31

Romance Completed 2969

Ruangan itu sangat sunyi, hanya suara alat-alat penunjang kehidupan yang berbunyi secara teratur.

Serena duduk disana, disamping ranjang Rafi, menatap Rafi yang terbaring dengan damai. Dua jam lagi operasi ginjal Rafi akan dilaksanakan.

Kau harus kuat bertahan ya? demi aku kau harus bertahan, kau harus

bertahan, demi aku Rafi...

Berkali-kali Serena merapalkan kata-kata itu seperti sebuah doa yang tidak ada putus-putusnya.

Rafi tampak lebih kurus, dan pucat, dan begitu diam, tetapi Serena meyakini masih ada kekuatan hidup yang tersembunyi di dalam tubuh Rafi, Serena

mempercayainya. Serena percaya kepada Rafi, seluruh harapannya masih

bertumpu kepada kepercayaannya itu. Kemungkinan keberhasilan operasi itu adalah 40:60, dan Serena bergantung kepada 40% itu. Dia percaya Rafi adalah lelaki yang kuat, buktinya dia sudah berhasil bertahan sampai sejauh ini.

Suster Ana masuk ke dalam ruangan, dan menyentuh pundak Serena.

"Kondisinya stabil Serena, aku yakin dia akan berhasil melalui ini semua." "Iya suster, Rafi pasti kuat." Suster Ana mengecek denyut nadi Rafi lalu menatap Serena seolah teringat

sesuatu. "Bagaimana kau berpamitan dengan Mr. Damian?" Serena merona. "Aku bilang menemani teman yang akan melahirkan," gumamnya pelan, merasa

berdosa karena tidak biasa berbohong. Hari ini hari minggu, Damian kebetulan berencana melewatkan waktunya

seharian dengan Serena. Tetapi dengan alasan palsu dan kebohongan yang terbata-bata, Serena berhasil membuat Damian melepaskannya. Meskipun dahi Damian tampak berkerut curiga ketika Serena berpamitan tadi pagi.

"Kalau begitu kenapa kau tak mau kuantar?" kejar Damian tadi pagi ketika Serena menolak tawarannya. "Karena temanku ini mengenalmu sebagai bosku, nanti dia bisa mengetahui semuanya." jawab Serena cepat-cepat.

Lelaki itu mengerutkan keningnya lagi, tidak puas. "Apakah dia salah satu pegawaiku?" "Bukan!" Serena langsung menyela keras, karena setelah mengenal Damian lebih dekat,

Serena tahu, jika dia menjawab "iya‟, maka Damian pasti akan menyuruh salah satu staf personalianya untuk mengecek apakah benar ada karyawannya yang akan melahirkan, dan dia akan mendapati kalau Serena berbohong. "Dia bukan pegawaimu, tapi dia banyak mengenal teman-teman kantor dan dia tahu tentangmu, jadi kalau dia melihatmu dia bisa bertanya-tanya kepada yang lain...."

"Oke, kalau begitu di Rumah Sakit mana?" Serena kehilangan kata-kata, berusaha mencari jawaban. "Eh...aku tidak tahu di Rumah Sakit mana."

Dengan cepat Damian melangkah ke hadapan Serena yang berusaha

menghindari tatapannya.

"Kau bilang akan menemani temanmu itu di Rumah sakit, bagaimana mungkin kau tidak tahu di mana rumah sakitnya???" "A...aku...", dengan gugup Serena menelan ludah, "Aku akan menunggu di kost

yang lama, suaminya akan menjemputku nanti" , disyukurinya jawaban yang terlintas cepat di otaknya, Dia jarang berbohong, dan tidak pandai berbohong, sementara Damian terlihat seperti seorang detektif yang mencurigai tindakan kriminal yang dilakukan di belakangnya.

"Suaminya?"

Jawaban itu sepertinya membuat Damian tidak senang karena ekspresi wajahnya semakin menggelap. "Kau membiarkan suaminya menjemputmu? kalian hanya berdua di jalan?" Serena merasa gugup, tapi kemudian dia merasa ingin tertawa mendengar

perkataan Damian yang terasa aneh.

"Damian," gumam Serena jengkel, " Dia seorang suami, dan isterinya akan melahirkan anaknya, apa yang ada di dalam pikiranmu?" Perkataan itu membuat pipi Damian merona, dan dia melangkah mundur. "Ah ya...maaf," lalu lelaki itu menatap Serena tajam, " Kau boleh pergi, tapi

begitu sampai di rumah sakit itu kau harus menghubungiku" "Ya," jawaban

Serena terlalu cepat sehingga Damian menatapnya makin curiga.

"Kau harus menghubungiku, Oke?"

"Oke", jawab Serena terlalu cepat. "Serena!" Suara Damian terdengar jengkel. "Oke, Aku janji." Jawab Serena akhirnya. "Dan sebelum jam delapan malam kau harus pulang." "Baik Damian", Serena berjanji meski tidak tahu apakah dia bisa menepatinya. Dan sekarang, dengan sengaja Serena mematikan ponselnya. Bagaimanapun

kemarahan Damian nanti akan ditanggungnya, sekarang yang paling penting adalah Rafi.

"Sudah waktunya", gumam suster Ana, membuyarkan lamunan Serena. Dua perawat lain masuk ke ruangan dan mulai mempersiapkan mesin-mesin penunjang kehidupan untuk Rafi. Lalu mulai mendorong tubuh Rafi keluar ruangan.

Serena mengikuti di belakang, sampai Rafi menghilang di pintu khusus ruang operasi. Dengan lemah dia menoleh ke suster Ana, "Berapa lama suster operasinya?" Suster Ana memeluk Serena lembut. "Untuk operasi berat seperti ini, minimal 4 jam Serena." *** 4 jam 5 jam 6 jam

...... Napas Serena mulai terasa sesak, berkali kali dia melirik lampu di atas pintu ruang operasi. Tetapi tetap tidak ada gerakan di sana. Di setiap detik yang

terlewatkan dengan begitu lambat, napas Serena terasa makin lama makin sesak.

Kenapa lama sekali?? Apa yang terjadi? Apakah para dokter mengalami kesulitan? Bagaimana kondisi Rafi disana?

Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam benak Serena, membuatnya makin cemas dan ketakutan.

Suster Ana sudah berkali-kali menengok keadaan Serena di sela-sela tugas jaganya, membawakan Serena segelas teh dan makanan kecil karena Serena tidak mau makan.

"Makanlah dulu Serena. Aku tidak mau kau pingsan nantinya." gumam suster Ana sambil memijit lembut pundak Serena.

Dengan lemah Serena menggeleng. "Tidak bisa suster, aku terlalu cemas untuk makan."

"Kalau begitu minumlah tehmu, kau sama sekali belum makan sejak tadi, setidaknya teh manis bisa memberikanmu sedikit tenaga."

Dengan patuh Serena meneguk teh manisnya, lalu menatap ke pintu lagi dengan cemas.

"Kenapa lama sekali suster operasinya?"

Suster Ana menghela napas.

"Aku tidak tahu Serena, tapi Rafi kan kasus khusus, para dokter harus

benarbenar berhati-hati menanganinya, mungkin itu yang memerlukan waktu lebih lama."

Pandangan Serena tetap tidak terlepas dari pintu ruang operasi.

Ketegangannya semakin meningkat, ketika lampu di atas pintu ruang operasi menyala, tanpa sadar dia terlompat dari tempatnya berdiri dan setengah berlari menyongsong dokter.

Dokter itu tersenyum sebelum Serena bertanya, dia mengenal Serena, mengenal kegigihan gadis itu memperjuangkan kehidupan tunangannya. Dan tanpa sadar turut merasakan empati pada pasangan itu.

"Tidak apa-apa Serena, Rafi lelaki yang kuat, operasinya berhasil."

Tubuh Serena langsung lunglai penuh rasa syukur hingga sang dokter harus menopangnya.

"Selamat Serena, kamu berhasil... Kalian berdua berhasil."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience