Completed
256
Sejak liputan media nasional tentang nasi liwet Bu Lilis, telepon koperasi nyaris tak berhenti berdering. Pesanan beras lokal datang dari restoran, hotel, bahkan toko bahan pangan premium di Jakarta dan Surabaya.
Awalnya, semua terasa seperti berkah. Gudang yang biasanya penuh kini kosong lebih cepat dari biasanya. Namun, dalam waktu singkat, masalah mulai terlihat:
- Stok menipis jauh sebelum musim panen berikutnya.
- Harga di pasar kota melonjak karena permintaan tinggi, memicu spekulasi dari pedagang perantara.
- Warga desa sendiri mulai kesulitan membeli beras lokal karena sebagian besar dialokasikan untuk pesanan luar.
Di warung kopi, terdengar keluhan. “Masa kita yang nanam malah beli beras dari luar desa?” kata seorang bapak tua.
Di sisi lain, pembeli kota mulai menekan koperasi agar mengamankan pasokan untuk mereka, bahkan menawarkan harga lebih tinggi.
Rapat koperasi berlangsung panas.
Bu Ratna berkata, “Kalau kita ikuti harga pasar kota, pendapatan naik, tapi warga sendiri akan merasa ditinggalkan.”
Sekar menimpali, “Kalau kita prioritaskan warga, kita bisa kehilangan kontrak besar yang baru saja kita dapat.”
Arga terdiam lama sebelum bicara. “Kita harus ingat, merek Sumberjati lahir dari desa ini. Kalau desa merasa dikhianati, semua yang kita bangun akan runtuh.”
Akhirnya, diputuskan kebijakan darurat:
1. Membagi stok: 60% untuk pasar luar, 40% untuk kebutuhan warga desa dan sekitar.
2. Membatasi pembelian untuk pembeli kota agar tidak ada yang menimbun.
3. Mencari pemasok tambahan dari desa mitra untuk menutup kekurangan tanpa mengorbankan kualitas.
Kebijakan ini tidak memuaskan semua pihak. Beberapa pembeli kota mengancam mencari pemasok lain, sementara sebagian warga masih mengeluh harga di desa ikut naik.
Malam itu, Arga berjalan melewati sawah yang baru ditanam. Ia sadar, menjaga keseimbangan antara pasar luar dan rumah sendiri adalah ujian yang lebih rumit daripada sekadar menanam padi — karena ini menyangkut rasa keadilan, dan itu jauh lebih rapuh dari butir beras.
Setelah kebijakan pembagian stok diberlakukan, koperasi Sumberjati tetap kewalahan memenuhi permintaan. Sekar mengusulkan mencari pemasok tambahan dari luar jaringan mitra yang ada. Dari daftar desa sekitar, satu nama muncul: Desa Waringin.
Nama itu membuat suasana rapat hening. Beberapa tahun lalu, Sumberjati dan Waringin pernah berselisih soal batas lahan irigasi. Perselisihan itu berakhir dengan hubungan dingin, bahkan saling menghindar di acara-acara kecamatan.
Bu Ratna ragu. “Kalau kita ajak mereka, apa mereka mau? Dan kalau mau, apa kita siap menghadapi komentar warga sendiri?”
Namun, Arga melihat peluang. “Waringin punya varietas lokal yang mirip dengan kita, dan mereka punya stok. Kalau kita bisa berdamai, ini bukan hanya soal pasokan — ini soal memperbaiki hubungan.”
Dengan hati-hati, Arga dan Sekar berkunjung ke Waringin. Mereka disambut oleh Kepala Desa Waringin, Pak Rendra, yang awalnya kaku. Obrolan dimulai dengan basa-basi, lalu perlahan masuk ke inti: tawaran kerja sama pasokan beras lokal.
Pak Rendra terdiam lama sebelum menjawab. “Kami tidak lupa kejadian dulu. Tapi saya juga tahu, kalau kita terus saling menjauh, kita sama-sama rugi. Kalau mau kerja sama, kita mulai dari skala kecil dulu. Tidak ada janji besar, tapi ada niat baik.”
Kesepakatan awal pun dibuat:
- Waringin akan memasok sebagian kecil beras lokal untuk memenuhi kebutuhan warga Sumberjati.
- Semua transaksi dilakukan transparan, dengan harga yang disepakati bersama.
- Akan ada pertemuan rutin untuk membicarakan perkembangan dan menghindari kesalahpahaman.
Kabar kerja sama ini memicu reaksi beragam di Sumberjati. Ada yang senang karena pasokan aman, ada pula yang sinis, menganggap ini “menjual harga diri”.
Malam itu, Arga duduk di beranda rumahnya, memikirkan betapa tipisnya garis antara pragmatisme dan prinsip. Ia tahu, langkah ini bisa menjadi awal rekonsiliasi… atau membuka kembali luka lama yang belum benar-benar sembuh.
Kerja sama pasokan beras lokal dari Waringin berjalan mulus di minggu-minggu awal. Karung-karung beras mereka masuk ke gudang Sumberjati tanpa masalah berarti, dan warga desa mulai terbiasa melihat truk Waringin keluar-masuk.
Namun, pada suatu pagi di pasar kecamatan, seorang pedagang beras memajang karung dengan label “Beras Waringin – Lebih Murni dari Sumberjati”. Tulisan itu mencolok, dan beberapa pembeli langsung membicarakannya.
Seorang ibu yang sedang berbelanja berbisik pada temannya, “Katanya dulu Waringin rebutan air irigasi sama Sumberjati. Sekarang kok bisa kerja sama? Jangan-jangan ini cuma akal-akalan mereka.”
Bisik-bisik itu cepat menyebar, bahkan sampai ke telinga beberapa anggota koperasi.
Siang harinya, Arga menerima laporan bahwa ada pembeli yang membatalkan pesanan beras Sumberjati karena “tidak mau makan beras campuran dari desa yang pernah bermasalah”.
Rapat darurat digelar.
Sekar berkata, “Kalau kita biarkan, gosip ini akan merusak kepercayaan. Kita harus jelaskan bahwa kerja sama ini untuk memenuhi kebutuhan warga, bukan mencampur identitas.”
Bu Ratna menambahkan, “Tapi kalau kita terlalu defensif, orang akan mengira gosip itu benar.”
Akhirnya, koperasi memutuskan langkah ganda:
1. Mengadakan acara panen bersama di sawah perbatasan Sumberjati–Waringin, mengundang media lokal untuk menunjukkan keterbukaan.
2. Memastikan semua kemasan beras tetap jelas mencantumkan asal desa, agar tidak ada kesan menutupi.
Acara panen bersama itu berlangsung meriah, tapi Arga tahu, gosip tidak bisa dihapus hanya dengan satu acara. Ia sadar, membangun kepercayaan butuh waktu — dan di desa, waktu sering berjalan lebih lambat daripada arus kabar burung.
Hari panen bersama tiba. Sawah di perbatasan Sumberjati–Waringin dipenuhi warga dari kedua desa. Spanduk bertuliskan “Panen Bersama untuk Masa Depan Bersama” terbentang di antara dua pohon kelapa. Media lokal hadir, kamera siap merekam setiap momen.
Di tengah keramaian, Arga memperhatikan dua sosok yang berdiri agak jauh dari kerumunan: Pak Wiryo dari Sumberjati dan Pak Saman dari Waringin. Dua orang ini adalah tokoh yang dulu memimpin perdebatan sengit soal batas irigasi — perdebatan yang berakhir dengan hubungan membeku selama bertahun-tahun.
Awalnya, keduanya hanya saling melirik sekilas. Namun, saat prosesi simbolis memotong padi dimulai, panitia secara sengaja menempatkan mereka berdampingan. Suasana canggung terasa jelas.
Pak Wiryo memegang sabit, menatap batang padi di depannya. “Air dari sungai ini… dulu kita perebutkan,” katanya pelan, tanpa menoleh.
Pak Saman menghela napas. “Dan kita lupa, air itu mengalir untuk semua, bukan hanya untuk satu desa.”
Hening sejenak. Lalu, tanpa banyak kata, Pak Wiryo mengulurkan tangan. Pak Saman menatapnya, ragu sesaat, lalu menjabat erat. Tepuk tangan spontan pecah dari warga yang melihat. Kamera media menangkap momen itu, dan sorak-sorai menggema di tengah sawah.
Bagi sebagian orang, itu hanya jabat tangan. Tapi bagi mereka yang tahu sejarahnya, itu adalah tanda bahwa luka lama mulai mengering.
Arga, yang menyaksikan dari pinggir, merasa lega. Ia tahu, rekonsiliasi sejati tidak lahir dari rapat atau kontrak, tapi dari keberanian dua orang untuk melepaskan gengsi.
Malamnya, foto jabat tangan itu tersebar di media sosial, disertai caption: “Dari sawah, kita belajar: yang tumbuh subur bukan hanya padi, tapi juga persaudaraan.”
Share this novel