bab 6

Drama Series 49

Sudah hampir dua bulan Arga tinggal di desa. Warga mulai terbiasa melihatnya ikut kerja bakti, membantu di sawah, bahkan ikut rapat RT. Sekar mulai merasa hubungan mereka berjalan di jalur yang lebih tenang.

Namun, suatu sore, Arga menerima telepon panjang dari seseorang di kota. Sekar yang sedang menjemur padi melihatnya berbicara di tepi jalan, wajahnya serius. Setelah menutup telepon, Arga menghampiri dengan langkah pelan.

“Itu dari kantor lamaku,” katanya. “Mereka menawarkan posisi yang… sulit ditolak. Proyek besar, gaji tinggi, dan… kalau aku terima, aku harus kembali ke Bandung bulan depan.”

Sekar terdiam. Angin sore membawa aroma jerami, tapi suasana di antara mereka terasa berat.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya akhirnya.
“Aku belum tahu. Aku sudah mulai merasa betah di sini. Tapi tawaran itu… bisa mengubah masa depan.”

Kabar itu cepat menyebar. Beberapa warga mulai berbisik lagi.
“Kalau dia pergi, berarti cuma mampir saja.”
“Ya, orang kota mana betah di sini lama-lama.”

Malamnya, Arga datang ke rumah Sekar. Mereka duduk di beranda, ditemani suara jangkrik.
“Aku ingin jujur, Kar. Aku datang ke sini untuk kamu. Tapi aku juga punya ambisi. Aku takut kalau aku menolak tawaran ini, aku akan menyesal. Tapi kalau aku terima… aku takut kehilangan kamu.”

Sekar menatapnya lama. “Arga, aku tidak mau jadi alasan kamu menyesal. Tapi aku juga tidak mau menunggu tanpa kepastian. Kalau kamu pergi, pastikan itu karena kamu yakin, bukan karena kamu lari dari pilihan yang sulit.”

Arga mengangguk pelan. “Aku janji, apapun keputusanku, aku akan bicara padamu dulu.”

Malam itu, Sekar sadar bahwa cinta mereka kini berada di persimpangan. Dan kali ini, bukan hanya hati yang harus mereka dengarkan, tapi juga masa depan yang ingin mereka bangun.

Hari itu, matahari bersinar terik. Sekar sedang membantu ibunya menjemur gabah ketika Arga datang. Wajahnya terlihat lelah, tapi sorot matanya mantap.

“Aku sudah memutuskan,” katanya tanpa basa-basi.

Sekar mengangguk pelan, menunggu.

“Aku menolak tawaran dari kota,” lanjutnya. “Aku sadar, ambisi itu penting, tapi aku tidak mau kehilangan hal yang lebih berharga. Aku ingin membangun hidup di sini, bersama kamu… kalau kamu mau.”

Sekar terdiam. Angin siang membawa aroma jerami kering, dan suara ayam berkokok terdengar dari kejauhan. Ia menatap Arga lama, mencoba memastikan bahwa ini bukan keputusan yang diambil karena emosi sesaat.

“Arga… hidup di sini tidak mudah. Tidak ada gedung tinggi, tidak ada kafe mewah, dan kadang hasil kerja tidak sebanding dengan lelahnya,” ucap Sekar pelan.
“Aku tahu,” jawab Arga. “Tapi di sini aku merasa… nyata. Dan aku ingin belajar hidup dengan cara ini.”

Beberapa warga yang mendengar percakapan itu dari kejauhan mulai berbisik-bisik, kali ini dengan nada yang berbeda. Ada yang tersenyum, ada yang mengangguk pelan.

Sore itu, mereka duduk di bawah pohon beringin dekat balai desa. Sekar bersandar pada batang pohon, sementara Arga menatap hamparan sawah yang menguning.
“Mungkin ini bukan akhir cerita kita,” kata Sekar. “Mungkin ini justru awalnya.”

Arga tersenyum. “Kalau begitu, mari kita mulai dari sini.”

Dan di bawah langit sore yang temaram, mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini masih panjang — tapi kali ini, mereka memilih untuk menempuhnya bersama.

Sudah hampir tiga bulan sejak Arga memutuskan untuk tinggal di desa. Ia mulai terbiasa dengan bangun pagi sebelum matahari terbit, membantu warga di sawah, dan ikut ronda malam. Warga yang dulu ragu kini mulai menganggapnya bagian dari komunitas.

Namun, di balik semua itu, Sekar mulai menyadari satu hal: meski Arga berusaha keras, ada sisi dirinya yang masih “orang kota”.
Suatu sore, saat mereka menjemur gabah, Arga mengeluh pelan, “Kalau musim hujan nanti, semua ini harus diangkat cepat-cepat, ya? Capek juga kalau tiap hari begini.”
Sekar tersenyum tipis. “Itu baru sedikit, Ga. Nanti kalau banjir datang, kita bisa kerja semalaman.”

Kadang, Arga juga terlihat gelisah ketika sinyal ponsel hilang berjam-jam. Ia bilang itu membuatnya sulit mengurus beberapa urusan bisnis kecil yang masih ia pegang di kota. Sekar mengerti, tapi ia juga khawatir: apakah Arga benar-benar bisa melepaskan dunia lamanya?

Suatu malam, saat mereka duduk di beranda rumah Sekar, Arga berkata, “Aku senang di sini, Kar. Tapi kadang aku merasa… terputus dari dunia luar. Seperti aku kehilangan sebagian dari diriku.”
Sekar menatapnya lama. “Mungkin itu bukan kehilangan, Ga. Mungkin itu proses menemukan dirimu yang baru.”

Di kejauhan, suara gamelan dari hajatan tetangga terdengar samar. Arga terdiam, memandang langit penuh bintang — pemandangan yang tak pernah ia lihat di kota. Ia tahu, ia mencintai Sekar dan desa ini, tapi ia juga sadar, perjalanan untuk benar-benar menyatu masih panjang.

Dan Sekar, di dalam hatinya, mulai bertanya-tanya: apakah cinta mereka cukup kuat untuk menjembatani dua dunia yang berbeda ini, atau suatu hari nanti salah satu dari mereka akan merasa harus memilih lagi.

Pagi itu, Arga baru saja kembali dari sawah ketika seorang kurir datang membawa sebuah amplop tebal. Di sudutnya tertera logo perusahaan besar di Bandung — tempat Arga dulu bekerja.

Sekar yang sedang menjemur pakaian melihatnya membuka amplop itu. Di dalamnya ada undangan resmi: Gala Dinner tahunan perusahaan, sekaligus perayaan peluncuran proyek besar yang dulu pernah Arga tangani.

“Aku diundang sebagai tamu kehormatan,” kata Arga, suaranya datar tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca. “Mereka ingin aku hadir… dan katanya, ini kesempatan untuk ‘membuka pintu’ kalau aku mau kembali.”

Sekar terdiam. Angin siang membawa aroma jerami, tapi dadanya terasa sesak.
“Kalau kamu pergi, orang-orang di sini akan mulai bertanya-tanya lagi,” ucapnya pelan. “Dan aku… aku takut itu akan membuatmu rindu pada kehidupan lamamu.”

Arga menatapnya lama. “Aku tidak berniat kembali ke sana untuk menetap. Tapi… aku juga tidak mau memutus semua hubungan. Dunia itu pernah menjadi bagian dari hidupku.”

Hari-hari berikutnya, Sekar merasa ada jarak yang mulai tumbuh. Arga tetap membantu di sawah, tetap ikut ronda, tapi pikirannya sering melayang. Kadang ia memandangi ponselnya lama, membaca pesan dari rekan-rekan lamanya.

Suatu malam, mereka duduk di beranda. Sekar akhirnya berkata, “Kalau kamu mau pergi, pergilah. Tapi pastikan kamu tahu apa yang kamu cari di sana. Jangan sampai kamu kembali dengan hati yang berbeda.”

Arga menghela napas panjang. “Aku janji, Kar. Aku akan kembali… untuk kamu.”

Namun, di hati Sekar, janji itu terasa seperti benang tipis yang bisa putus kapan saja. Ia tahu, perjalanan Arga ke kota ini akan menjadi ujian — bukan hanya untuk Arga, tapi juga untuk keyakinannya sendiri.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience