"Dimana ruangan tempat perawatan Rafi Ardyansyah?" Damian berdiri di depan
resepsionis. Resepsionis itu mendongak dan ternganga. Terpesona melihat penampilan dan ketampanan Damian.
"Ruangan perawatan Rafi Ardyansyah?" Damian mengulang jengkel karena
resepsionis itu hanya menatapnya seperti orang bodoh. "Oh....Untuk Rafi...Anda...Anda mungkin harus menemui Suster Ana dulu, beliau suster kepala penanggung jawabnya."
"Dimana?" gumam Damian tak sabar. "Lantai tiga, ruangan perawat nomor dua." Tanpa basa-basi Damian meninggalkan resepsionis yang masih ternganga itu. Pintu itu tertutup rapat dan Damian mengetukknya. "Masuk" sebuah suara yang tegas terdengar dari dalam. Damian masuk dan langsung berhadapan dengan suster Ana. Suster Ana langsung menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Dia tidak
mungkin salah mengenali.
Penggambaran Serena sangat akurat. Lelaki ini memang benar-benar luar biasa tampan dengan keangkuhan yang sudah seperti satu paket dengan auranya. "Apakah anda akhirnya berhasil menemukan kebenaran?" gumam suster Ana
langsung tanpa basa-basi. Damian mengernyit mendengar sapaan pertama suster Ana yang sama sekali tidak diduganya. Tapi dia lalu teringat telelepon di tengah malam yang tanpa sengaja dia angkat. Penelepon itu mengatakan dirinya adalah suster Ana... "Ya," Damian mengakuinya pelan,
"Anda sudah tahu semuanya?" "Semuanya, dan pertama, sebelum anda menghina Serena lagi. Saya akan
jelaskan kepada anda, semalam Serena datang kepada saya, dengan kondisi mengenaskan. Mental dan fisik yang rapuh, dan dia bilang ingin melepaskan diri dari anda, menurut saya itu wajar mengingat perlakuan anda padanya," Suster Ana menatap Damian dengan pandangan mencela yang terang-terangan hingga wajah Damian merona, "Uang yang dia pakai untuk melunasi anda, itu adalah uang pinjaman dari saya dan beberapa staff rumah sakit lain, bukan uang hasil menjual dirinya kepada lelaki lain seperti apa yang anda tuduhkan kepadanya tadi pagi."
Sebuah kebenaran lagi. Lebih keras daripada tamparan di pipi, lidah Damian terasa kelu.
"Saya ingin bertemu Serena" gumam Damian akhirnya.
Suster Ana mengangkat alisnya.
"Untuk apa? Ketika hubungan hutang piutang itu lunas. Tidak ada lagi perlunya kalian bertemu, lagi pula saya tidak yakin Serena bersedia menemui anda."
"Tidak ada hubungannya dengan uang! Saya tidak peduli dengan uang!!!" Damian hampir berteriak, lalu berdehem berusaha meredekan emosinya, "Saya harus bertemu dengan Serena, meminta maaf, saya tahu selama ini saya salah...."
"Anda bisa menyampaikan permintaan maaf anda melalui saya" sela Suster Ana tegas.
Damian mengernyit,
"Saya mohon.....Saya harus bertemu dengan Serena, saya butuh bertemu dengan Serena."
Suster Ana mengamati lelaki yang berdiri di hadapannya. Lelaki ini terlalu tampan, terlalu kaya sehingga wajar dia tampak begitu arogan. Tapi sekarang Damian tampak begitu menderita, dan dia rela memohon agar bisa bertemu Serena. Suster Ana menarik napas, ketika sebuah kesimpulan muncul di benaknya.
Lelaki ini sedang jatuh cinta.
Bagaimana mungkin dia menolak permintaan Damian? Kalau saja Damian hanya lelaki sombong yang menginginkan bayaran setimpal atas apa yang diberikannya kepada Serena, suster Ana akan mengusirnya tanpa ragu. Tapi Damian yang ada di depannya ini tampak begitu kesakitan menanggung rasa bersalah, tampak remuk redam di dera perasaannya sendiri. Lelaki ini sama menderitanya dengan Serena. Bagaimana mungkin Suster Ana tega mengusirnya?
"Tapi tolong jangan menyakiti Serena lagi jika kalian bertemu nanti, jangan memaksanya....." mata Suster Ana melembut membayangkan Serena, "sudah cukup beban yang ditanggung anak itu."
"Saya berjanji." Damian menjawab yakin.
Sekilas suster Ana mencuri pandang ke arah Damian. Dan tersenyum ketika mendapati ekspresi Damian ikut melembut karena membayangkan Serena.
Ah Serena, Lelaki ini benar-benar sedang jatuh cinta.......
Share this novel