Completed
256
Keesokan paginya, Sekar menerima amplop resmi dari dinas pertanian. Ia membukanya di ruang rapat koperasi, di hadapan Arga, Bu Ratna, dan perwakilan desa mitra.
Hasil uji jelas: sampel gabah dari Sukamaju memang berasal dari varietas unggul luar daerah, bukan varietas lokal yang mereka daftarkan. Tidak ada keraguan — aturan lomba telah dilanggar.
Suasana ruangan langsung tegang. Perwakilan Karangjati dan Ciparay saling berbisik, sebagian dengan nada sinis. Perwakilan Sukamaju, Pak Herman, berdiri dengan wajah memerah.
“Itu memang varietas luar, tapi kami tanam sendiri di lahan kami. Tidak ada aturan yang melarang menanam varietas lain,” ujarnya.
Sekar menatapnya lekat. “Aturannya jelas: yang dinilai adalah varietas lokal yang didaftarkan. Kalau varietasnya berbeda, penilaian jadi tidak adil.”
Pak Herman membalas dengan nada tinggi, “Kami hanya ingin menang. Kalau kualitasnya lebih baik, kenapa harus dipermasalahkan?”
Arga tahu, jika mereka langsung mendiskualifikasi Sukamaju, hubungan bisa retak permanen. Tapi jika dibiarkan, desa lain akan merasa aturan tidak berarti.
Setelah diskusi panjang, koperasi memutuskan:
- Sukamaju tidak akan dihitung sebagai pemenang tahun ini, tapi tetap diizinkan menjadi pemasok dengan syarat mengikuti varietas yang disepakati untuk kompetisi berikutnya.
- Aturan lomba akan diperjelas secara tertulis, termasuk soal varietas dan proses penanaman.
- Semua desa akan diberi kesempatan mencoba varietas unggul di lahan percobaan bersama, agar inovasi tetap berjalan tanpa merusak keadilan.
Keputusan itu membuat sebagian pihak puas, sebagian lagi kecewa. Pak Herman menerima dengan wajah kaku, tapi tidak keluar dari kerja sama.
Malamnya, Arga duduk di teras balai desa, memikirkan betapa rapuhnya kepercayaan dalam jaringan ini. Satu langkah salah bisa memecah belah, tapi satu langkah bijak bisa membuat semua pihak tetap berjalan bersama — meski dengan hati yang belum sepenuhnya tenang.
Lahan percobaan seluas setengah hektar dibuka di tepi Sumberjati, tak jauh dari sungai kecil yang airnya jernih. Di sana, tim koperasi menanam tiga varietas unggul yang direkomendasikan dinas pertanian, termasuk varietas yang sempat memicu kontroversi di Sukamaju.
Musim tanam berjalan lancar. Petani yang terlibat kagum melihat pertumbuhan padi yang lebih seragam, batangnya kokoh, dan malainya padat. Saat panen tiba, hasilnya mencengangkan:
- Produktivitas naik hampir 20% dibanding varietas lokal.
- Bentuk butir lebih panjang dan mengilap.
- Rasa tetap pulen, meski aromanya sedikit berbeda dari beras Sumberjati asli.
Sekar mencatat semua data, lalu menggelar uji rasa terbuka di balai desa. Warga dan pembeli lokal diminta mencicipi nasi dari varietas unggul dan varietas lokal tanpa diberi tahu mana yang mana. Hasilnya mengejutkan: sebagian besar memilih nasi dari varietas unggul karena teksturnya lebih lembut.
Di rapat pengurus, perdebatan pun pecah.
Bu Ratna berkata, “Kalau kita pakai varietas ini, kualitas naik, harga bisa lebih tinggi, dan pasokan lebih stabil.”
Namun, Mak Siti menggeleng. “Kalau kita tinggalkan varietas lokal, kita tinggalkan cerita kita. Orang beli Sumberjati bukan hanya karena rasa, tapi karena sejarahnya.”
Arga terdiam lama. Ia tahu, keputusan ini bukan sekadar soal bisnis — ini soal identitas. Mengadopsi varietas unggul berarti mengubah wajah Sumberjati selamanya. Tapi menolak berarti melewatkan peluang besar untuk bersaing di pasar yang semakin ketat.
Akhirnya, diputuskan langkah kompromi:
- Varietas unggul akan ditanam di lahan khusus dan dijual dengan label berbeda, sebagai “Beras Premium Sumberjati Seri Unggul”.
- Varietas lokal tetap menjadi produk utama dengan cerita dan identitas yang dipertahankan.
- Hasil penjualan varietas unggul sebagian akan digunakan untuk melestarikan dan mengembangkan varietas lokal.
