bab 7

Drama Series 49

Pagi keberangkatan Arga, udara desa masih dingin. Sekar mengantarnya sampai ke ujung jalan, tempat mobil travel menunggu.
“Aku cuma dua hari,” kata Arga, mencoba menenangkan. “Setelah itu, aku pulang.”
Sekar tersenyum tipis. “Aku tunggu.”

Begitu mobil itu menghilang di tikungan, Sekar berjalan pulang melewati tatapan warga. Beberapa menyapa ramah, tapi ada juga yang berbisik-bisik.
“Pasti nanti dia betah lagi di kota.”
“Kalau sudah merasakan enaknya, mana mau balik.”

Sekar pura-pura tak mendengar, tapi hatinya gelisah. Malamnya, ia duduk di beranda, menatap jalan desa yang sepi. Pikirannya melayang ke gedung-gedung tinggi, lampu kota, dan orang-orang yang dulu menjadi dunia Arga.

Hari pertama, Arga masih mengirim pesan singkat: foto suasana acara, senyumannya di depan panggung, dan ucapan “Aku rindu.”
Hari kedua, pesan mulai jarang. Sekar mencoba mengerti — mungkin Arga sibuk. Tapi rasa cemas mulai tumbuh.

Di pasar, Siti mendekat sambil berbisik, “Kar, aku dengar Arga ketemu mantan rekan kerjanya. Katanya mereka ingin dia balik.”
Sekar terdiam. Ia tahu gosip di desa bisa tumbuh dari setetes kabar, tapi kali ini, ia tak bisa menepis rasa takutnya.

Malam kedua, hujan turun deras. Sekar duduk di beranda, menggenggam ponselnya. Tak ada pesan baru dari Arga. Hanya suara hujan dan detak jantungnya sendiri yang terdengar.

Di dalam hati, ia tahu dua hari ini akan menentukan banyak hal. Bukan hanya apakah Arga akan kembali tepat waktu, tapi juga apakah ia akan kembali dengan hati yang sama seperti saat pergi.

Hujan baru saja reda ketika suara mesin mobil terdengar mendekat di jalan desa. Sekar yang sedang membantu ibunya di dapur langsung menoleh. Dari balik jendela, ia melihat Arga turun dari mobil travel, membawa tas ransel dan wajah yang sulit dibaca.

Sekar menyambutnya di beranda. “Kamu pulang tepat waktu,” ucapnya, mencoba tersenyum.
Arga mengangguk, tapi matanya tak langsung menatap Sekar. “Boleh kita bicara? Di tempat yang tenang.”

Mereka berjalan ke tepi sawah, tempat rumput masih basah oleh hujan. Arga menarik napas panjang.
“Acara itu… lebih berat dari yang aku kira. Banyak orang yang menawari aku kembali. Bahkan, ada proyek yang katanya hanya aku yang bisa memimpin. Gajinya besar, dan mereka bilang aku bisa bolak-balik kota-desa.”

Sekar menatapnya, jantungnya berdegup lebih cepat. “Dan kamu… mau menerimanya?”
Arga terdiam lama. “Aku belum jawab. Aku pikir, aku harus bicara sama kamu dulu. Karena kalau aku terima, hidup kita akan berubah. Aku akan sering ke kota, mungkin berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.”

Sekar menunduk, meremas ujung kainnya. Angin sore membawa aroma tanah basah, tapi suasana di antara mereka terasa kering.
“Arga, aku tidak mau menahan kamu dari mimpimu. Tapi aku juga tidak mau hidup setengah-setengah. Kalau kamu di sini, ya di sini. Kalau di kota, ya di kota. Aku takut… jarak akan mengubah kita.”

Arga menatapnya, kali ini dengan mata yang penuh keraguan. “Aku ingin keduanya, Kar. Kamu… dan kesempatan itu.”

Sekar tahu, ini bukan keputusan yang bisa diambil dalam sehari. Tapi ia juga sadar, waktu mereka untuk memutuskan tidak akan lama. Karena dunia Arga dan dunia Sekar kini kembali saling tarik menarik — dan salah satu harus mengalah.

Sepekan setelah pulang dari kota, Arga memutuskan menerima tawaran proyek itu dengan syarat ia tetap tinggal di desa dan hanya ke kota saat diperlukan. Awalnya, semua berjalan mulus. Ia berangkat dua atau tiga hari dalam seminggu, lalu kembali membantu warga di sawah atau ikut ronda malam.

Namun, perlahan ritme itu mulai goyah.
Suatu sore, Sekar menunggu Arga di tepi jalan desa. Mereka berjanji akan menjemput bibit padi bersama. Tapi jam berlalu, dan Arga tak kunjung datang. Saat malam tiba, barulah ia muncul, lelah dan berdebu.
“Maaf, Kar… rapatnya molor. Aku nggak bisa pulang tepat waktu,” ucapnya.

Kejadian seperti itu mulai sering terjadi. Kadang Arga pulang larut malam, kadang ia harus membatalkan janji membantu warga karena urusan kota. Warga mulai berbisik lagi.
“Katanya mau tinggal di sini, tapi kok sering ke kota.”
“Jangan-jangan nanti pindah lagi.”

Sekar mencoba mengerti, tapi ia juga mulai merasa jarak di antara mereka bertambah. Saat duduk di beranda suatu malam, ia berkata pelan, “Arga, aku takut kamu kelelahan. Bukan cuma badan, tapi juga hati. Kamu seperti ditarik ke dua arah.”

Arga menatapnya, matanya lelah tapi penuh tekad. “Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menjalani keduanya. Aku tidak mau memilih salah satu.”

Sekar menghela napas. “Tapi kadang, Ga… kalau kita memegang dua hal sekaligus terlalu erat, salah satunya akan jatuh.”

Di kejauhan, suara katak bersahut-sahutan di pematang sawah. Arga terdiam, seolah kata-kata Sekar menancap dalam. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus memutuskan — atau keduanya akan hilang.

Pagi itu, Arga sudah bersiap berangkat ke kota. Ada rapat penting yang katanya akan menentukan kelanjutan proyek besar yang ia pegang. Sekar menyiapkan sarapan cepat, meski hatinya sedikit berat melepasnya.

Namun, sebelum Arga sempat naik ke mobil travel, suara teriakan terdengar dari arah sungai.
“Bendungannya jebol! Air masuk ke sawah!”

Warga berlarian membawa karung pasir dan cangkul. Sekar ikut berlari, dan melihat air cokelat mulai menggenangi petak-petak padi yang hampir panen. Beberapa orang berusaha membuat tanggul darurat, tapi kekurangan tenaga.

Pak Darto berteriak, “Kalau nggak ditahan sekarang, habis semua panen kita!”

Arga berdiri di pinggir jalan, menatap ke arah sawah, lalu ke mobil travel yang sudah menunggu. Wajahnya tegang.
“Ga, kalau kamu mau ke kota, pergilah,” kata Sekar, suaranya bergetar. “Tapi kalau kamu tinggal, kita butuh semua tenaga yang ada.”

Arga menutup matanya sejenak. Telepon dari rekan kantornya terus berdering di saku. Ia tahu, jika ia melewatkan rapat ini, posisinya di proyek bisa terguncang. Tapi jika ia pergi, ia akan meninggalkan warga — dan Sekar — di saat genting.

Beberapa detik terasa seperti menit. Lalu Arga meletakkan tasnya di tanah, melepas sepatu, dan berlari ke sawah, ikut mengangkat karung pasir bersama warga. Mobil travel pun pergi tanpa dirinya.

Sekar menatapnya dari tepi pematang, dadanya penuh campuran lega dan cemas. Ia tahu, keputusan Arga hari ini akan menyelamatkan sawah… tapi mungkin akan mengorbankan sesuatu yang lain di kota.

Dan di dalam hati, ia bertanya-tanya: apakah ini awal dari Arga benar-benar memilih satu dunia, atau justru awal dari harga yang harus mereka bayar untuk tetap bersama.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience