bab 41

Drama Completed 256

Selama dua minggu, tim kecil dari koperasi bekerja bersama Laras, Bima, dan dua jurnalis investigasi yang dikirim media nasional. Mereka menelusuri dokumen pengiriman, kontrak, dan catatan transaksi yang diperoleh dari sumber-sumber di lapangan.

Hasilnya mulai membentuk pola:
- Perusahaan logistik yang terhubung dengan pelaku sabotase ternyata menjadi penghubung utama antara gudang-gudang besar di kota dan pasar induk.
- Dari sana, beras dialirkan ke jaringan pedagang yang sudah diatur harganya sebelum masuk pasar, memastikan keuntungan besar bagi segelintir pihak.
- Beberapa desa yang ikut program kabupaten ternyata juga terikat dalam skema ini, tanpa sadar menjadi bagian dari rantai distribusi yang dikendalikan oleh kelompok kecil.

Rudi, konsultan media, menempelkan peta besar di dinding balai desa, dengan garis-garis merah menghubungkan titik-titik gudang, perusahaan, dan pasar. “Kalau ini dipublikasikan, dampaknya bisa besar. Tapi ingat, ini bukan cuma soal Sumberjati. Ini akan mengguncang banyak pihak, termasuk desa-desa yang selama ini kita anggap kawan.”

Sekar menatap peta itu lama. “Kalau kita buka semua, kita bisa jadi target bersama. Tapi kalau kita hanya ambil bagian yang menguntungkan kita, kita membiarkan sistem ini tetap berjalan.”

Arga terdiam. Ia tahu, membongkar semua berarti masuk ke medan yang jauh lebih berbahaya — tapi juga berarti memberi kesempatan bagi petani di banyak tempat untuk lepas dari cengkeraman harga yang tidak adil.

Pak Surya dari asosiasi memberi pandangan terakhir. “Keputusan ini ada di tangan kalian. Kami siap mendukung, tapi kalian yang akan menanggung konsekuensinya di lapangan.”

Malam itu, Arga berjalan sendirian melewati sawah yang mulai menguning. Di kejauhan, lampu-lampu rumah warga berkelip. Ia sadar, pilihan yang akan diambil besok bukan hanya soal strategi — tapi soal siapa Sumberjati ingin menjadi di mata dunia.

Balai desa sore itu penuh sesak. Warga Sumberjati duduk berdesakan, sebagian berdiri di luar jendela. Di depan, Arga berdiri bersama pengurus koperasi dan perwakilan Asosiasi Petani Mandiri Nusantara.

Suasana hening ketika Arga mulai bicara.
> “Kita sudah melihat peta permainan ini. Kita tahu siapa yang mengatur harga, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan. Hari ini, kita memutuskan untuk membongkar semuanya — bukan hanya demi Sumberjati, tapi demi semua desa yang terjebak dalam sistem ini.”

Tepuk tangan pecah, meski ada juga wajah-wajah yang tampak cemas.

Rudi, konsultan media, segera mengirimkan rilis resmi ke media nasional. Dalam hitungan jam, berita tentang “Desa Sumberjati Bongkar Kartel Beras” menjadi trending. Beberapa stasiun TV mengirim kru untuk meliput langsung.

Reaksi pun bermunculan:
- Desa-desa lain mulai menghubungi Sumberjati, menawarkan dukungan dan informasi tambahan tentang praktik serupa di wilayah mereka.
- Pemerintah daerah mengumumkan akan membentuk tim investigasi, meski sebagian warga curiga ini hanya langkah meredam tekanan publik.
- PT Graha Pangan Nusantara mengeluarkan pernyataan keras, menuduh Sumberjati “menyebarkan fitnah sistematis” dan mengancam akan memperluas gugatan.

Malam itu, di warung kopi, warga membicarakan kemungkinan terburuk: pemutusan akses pasar, tekanan dari aparat, bahkan sabotase yang lebih besar. Tapi ada juga rasa bangga yang sulit disembunyikan — untuk pertama kalinya, desa kecil mereka menjadi pusat perhatian nasional bukan karena bencana, tapi karena keberanian.

Arga duduk di teras rumahnya, memandangi layar ponsel yang terus berbunyi dengan notifikasi dukungan. Ia tahu, badai yang akan datang mungkin lebih besar dari sebelumnya. Tapi ia juga tahu, kali ini Sumberjati tidak sendirian.

Pagi itu, tiga mobil berpelat dinas berhenti di depan balai desa. Turunlah rombongan tim investigasi pemerintah daerah, lengkap dengan map tebal, kamera dokumentasi, dan wajah-wajah yang sulit dibaca.

Ketua tim, seorang pria berjas tipis bernama Pak Herman, langsung menyampaikan maksud kedatangan mereka.
> “Kami diutus untuk memeriksa semua dokumen dan kegiatan koperasi terkait dugaan praktik kartel beras. Kami minta akses penuh ke arsip penjualan, kontrak, dan catatan keuangan lima tahun terakhir.”

Permintaan itu membuat ruang rapat hening. Sekar melirik Arga — mereka tahu, di dalam arsip itu memang tidak ada pelanggaran besar, tapi ada beberapa catatan internal yang bisa dipelintir menjadi masalah: keterlambatan pembayaran ke pemasok kecil, kesalahan pencatatan stok di tahun awal koperasi, dan beberapa kontrak informal yang tidak pernah dibukukan resmi.

Maya, pengacara, berbisik pelan, “Kalau semua dibuka mentah-mentah, mereka bisa memelintir detail kecil jadi senjata. Tapi kalau kita menahan data, mereka bisa menuduh kita tidak kooperatif.”

Rapat kilat digelar di ruang belakang.
- Opsi pertama: Berikan semua arsip tanpa sensor, menunjukkan keterbukaan penuh, tapi siap menghadapi risiko framing negatif.
- Opsi kedua: Saring dokumen, hanya berikan yang relevan dengan kasus kartel, sambil menyimpan catatan internal yang rawan disalahartikan.

Bu Ratna menghela napas. “Kalau kita saring, kita aman dari gosip, tapi mereka bisa bilang kita menyembunyikan sesuatu. Kalau kita buka semua, kita harus siap perang citra.”

Arga menatap wajah-wajah di sekelilingnya. “Kepercayaan publik adalah senjata kita. Tapi kita juga harus melindungi diri. Kita akan…” — ia berhenti sejenak, menimbang kata-kata — “…ambil jalan yang membuat kita tetap bisa tidur nyenyak, meski mungkin siang harinya kita harus berhadapan dengan badai.”

Keputusan itu akan diumumkan sore nanti, di hadapan tim investigasi yang menunggu di balai desa. Dan Arga tahu, apa pun pilihannya, langkah ini akan menentukan apakah Sumberjati keluar dari pusaran ini sebagai pahlawan… atau sebagai sasaran empuk berikutnya.

Sore itu, Arga kembali ke balai desa dengan keputusan yang sudah bulat: koperasi akan memberikan seluruh arsip, tanpa sensor, tapi dengan penjelasan rinci untuk setiap catatan yang berpotensi disalahartikan.

Ketika ia menyampaikan keputusan itu, Pak Herman, ketua tim investigasi, mengangguk singkat. “Baik. Kami akan mulai pemeriksaan malam ini.”

Pemeriksaan berlangsung hingga larut. Tumpukan map dibuka, lembar demi lembar difoto dan dicatat. Di tengah kesibukan itu, Arga memperhatikan seorang anggota tim bernama Dian — perempuan muda berkerudung, yang tampak lebih banyak mengamati interaksi warga daripada memeriksa dokumen.

Saat istirahat, Dian mendekati Arga. Suaranya pelan, nyaris berbisik.
> “Pak Arga, saya tidak bisa bicara banyak di sini. Tapi saya ingin Bapak tahu, tidak semua orang di tim ini ingin kebenaran keluar. Ada yang datang untuk menutup kasus ini secepat mungkin, dengan atau tanpa hasil yang sebenarnya.”

Arga terkejut, tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Dian sudah kembali ke meja pemeriksaan, wajahnya kembali datar.

Malam itu, setelah tim pulang, Arga memanggil Sekar dan Bu Ratna. Ia menceritakan peringatan Dian. Sekar langsung curiga, “Kalau benar, berarti ada tekanan dari atas. Mereka mungkin hanya mencari alasan formal untuk menyatakan tidak ada pelanggaran, lalu menutup kasus.”

Bu Ratna menatap Arga serius. “Kalau begitu, kita harus siapkan bukti cadangan — yang tidak hanya ada di arsip koperasi, tapi juga di tangan pihak luar yang bisa mempublikasikannya kapan saja.”

Arga mengangguk. “Kita akan main di dua jalur: resmi dan publik. Kalau jalur resmi buntu, publik yang akan memaksa mereka bergerak.”

Di luar, malam Tambelang terasa sunyi. Tapi di dalam balai desa, strategi baru mulai disusun — strategi yang mengandalkan kebenaran, tapi juga siap menghadapi permainan kotor yang mungkin akan datang dari arah yang tak terduga.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience