Perjalanan pulang dari Jakarta terasa lebih panjang dari biasanya. Arga dan Sekar sama-sama lelah, tapi ada sedikit rasa optimis: presentasi berjalan baik, dan meski belum ada jawaban, mereka merasa sudah memberi kesan yang kuat.
Namun, begitu memasuki jalan utama desa, mereka melihat sesuatu yang membuat langkah optimis itu goyah. Di pinggir jalan, berdiri spanduk besar bertuliskan:
“Gabung Program Kemitraan — Harga Pasti, Hidup Pasti”
Di bawahnya, logo perusahaan besar yang selama ini menjadi lawan mereka.
Di warung, beberapa warga berkumpul sambil memegang brosur berwarna mengilap. Dari obrolan yang terdengar, jelas bahwa selama Arga dan Sekar pergi, perusahaan itu mengirim tim pemasaran langsung ke rumah-rumah, menawarkan kontrak individu dengan iming-iming harga tinggi dan pembayaran cepat.
Pak Darto datang tergesa-gesa. “Ga, Kar… separuh petani sudah tanda tangan. Mereka bilang ini lebih aman daripada menunggu pasar kota yang belum pasti.”
Arga merasakan dadanya mengencang. “Berarti… pasokan kita untuk bulan depan bisa berkurang separuh.”
Sekar menatapnya, wajahnya tegang. “Kalau ini terus berlanjut, bahkan kalau katering di Jakarta setuju, kita nggak akan punya cukup beras untuk memenuhi pesanan.”
Malam itu, Arga mengumpulkan beberapa warga yang masih bertahan. Mereka duduk di gudang kecil, di antara karung-karung beras yang tersisa.
“Kita sedang diadu. Mereka tahu kita menolak tawaran mereka, jadi mereka pecah belah kita dari dalam. Kalau kita mau bertahan, kita harus kasih alasan yang lebih kuat dari sekadar harga.”
Sekar menambahkan, “Kita harus tunjukkan bahwa usaha ini bukan cuma soal jual beli. Ini soal masa depan desa, soal kita punya kendali atas apa yang kita tanam dan jual.”
Di luar, suara jangkrik bercampur dengan deru mesin truk perusahaan besar yang lewat di jalan desa, seolah mengingatkan bahwa waktu mereka semakin sedikit.
Keesokan paginya, Arga dan Sekar memutuskan untuk tidak menunggu keadaan memburuk. Mereka tahu, jika hanya duduk di gudang dan berharap warga kembali, itu sama saja menyerahkan desa pada perusahaan besar.
Arga mengusulkan sesuatu yang tak biasa: “Kita datangi satu per satu rumah warga yang sudah tanda tangan. Bukan untuk memarahi, tapi untuk mengajak bicara dari hati ke hati.”
Sekar setuju, tapi menambahkan, “Kita juga harus bawa bukti bahwa usaha ini bisa memberi hasil nyata. Kalau cuma kata-kata, mereka tidak akan percaya.”
Maka, mereka menyiapkan daftar pembeli yang sudah membayar di muka untuk beras Sumberjati, termasuk foto-foto pengiriman ke Jakarta dan bukti transfer uang. Mereka juga membawa beberapa karung beras kemasan untuk dibagikan gratis sebagai contoh kualitas.
Hari itu, mereka berjalan dari rumah ke rumah. Di rumah Pak Samin, yang baru saja menandatangani kontrak dengan perusahaan besar, Arga duduk di teras sambil menyeruput teh.
“Pak, saya paham kenapa Bapak memilih mereka. Harga tinggi, pembayaran cepat. Tapi lihat ini,” katanya sambil menunjukkan bukti pembayaran dari pembeli kota. “Ini uang yang masuk minggu lalu. Kalau kita konsisten, nilainya bisa lebih besar dari yang mereka tawarkan — dan kita tetap punya kendali.”
Pak Samin terdiam lama. “Tapi kalau gagal panen?”
Sekar menjawab, “Kalau gagal panen, kita hadapi bersama. Bukan sendirian. Itulah bedanya usaha kita dengan kontrak mereka.”
Beberapa warga mulai luluh. Ada yang langsung membatalkan kontrak, ada yang meminta waktu berpikir. Tapi tidak semua mudah diyakinkan — sebagian tetap memilih perusahaan besar, dengan alasan keamanan.
Menjelang sore, Arga dan Sekar kembali ke gudang dengan langkah lelah tapi hati sedikit lega. Mereka tahu, tidak semua bisa diselamatkan, tapi setiap warga yang kembali adalah satu langkah menjauh dari kekalahan total.
Di depan pintu gudang, Pak Darto sudah menunggu. “Ga, Kar… kabar dari kota. Pembeli katering itu mau bicara lagi. Katanya mereka tertarik, tapi ada syarat tambahan.”
Arga dan Sekar saling pandang. Mereka sadar, perjuangan ini belum selesai — dan syarat baru itu bisa menjadi peluang besar atau jebakan yang lebih halus dari sebelumnya.
Dua hari setelah kembali dari Jakarta, Arga menerima telepon dari manajer pembelian jaringan katering sehat. Suaranya terdengar ramah, tapi nada bicaranya mengandung sesuatu yang membuat Arga waspada.
“Kami tertarik bekerja sama. Tapi ada satu syarat tambahan yang harus dipenuhi sebelum kontrak bisa ditandatangani,” katanya.
Arga dan Sekar berangkat ke Jakarta lagi, kali ini dengan perasaan campur aduk. Di ruang rapat yang sama, manajer itu menjelaskan syarat tersebut:
“Kami ingin pasokan beras Sumberjati eksklusif untuk kami selama kontrak berjalan. Artinya, Anda tidak boleh menjual ke pembeli lain di wilayah Jabodetabek. Sebagai gantinya, kami akan menjamin pembelian minimal setiap bulan.”
Sekar langsung menatap Arga. Ia tahu, ini berarti mereka akan kehilangan fleksibilitas untuk mencari pembeli lain di pasar terbesar di Indonesia.
“Kalau panen kita melimpah, kelebihan stok harus dijual ke luar wilayah itu, yang biayanya lebih tinggi,” bisik Sekar pelan.
Arga mencoba menawar. “Bagaimana kalau kami tetap bisa menjual ke pembeli kecil di wilayah itu, selama tidak mengganggu pasokan untuk Anda?”
Manajer itu tersenyum tipis. “Kami butuh kepastian penuh. Kalau tidak, kami khawatir pasokan Anda akan terbagi.”
Di perjalanan pulang, suasana di mobil hening. Sekar akhirnya berkata, “Ga, ini mirip dengan tawaran-tawaran sebelumnya. Bedanya, kali ini mereka membungkusnya dengan kata ‘jaminan’.”
Arga menghela napas panjang. “Kalau kita terima, kita aman… tapi terikat. Kalau kita tolak, kita bebas… tapi harus siap menghadapi pasar sendirian.”
Sesampainya di desa, mereka langsung disambut Pak Darto. “Bagaimana hasilnya?”
Arga menatapnya lama sebelum menjawab, “Kita harus rapat lagi. Keputusan ini akan menentukan apakah kita mau mengorbankan kebebasan demi kepastian, atau mempertahankan kebebasan dengan segala risikonya.”
Di luar, langit sore mulai memerah. Sekar tahu, rapat berikutnya bisa menjadi titik balik terakhir — setelah itu, tidak akan ada jalan kembali.
Balai desa kembali penuh malam itu. Warga duduk berkelompok, sebagian membawa catatan, sebagian hanya ingin mendengar. Kepala desa membuka rapat dengan nada serius.
“Kita sudah dengar syarat dari pembeli katering: eksklusif untuk mereka di wilayah Jabodetabek. Keputusan ada di tangan kita.”
Suasana langsung memanas.
“Kalau kita terima, kita aman dari fluktuasi harga,” kata seorang petani muda.
“Tapi kita akan kehilangan kebebasan menjual ke pembeli lain,” bantah Pak Darto.
Sekar duduk di samping Arga, memperhatikan wajah-wajah yang mulai tegang. Ia tahu, jika malam ini hanya berisi perdebatan, desa bisa kembali terbelah.
Arga berdiri. “Sebelum kita memutuskan, aku ingin tunjukkan sesuatu yang belum pernah aku ceritakan.”
Ia mengeluarkan map tebal berisi dokumen dan foto. “Selama beberapa bulan terakhir, aku diam-diam membangun jalur distribusi alternatif. Kita sudah punya pembeli di dua kota kecil di Jawa Tengah, dan satu koperasi di Bali yang siap membeli beras kita dengan harga lebih tinggi dari pasar biasa. Mereka tidak menuntut eksklusivitas, hanya konsistensi kualitas.”
Ruangan hening. Beberapa warga saling pandang, terkejut.
“Kenapa baru sekarang kamu bilang?” tanya seorang bapak setengah protes.
“Karena aku ingin memastikan jalur ini benar-benar siap sebelum kita bergantung padanya,” jawab Arga tenang. “Kalau kita menolak syarat eksklusif dari katering, kita masih punya pasar lain. Memang tidak sebesar Jabodetabek, tapi cukup untuk membuat kita tetap berdiri di kaki sendiri.”
Sekar menambahkan, “Ini bukan sekadar rencana cadangan. Ini bukti bahwa kita bisa mencari jalan lain tanpa harus menyerahkan kendali.”
Perdebatan masih berlangsung, tapi kali ini nada suara warga berbeda. Ada harapan baru, ada rasa bahwa mereka tidak sepenuhnya terpojok.
Kepala desa akhirnya berkata, “Kita akan voting besok malam. Gunakan waktu ini untuk berpikir, bukan hanya soal untung rugi, tapi juga soal siapa yang memegang kendali atas masa depan kita.”
Saat warga bubar, Sekar menatap Arga. “Ga, kamu sadar rencana ini bisa jadi satu-satunya alasan mereka mau tetap bersama?”
Arga mengangguk. “Dan kalau gagal… aku siap menanggungnya.”
Share this novel