras kemasan Sumberjati yang sedang melonjak.

Awalnya, suasana hangat. Pak Surya memuji keberhasilan Sumberjati membangun merek sendiri. “Kami juga ingin seperti itu suatu hari,” katanya sambil tersenyum.

Namun, ketika pembicaraan masuk ke detail, perbedaan mulai muncul:
- Harga: Karangjati meminta harga beli gabah lebih tinggi dari harga pasar, dengan alasan kualitas mereka setara premium.
- Label: Mereka ingin nama Karangjati juga tercantum di kemasan, bukan hanya sebagai “Campuran Sumberjati”.
- Proses: Karangjati terbiasa menjemur gabah di halaman rumah, sementara Sumberjati sudah menerapkan pengeringan terukur di lantai jemur khusus.

Sekar mencoba menjelaskan pentingnya standar kualitas yang konsisten. “Kalau ada perbedaan rasa atau warna, pelanggan akan langsung tahu. Kita harus punya proses yang sama.”
Tapi salah satu petani Karangjati menanggapi, “Kami sudah puluhan tahun menjemur seperti ini, dan pembeli kami tidak pernah komplain.”

Negosiasi berlangsung berjam-jam. Setiap kali satu masalah hampir selesai dibahas, masalah lain muncul. Bahkan sempat ada jeda tegang ketika perwakilan Karangjati merasa Sumberjati terlalu “mengatur” cara kerja mereka.

Akhirnya, sebelum matahari terbenam, mereka sepakat untuk uji coba kerja sama selama satu musim panen:
- Karangjati akan memasok sebagian gabah dengan harga yang disepakati di tengah.
- Proses pengeringan akan mengikuti standar Sumberjati, tapi dilakukan di fasilitas Karangjati dengan pendampingan tim kontrol kualitas.
- Kemasan akan mencantumkan label kecil “Beras Sumberjati – Mitra Karangjati” di bagian belakang.

Saat perjalanan pulang, Bu Ratna berkata pelan, “Kalau uji coba ini berhasil, kita bisa punya mitra jangka panjang. Tapi kalau gagal… bisa-bisa malah menambah lawan.”
Arga mengangguk, menatap sawah yang mulai menguning di kejauhan. Ia tahu, kerja sama ini seperti menanam padi di tanah baru — butuh kesabaran, dan hasilnya belum tentu sesuai harapan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience