"Kau tampak senang", Freddy menatap Damian yang sedang memeriksa berkas kontrak kerja mereka dengan supplier baru.
Damian mengalihkan tatapannya dari berkas di mejanya dan menatap Freddy muram,
"Bukannya itu bagus? Tapi kenapa aku mendengar nada mencela dari suaramu?"
Freddy mengangkat bahu,
"Aku cuma tak ingin kau mabuk kepayang dan melakukan hal-hal yang akan kau sesali nanti."
Tatapan Damian berubah tajam,
"Aku??,,,, Mabuk kepayang???... Apakah kau sedang bercanda?"
"Bukan begitu maksudku, tapi sepertinya kau agak berubah, kau tahu, agak tidak fokus, bahkan kata sekertarismu tadi pagi kau terlambat, pertama kalinya, katanya."
"Dan kau kira itu karna aku mabuk kepayang pada serena, begitu????...baik !! Memang aku terlambat karena terlalu asyik bercinta dengan Serena, lalu kenapa?? Perusahaan ini sebagian besar milikku!!
Apakah seorang pemilik tidak diperbolehkan terlambat??, toh keterlambatanku tidak merugikan perusahaan ini!!
"Damian", Freddy berusaha meredakan emosi Damian, "Aku tidak bermaksud membuatmu marah, aku hanya mencemaskanmu."
Sejenak Damian tidak berkata-kata, tatapannya menyala-nyala, matanya bagaikan api biru yang membakar. Tapi kemudian dia berhasil mengendalikan emosinya. Dihelanya napas keras-keras.
"Kau benar, maafkan aku Freddy."
Sebelum Freddy dapat menjawab, ponsel Damian berdering, Damian meliriknya dan dahinya berkerut melihat siapa yang menelponnya.
"Ada apa Shanon?"
Mendengar nama Shanon disebut, Freddy langsung berdiri dan memberi isyarat berpamitan pada Damian, Damian mengangguk mempersilahkan dan Freddy berjalan keluar ruangan.
Di seberang, suara Shanon yang lembut dan elegan terdengar mengalun.
"Aku bertanya-tanya, kenapa kau tak menghubungiku sayang, sabtu kemarin kau mendadak membatalkan acara makan malam kita, dan kemudian aku sama sekali tak bisa menemukanmu, apakah ada pekerjaan mendadak yang menyulitkanmu?"
Wajah Damian berubah dingin, dia sama sekali tidak pernah menjalin komitmen dengan Shanon. Mereka diperkenalkan pada suatu acara makan malam, setelah itu Shanon menghubunginya, mengajak makan malam berdua karena ingin mengenal lebih dekat. Damian tidak menolaknya.
baginya Shanon cukup cantik dan saat wanita itu mendekatinya, kenapa tidak? Pertemuan mereka berlanjut ke pertemuan-pertemuan berikutnya, Tetapi di saat awal Damian sudah menegaskan kepada Shanon bahwa hubungan yang mereka jalin adalah hubungan tanpa ikatan. Saat Shanon mengundangnya ke tempat tidurnyapun Damian sudah menegaskan itu dia lakukan tanpa ikatan dan tanpa cinta.
Tapi sekarang Shanon sepertinya besar kepala karena Damian saat itu tidak dekat dengan wanita lain selain dirinya, dalam otaknya dia mengira bahwa dirinya telah berhasil menaklukkan Damian dan membuat lelaki itu setia padanya, Dia tidak tahu bahwa saat itu pikiran Damian sedang terpaku untuk mendapatkan wanita lain, Serena.
Sekarang Damian merasa muak dengan tingkah Shanon yang bertindak seolaholah mereka sepasang kekasih, yang harus selalu mengetahui kegiatan Damian dan merasa berhak mengatur-atur Damian.
"Sayangku, Damian? Kau masih disana?"
"Shanon, maafkan aku sedang sibuk sekali."
Terdengar helaan napas dramatis di sana, sudah pasti wanita ini tidak akan menyerah, dia terbiasa dikejar kejar dan dipuja lelaki, penolakan hanya membuatnya lebih gigih mengejar.
"Begini sayang, aku ada undangan pesta di rumah Richard, kau tau kan pelukis terkenal itu? Dia mengadakan pesta di pembukaan pameran lukisannya....Aku belum punya pasangan untuk datang ke sana, kau mau kan menemaniku?"
Damian menghela napas keras. "Shanon, sudah kubilang aku sibuk, aku tak bisa menemanimu ke pesta
manapun, lebih baik kau ajak kekasihmu atau laki laki lain, pasti mereka dengan senang hati akan menemanimu." "Tapi Damian, aku mencintaimu dan aku ingin kamu...." "Aku bukan kekasihmu Shanon, dan tak akan pernah, ingat itu, jadi jangan
meminta macam-macam dariku, Oke ?", Damian langsung menyela dengan
kesal. "Oke, Oke !!" Shanon setengah menjerit, "kau sudah pernah mengatakan itu berulang kali padaku, tapi tidakkah kebersamaan kita selama ini....."
"Shanon, aku sibuk. Maaf!", Damian langsung menutup percakapan, menyudahinya karena dia yakin Shanon tidak akan menyerah dengan segera.
*** Serena baru saja membuka pintu apartemen ketika teleponnya berdering, dia segera mengangkatnya dan langsung terdengar suara Damian diseberang sana,
"Kau suka masakan cina?" "Hah?", Serena terperangah mendengar sapaan pertama Damian yang tanpa
basa-basi, baru ketika Damian mengulang pertanyaannya dia mengerti, dan tanpa sadar mengangguk. "Serena?" Mendengar pertanyaan Damian Serena baru sadar kalau dari tadi dia hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. "Eh...iya...iya.." "Oke, kalau begitu jangan memasak malam ini, kubawakan dua porsi untuk kita." Telepon ditutup. Meninggalkan Serena yang yang masih terperangah.
Satu jam kemudian, ketika Serena menyeduh kopi, Damian datang, langsung ke dapur, masih mengenakan jas resminya, tapi dengan dasi yang sudah dikendorkan. Dia meletakkan Kantong kertas berisi makanan yang masih panas, berlogokan nama hotel bintang lima.
"Tadi ada undangan pertemuan dengan kilen di sana, hanya minum kopi, tapi aku lalu ingat kalau masakan cina di hotel ini terkenal enaknya, dan aku ingat kamu."
Damian mengedipkan sebelah matanya, "Siapkan ya, aku mandi dulu."
Dengan langkah anggun Damian membalikkan badan menuju kamar.
Serena mengatur masakan berbau harum itu pada piring saji, sambil mengatur poci kopi di nampan untuk Damian, untuk dirinya dia menyeduh secangkir teh.
Damian muncul di dapur setengah jam kemudian, dengan piyama sutra hitam, lali duduk di kursi di meja dapur.
"Aku lapar sekali, tadi jalanan macet."
Serena duduk di hadapan Damian, memperhatikan lelaki itu mulai menyantap hidangannya dengan penuh minat.
"Tadi, di pertemuan tidak ada makan malam?", setahu Serena pertemuan bisnis di hotel seperti itu selalu disertai dengan jamuan makan malam.
"Ada, tapi aku menolaknya, hanya minum kopi tadi", Damian menatap
Serena dengan tiba-tina hingga Serena kaget, "Kenapa tidak kamu makan ? ayo, enak lho."
Dengan gugup Serena menyantap makanannya, memang enak sekali, guman Serena pada suapan pertama, Tanpa sadar dia makan dengan lahap, dan baru berhenti ketika menyadari Damian menatapnya geli, pipinya langsung bersemu merah.
Damian langsung terkekeh geli.
Serena baru mengetahui kepribadian Damian yang seperti ini, santai dan penuh tawa, berbeda sekali dengan apa yang ditampilkannya di kantor.
Selesai makan seperti biasa Damian minta ditemani saat mengerjakan tugas kantornya, lelaki itu tampak serius mengahadapi notnya, sambil sesekali menyesap kopi, sementara Serena menyibukkan diri denga menonton chanel masak memasak di TV kabel. Benaknya berkecamuk, apakah Damian akan bercinta dengannya lagi? Bodoh! Tentu saja, kalau bukan untuk itu buat apa lelaki itu menginap disini?
"Kau bisa memasak yang seperti itu?" Suara celetukan Damian hampir membuat Serena terlonjak karena kaget.
Serena menatap ke arah Damian, lelaki itu sudah bersandar di sofa, dengan santai menyesap kopinya sambil menatap televisi. Notnya sudah tertutup dan berkas-berkasnya sudah tersusun rapi, Astaga...berapa lama tadi dia melamun? Sudah berapa lama Damian menyelesaikan pekerjaannya?
Dengan buru buru Serena menoleh ke televisi, adegan disana menampilkan cara memasak sup jagung dengan berbagai modifikasinya.
"Bisa...aku pernah membuatnya meski tidak persis seperti itu."
Damian tersenyum.
"Aku jadi ingat saat aku sakit waktu kecil dulu, ibuku selalu membuatkanku sup jagung, tidak ada yang mengalahkan rasa sup buatannya."
Serena ikut tersenyum mengenang.
"Ibu dulu membuatkanku bubur ayam. Rasanya tidak enak hingga aku selalu ingin memuntahkannya."
Damian tertawa geli mendengarnya.
"Aku belum pernah menemui wanita sepertimu sebelumnya", gumamnya dalam tawa.
Serena menoleh pada Damian dengan bingung.
"Wanita sepertiku.....?"
"Polos, jujur dan tidak berusaha memanipulasiku", senyum Damian berubah sensual," dan masih bisa tersipu sampai memerah di sekujur kulitnya,padahal sudah berkali-kali kusentuh."
Kali ini Serena hampir tersedak tehnya,dengan cepat diletakkannya cangkirnya dan ditatapnya Damian dengan waspada. Lelaki itu juga sedang menyesap kopinya, tapi mata birunya yang tajam itu menatap serius pada Serena.
"Kau seperti kelinci yang terjebak ketakutan", gumam Damian sambil menyipitkan matanya, "apakah cara bercintaku menyakitimu?"
Pipi Serena langsung memerah mendengar pertanyaan Damian yang blak-blakan itu,
"Ti...tidak, bukan begitu...saya....saya hanya belum....terbiasa..."
Serena menelan ludah ketika Damian beranjak dari sofanya dan berdiri di depan Serena,lalu menarik Serena berdiri dan langsung mencium bibirnya dengan lembut,
"Kalau begitu, tidak ada yang bisa kulakukan selain membuatmu terbiasa bukan?", suara Damian berubah serak, lalu dengan cepat mengangkat Serena dan membawanya ke kamar.
Share this novel