Completed
256
Pagi itu, berita besar menghantam layar televisi di balai desa: Komisi Pemberantasan Korupsi resmi mengumumkan bahwa mereka mengambil alih penyelidikan dugaan kolusi antara pejabat daerah dan PT Graha Pangan Nusantara. Nama Pak Wibowo disebut secara terbuka sebagai salah satu pihak yang akan dimintai keterangan.
Warga Sumberjati bersorak, tapi Arga hanya menghela napas. Ia tahu, ketika kasus sudah di tangan KPK, taruhannya semakin tinggi — dan pihak lawan tidak akan tinggal diam.
Sore harinya, Laras menerima pesan dari seorang kontak di Jakarta: “Hati-hati. Ada kabar mereka akan mencoba ‘menghentikan’ sumber-sumber informasi sebelum dipanggil KPK.”
Malam itu, tanda-tanda ancaman mulai terasa.
- Dua motor tanpa plat nomor terlihat berputar-putar di sekitar rumah salah satu saksi kunci.
- Telepon anonim masuk ke rumah Bu Ratna, hanya diam di ujung sana sebelum menutup.
- Sebuah mobil asing parkir cukup lama di ujung jalan menuju gudang koperasi.
Arga segera mengaktifkan protokol darurat:
- Evakuasi saksi ke rumah aman yang sudah disiapkan asosiasi di kota.
- Pengawalan bergilir oleh warga untuk keluarga pengurus inti.
- Koordinasi langsung dengan penyidik KPK agar semua saksi mendapat perlindungan resmi.
Di tengah kekacauan itu, Rudi membawa kabar penting: ia mendapatkan salinan pesan internal dari grup WhatsApp staf perusahaan logistik. Isinya, perintah untuk “mengamankan situasi” sebelum pemeriksaan KPK, termasuk “mengurus” beberapa nama yang dianggap berbahaya.
Maya membaca cepat pesan itu. “Kalau ini kita serahkan ke KPK sekarang, mereka bisa langsung bergerak. Tapi kita harus pastikan pengirimnya tidak sempat menghapus atau menyangkal.”
Arga menatap semua yang hadir. “Kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Malam ini juga, kita kirim semua bukti tambahan ke KPK. Dan mulai besok, kita siap menghadapi apa pun yang mereka lemparkan ke kita.”
Di luar, hujan deras mengguyur Sumberjati. Tapi di dalam balai desa, tekad warga terasa seperti bara yang tak padam — mereka tahu, badai ini akan segera mencapai puncaknya.
Subuh itu, suasana di kota kabupaten mendadak riuh. Beberapa mobil hitam berlogo KPK berhenti di depan kantor Dinas Perdagangan. Petugas berseragam rompi oranye-hitam keluar cepat, membawa surat perintah penggeledahan.
Di waktu yang hampir bersamaan, tim lain bergerak ke kantor pusat PT Graha Pangan Nusantara cabang Jawa Barat, dan satu tim lagi menuju gudang logistik yang selama ini menjadi titik distribusi utama.
Berita ini menyebar kilat. Wartawan berlarian ke lokasi, menyiarkan langsung proses penggeledahan. Kamera menangkap momen ketika Pak Wibowo digiring keluar dari kantornya, wajahnya pucat, menutupi muka dengan map. Di gudang logistik, beberapa staf terlihat pasrah saat komputer dan dokumen dibawa keluar sebagai barang bukti.
Di Sumberjati, warga berkumpul di balai desa menonton siaran langsung di layar proyektor. Sorak-sorai pecah ketika nama-nama yang selama ini mereka curigai disebut di televisi. Sekar menatap Arga sambil tersenyum lega, “Kita berhasil memaksa mereka bergerak.”
Namun Maya mengingatkan, “Ini belum selesai. Penangkapan bukan berarti kemenangan penuh. Mereka bisa saja mencoba membalikkan narasi di pengadilan. Kita harus tetap siapkan semua saksi dan bukti.”
Sore harinya, KPK menghubungi Arga untuk menjadwalkan pemeriksaan lanjutan bagi beberapa pengurus koperasi. Mereka juga meminta akses ke salinan asli dokumen bocoran yang selama ini disimpan aman di luar negeri.
Arga setuju, tapi ia juga sadar: setelah langkah ini, Sumberjati akan semakin menjadi sorotan. Dukungan publik memang besar, tapi tekanan dari pihak-pihak yang merasa terancam juga akan semakin keras.
Malam itu, di teras rumahnya, Arga memandang sawah yang mulai menguning. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia merasa ada cahaya di ujung jalan panjang ini. Tapi ia juga tahu, jalan itu belum berakhir — dan di tikungan berikutnya, mungkin masih ada jebakan yang menunggu.
Di gedung KPK yang dingin dan penuh pantulan cahaya lampu putih, Arga, Sekar, dan Maya duduk di ruang tunggu sebelum giliran mereka diperiksa. Di luar, wartawan berkerumun, mencoba memotret setiap orang yang keluar masuk.
Pemeriksaan berlangsung berjam-jam. Penyidik memutar rekaman suara dari operasi umpan, menunjukkan foto-foto pertemuan rahasia, lalu mulai mengajukan pertanyaan detail tentang hubungan koperasi dengan pihak luar. Arga menjawab setenang mungkin, memastikan setiap jawaban konsisten dengan bukti yang sudah mereka serahkan.
Menjelang sore, salah satu penyidik, Bu Ratih, memanggil Maya ke ruang terpisah. Di sana, ia menunjukkan bagan aliran dana yang baru saja mereka susun dari hasil penyitaan rekening perusahaan logistik.
> “Kami menemukan transfer rutin dalam jumlah besar dari rekening perusahaan ke sebuah yayasan pendidikan di kota. Yang menarik, yayasan ini ternyata diketuai oleh…,” Bu Ratih berhenti sejenak, “…anggota DPRD provinsi yang selama ini dikenal sebagai tokoh ‘pro-petani’.”
Maya terdiam. Nama itu adalah seseorang yang pernah datang ke Sumberjati, memberi dukungan moral di awal konflik. Bahkan, ia pernah berfoto bersama Arga di sawah, menjanjikan akan “membela petani sampai akhir”.
“Kalau ini benar,” kata Maya pelan, “berarti dia bermain di dua kaki — mendukung kita di depan publik, tapi menerima uang dari pihak lawan di belakang.”
Sementara itu, di luar gedung KPK, Laras menerima pesan dari kontak medianya: bocoran tentang aliran dana ke yayasan itu sudah mulai beredar di kalangan jurnalis investigasi. “Kalau ini keluar, publik akan terkejut. Tapi kita harus siap, karena mereka pasti akan menyerang balik dengan narasi bahwa kita memfitnah,” tulis pesan itu.
Malamnya, di penginapan sederhana dekat gedung KPK, Arga mengumpulkan tim. “Kita punya dua pilihan,” ujarnya. “Diam dan biarkan KPK memproses, atau kita ikut mendorong informasi ini ke publik untuk memutus pengaruh mereka sebelum sidang.”
Semua terdiam. Keputusan ini akan menentukan arah pertempuran berikutnya — dan mungkin, siapa saja yang akan menjadi musuh mereka setelah ini.
Malam itu, di penginapan dekat gedung KPK, Arga, Sekar, Maya, Rudi, dan Laras duduk melingkar. Di meja, ada dua map: satu berisi salinan resmi aliran dana yang ditemukan penyidik, satu lagi berisi catatan pribadi tentang hubungan anggota DPRD itu dengan Sumberjati.
“Kalau kita diam, KPK akan memproses sesuai jalur. Tapi proses itu bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun,” kata Maya. “Kalau kita dorong ke publik sekarang, kita bisa memutus pengaruhnya di lapangan. Tapi risikonya, mereka akan menyerang balik habis-habisan.”
Sekar menatap Arga. “Kalau dia tetap di posisinya, dia bisa mempengaruhi opini publik di desa-desa lain. Kita bisa kehilangan dukungan.”
Arga terdiam lama. Ia teringat saat anggota DPRD itu datang ke Sumberjati, tersenyum di depan kamera, memuji perjuangan petani. “Kalau dia memang bermain di dua kaki, publik berhak tahu,” ujarnya akhirnya.
Keputusan diambil:
- Langkah publik: Rudi dan Laras akan membocorkan informasi ini ke media investigasi yang kredibel, dengan bukti yang sudah diverifikasi.
- Langkah hukum: Maya akan memastikan semua bukti diserahkan ke KPK secara resmi, sehingga tidak ada celah bagi pihak lawan untuk menuduh fitnah.
- Langkah lapangan: Sekar akan menghubungi jaringan desa sekutu, memberi tahu bahwa badai politik akan datang, dan meminta mereka bersiap menjaga narasi.
Dua hari kemudian, berita itu meledak. Judul-judul media berbunyi: “Tokoh Pro-Petani Terseret Dugaan Aliran Dana Kartel Beras”. Foto sang anggota DPRD bersama Arga di sawah ikut terpampang, membuat publik terkejut.
Di tingkat provinsi, fraksi politiknya mulai terpecah. Beberapa anggota mendesak agar ia mundur sementara, sementara yang lain menuduh ini “rekayasa politik”. Di media sosial, dukungan untuk Sumberjati justru melonjak, dengan banyak warga desa lain yang mulai membagikan kisah mereka sendiri tentang tekanan harga dan distribusi.
Malam itu, Arga menerima pesan singkat dari seorang pejabat provinsi yang sebelumnya netral: “Kalian baru saja mengubah peta permainan. Hati-hati, mereka akan mencoba langkah putus asa berikutnya.”
Arga menatap layar ponselnya lama. Ia tahu, setelah ini, pertarungan bukan hanya soal hukum dan ekonomi — tapi juga soal bertahan di tengah pusaran politik yang semakin liar.
Share this novel