Keputusan itu disambut lega oleh sebagian, tapi juga meninggalkan rasa was-was. Arga menatap hamparan padi di lahan percobaan yang mulai menguning. Ia sadar, benih yang mereka tanam bukan hanya padi — tapi juga benih perubahan yang suatu hari bisa tumbuh lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Peluncuran “Beras Premium Sumberjati – Seri Unggul” dilakukan sederhana namun meriah di balai desa. Media lokal hadir, pembeli dari kota datang langsung untuk mencoba, dan pesanan online melonjak hanya dalam hitungan hari.
Di pasar kota, kemasan Seri Unggul dengan butir panjang mengilap dan label emas cepat menjadi primadona. Beberapa toko bahkan mulai memajang Seri Unggul di rak depan, sementara beras varietas lokal Sumberjati ditempatkan di rak belakang.
Awalnya, koperasi menganggap ini wajar — produk baru memang sedang naik daun. Namun, Sekar mulai mencatat pola yang mengkhawatirkan:
- Penjualan varietas lokal stagnan, bahkan menurun di beberapa titik distribusi.
- Pembeli baru yang datang ke desa hampir selalu menanyakan Seri Unggul, jarang yang mencari varietas asli.
- Beberapa petani mulai bertanya apakah mereka boleh menanam varietas unggul saja, karena harganya lebih tinggi dan lebih cepat laku.
Di rapat pengurus, Bu Ratna mengingatkan, “Kalau tren ini terus, lima tahun lagi varietas lokal bisa hilang. Kita akan kehilangan identitas yang kita bangun sejak awal.”
Arga mengangguk, tapi juga melihat sisi lain. “Seri Unggul memberi kita modal untuk bertahan dan berkembang. Tanpa itu, kita mungkin sudah kalah di pasar.”
Mak Siti, yang jarang bicara panjang, kali ini angkat suara. “Kalau kita biarkan uang menentukan semua, kita akan jadi seperti desa lain yang kehilangan nama. Kita harus buat orang tetap bangga dengan beras asli kita.”
Akhirnya, koperasi memutuskan langkah penyeimbang:
1. Mengadakan Festival Beras Lokal setiap tahun, dengan promosi besar-besaran dan diskon khusus.
2. Memasukkan cerita sejarah dan foto petani di kemasan varietas lokal, menonjolkan nilai budaya dan asal-usulnya.
3. Membatasi luas lahan untuk varietas unggul agar varietas lokal tetap punya ruang tumbuh.
Langkah ini belum tentu menghentikan pergeseran selera pasar, tapi setidaknya memberi perlawanan.
Malam itu, Arga berjalan melewati gudang, melihat tumpukan karung Seri Unggul yang siap dikirim, dan di sudut lain, tumpukan beras lokal yang menunggu pembeli. Ia sadar, menjaga keseimbangan ini akan jadi ujian terberat koperasi — bukan melawan tengkulak atau cuaca, tapi melawan arus pasar yang pelan-pelan mengubah pilihan orang.
Festival Beras Lokal Sumberjati digelar di lapangan desa yang dihias meriah. Tenda-tenda berjejer, menampilkan berbagai olahan beras lokal: dari lontong sayur, kue lapis, hingga minuman beras kencur. Musik gamelan berpadu dengan aroma masakan yang menguar di udara.
Acara ini bukan hanya untuk warga desa, tapi juga dihadiri pembeli dari kota, perwakilan dinas, dan beberapa jurnalis lokal. Arga berharap festival ini bisa mengangkat kembali citra varietas lokal yang mulai tersisih oleh Seri Unggul.
Namun, kejadian tak terduga terjadi saat lomba masak nasi khas Sumberjati. Salah satu peserta, seorang ibu paruh baya bernama Bu Lilis, memasak nasi liwet menggunakan beras lokal yang baru dipanen. Aroma harum menyebar ke seluruh area festival, membuat pengunjung berkerumun.
Seorang jurnalis kuliner dari media nasional yang kebetulan hadir mencicipi dan langsung terkesima. Ia menulis ulasan singkat di media sosial:
> “Nasi liwet Sumberjati ini mengingatkan saya pada masa kecil. Pulen, wangi, dan punya rasa yang tak bisa ditiru varietas modern.”
Unggahan itu viral dalam hitungan jam. Foto Bu Lilis dengan panci liwetnya tersebar luas, dan tagar #BerasLokalSumberjati mulai trending. Keesokan harinya, media nasional datang untuk meliput festival dan mewawancarai para petani.
Dampaknya langsung terasa:
- Pesanan beras lokal melonjak, bahkan dari pembeli yang sebelumnya hanya membeli Seri Unggul.
- Beberapa restoran di kota besar menghubungi koperasi untuk memesan beras lokal sebagai menu spesial.
- Petani yang sempat ragu menanam varietas lokal mulai melihat peluang baru.
Malam itu, Arga duduk di panggung yang sudah sepi, memandangi sisa-sisa festival. Ia tersenyum kecil. Ternyata, yang mengembalikan perhatian pada beras lokal bukan strategi pemasaran rumit, melainkan rasa dan cerita yang tulus.
Share this novel