56

Romance Completed 2969

Damian berteriak memanggil Serena, begitu juga dengan Vanessa dan Rafi yang ada di belakang Serena. Tapi Serena pingsan mendadak dan jatuh ke lantai.

Dengan kasar Damian menyingkirkan tangan dokter yang sedang membalut lukanya dan melompat turun, setengah berlari menghampiri Serena, perawat datang menghampiri, tapi Damian menyingkirkannya,

"Biar aku saja." gumamnya serak, mengeryit sedikit ketika mengangkat Serena menyakiti luka di lengan dan bahunya, tapi dia tidak peduli, dipeluknya Serena dengan posesif dan dibaringkannya ke meja perawatan,

"Tuan, saya belum menyelesaikan membalut lukanya." gumam dokter di ruang gawat darurat itu sedikit jengkel,

"Nanti saja." Damian bergumam tajam dengan arogansi yang sudah seperti pembawaan alaminya sehingga membuat dokter itu terdiam, mengangkat bahunya lalu pergi.

"Sayang," Damian menepuk pipi Serena, tapi perempuan itu begitu pucat pasi, dengan panik, Damian menoleh ke arah Vanessa di pintu, mengabaikan Rafi, "Dia tidak apa-apa?"

Vanessa mendorong Rafi mendekat, lalu menyentuh Serena,

"Dia demam Damian, dia sedang sakit ketika memaksa mengikuti aku kesini, terus tepuk pipinya pelan-pelan dan sadarkan dia, sepertinya dia shock," Vanessa menatap Damian tajam, "dan kau..kau tidak pernah kecelakaan selama hidupmu, apa yang kau lakukan di jalan tol tadi sehingga berakhir di rumah sakit ini?? Apakah kau mabuk??"

Damian mengeryit,

"Aku tidak mabuk, aku hanya terlalu buru-buru ingin cepat sampai jadi kurang hati-hati." saat itulah Serena bergerak membuka mata, "ah, sayang.....sayang, kau baik-baik saja?"

Serena mengerjap-ngerjapkan matanya, begitu mendapati wajah Damian ada di dekatnya, airmata mengalir di pipinya, tangannya bergetar ketika terangkat dan menyentuh wajah Damian, meyakinkan dirinya bahwa betul-betul Damian yang ada di depannya,

Dengan lembut Damian meraih tangan Serena dan mengecupnya,

"Aku ada di sini, aku baik-baik saja." gumamnya setengah berbisik.

Serena membiarkan tangannya dalam genggaman Damian, merasakan kulit Damian yang panas, mensyukuri bahwa lelaki itu masih hidup. Tadi rasanya seperti mau mati saja ketika mengetahui bahwa Damian kecelakaan, pikiranpikiran buruk melandanya, membuatnya ingin menangis dan berteriak, membuatnya hampir menyalahkan Tuhan. Karena dia sudah memutuskan akan menerima tidak bisa bersama-sama dengan Damian lagi asalkan lelaki itu tetap hidup, asalkan lelaki itu masih ada, hidup dan bernafas di dunia ini, biarpun Serena tidak bisa melihatnya lagi. Pikiran bahwa Damian bisa saja meninggal dan tidak ada di dunia ini hampir membuatnya ingin menyusul saja. Karena itulah tadi ketika melihat Damian masih hidup meskipun terluka membuatnya lega luar biasa sehingga pingsan. Serena merasakan dadanya sesak ketika menyadari, bahwa cinta barunya, cintanya yang tidak diduga, cinta yang bertumbuh tanpa disadari karena kebersamaan mereka yang tidak direncanakan itu ternyata sudah mencapai tingkat intensitas yang sangat besar.

"Jangan pernah ulangi lagi," suara Serena bergetar ketika mencoba berbicara serius kepada Damian, "Jangan pernah ulangi lagi melakukan seperti ini kepadaku."

Damian meraih kedua tangan Serena dan mengecup jemarinya dengan lembut,

"aku berjanji," jawabnya penuh perasaan, "Sekarang tidurlah sayang, aku ada di sini."

Dengan lembut Damian mengusap dahi Serena yang panas, membuat pikiran Serena melayang, dia merasa lelah sekali, tubuhnya, jiwanya dan raganya. Tubuhnya sakit dan lunglai sedang jiwanya kelelahan menahan perasaan. Usapan tangan Damian di dahinya membuatnya dipenuhi kelegaan luar biasa, membuatnya dipenuhi rasa damai tidak terkira sehingga Serena akhirnya terlelap lagi.

"Kemari, lukamu harus dibalut." Vanessa mencoba menarik perhatian

Damian, lelaki itu menatap Serena dengan serius, memastikan bahwa Serena sudah tidur, lalu menurut menggerakkan tubuhnya agar Vanessa lebih mudah membalut luka di pundak dan lengannya.

Saat itulah Damian menyadari kehadiran Rafi, yang hanya diam saja menatap semua kejadian itu tanpa berkata-kata. Mata Damian berkilat-kilat,

"Aku mencintainya." gumamnya terus terang, membuat Vanessa tersedak dan saat itulah dia juga baru menyadari kehadiran Rafi.

Rafi hanya terdiam, menatap Serena yang tertidur pulas dengan sedih,

"Aku tahu." gumamnya pelan.

Damian mengangkat dagunya, mengernyit ketika perban itu membebat kencang lukanya,

"Dan dia juga mencintaiku, tetapi dia memilihmu." sambungnya getir.

Rafi menghela nafas,

"Itupun aku juga tahu."

"Sudah selesai." Vanessa menyela cepat, lalu menepuk pundak Damian, "Berbaringlah dulu di ranjang sebelah", Vanessa mengedikkan bahu ke ranjang di sebelah ranjang yang dipakai Serena yang masih kosong. "Kau harus berbaring, kepalamu terbentur dan jika kau tidak segera berbaring kau akan mengalami vertigo." sambungnya tegas ketika melihat Damian akan membantah.

Semula Damian akan membantah, dia ingin melanjutkan pembicaraan dengan Rafi, menjelaskan semuanya. Tetapi Vanessa benar, rasa pusing mulai menyerangnya, pusing dan nyeri di bahu dan kepalanya. Obat penghilang rasa sakit yang disuntikkan dokter jaga tadipun mulai bereaksi, membuatnya merasa lemas dan lunglai. Akhirnya Damian mengangkat bahu dan melangkah ke ranjang kosong itu.

"Kita belum selesai bicara." gumamnya pada Rafi, mulai menguap.

"Nanti saja." sela Vanessa mengernyit, lalu meraih kursi roda Rafi dan mendorongnya keluar, "Ayo Rafi, kita harus membiarkan mereka beristirahat." bisiknya lembut dan mendorong mereka keluar dari ruangan perawatan itu.

Vanessa mendorong Rafi sampai di ruang tunggu yang tenang dan sepi, lalu duduk di sofa di sebelah Rafi. Suasana hening, dan Rafi hanya termenung tidak berkata-kata sampai lama. Vanessa menunggu, menunggu sepatah pertanyaan dari Rafi sebelum menjelaskan semuanya, dan akhirnya pertanyaan itu datang setelah menunggu sekian lama,

"Apa yang terjadi di sini?", gumam Rafi serak, dia tetap bertanya meskipun kebenaran itu sudah menyeruak dalam kesadarannya, membuat dadanya sesak.

Vanessa menghela napas mendengarnya,

"Ceritanya panjang..."

"Aku punya banyak waktu", sela Rafi tak sabar, "Jelaskan semuanya"

"Serena tidak pernah bermaksud mengkhianatimu kau tahu," gumam Vanessa sedih, "Dia selalu berusaha setia kepadamu."

"Kau bicara begitu padahal jelas-jelas di depan mataku tadi dia jatuh cinta setengah mati kepada lelaki lain?" gumamnya getir.

"Kau tahu, Serena putus asa ketika dia akhirnya berhubungan dengan Damian... biaya operasimu... operasi ginjalmu - dokter mengultimatum kau harus segera dioperasi ginjal untuk menyelamatkan nyawamu - sangat mahal, hampir mencapai tiga ratus juta, sementara seluruh harta Serena sudah habis, dia menanggung hutang yang sangat besar di perusahaan...

jadi... jadi Serena memutuskan menjual keperawanan dan tubuhnya kepada

Damian."

"Oh Tuhan!"

Wajah Rafi pucat pasi, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Jadi semua ini bermula dari dirinya? Semua kegilaan tak diduga ini bermula dari keinginan Serena menyelamatkan nyawanya? Menjual keperawanannya!! Oh Tuhan,

Rafi tidak pernah peduli apakah Serena masih suci atau tidak, baginya Serenanya adalah Serena yang sama. Tapi... Mengetahui bahwa Serena melakukan itu demi dirinya benar-benar menghancurkan hatinya. Mengetahui bahwa pada akhirnya Serena menyerahkan hati pada lelaki lain yang disebabkan oleh dirinya sangat menyakiti perasaannya.

"Dan Damian, atasan Serena itu pasti laki-laki brengsek karena mau mengambil manfaat dari gadis lemah yang sedang kesulitan." desis Rafi marah.

Vanessa menggeleng,

"Tidak seperti itu Rafi, Damian sangat kaya, dia bisa mendapatkan gadis manapun yang dia mau, Tapi sudah sejak lama dia menginginkan Serena, menurutku sebenarnya sudah sejak lama Damian mencintai Serena tetapi dia tidak menyadarinya, karena itu mungkin Damian menganggap satu-satunya cara untuk memiliki Serena adalah menerima tawarannya."

Rafi mengernyit mendengar penjelasan Vanessa, hatinya sakit menyadari bahwa sekarang dia menjadi penghalang antara dua orang yang saling mencintai.

"Kenapa Serena tidak membiarkan aku mati saja?" rintihnya dalam geraman penuh kesakitan, "Mungkin lebih baik aku dibiarkan mati saja sehingga aku tidak menghalangi kebahagiannya..."

Vanessa menyentuh pundak Rafi lembut,

"Jangan pernah punya pemikiran seperti itu," selanya tegas, "Serena mencintaimu sepenuh hati, dia berjuang mati-matian demi kehidupanmu, jangan pernah menghancurkan hatinya dengan kata-kata seperti itu."

"Dia sudah tidak mencintaiku lagi, dia hanya kasihan padaku, tatapan lelaki itu, tatapan Damian kepadaku ketika mengatakan bahwa Serena lebih memilihku dibanding dirinya tadi begitu penuh penghinaan dan kemarahan, seolah lebih baik aku tahu diri dan menyingkir saja."

"Damian memang seperti itu, dia marah karena Serena memilih untuk bersamamu. Tapi Damian mencintai Serena, karena itu dia menghormati keputusan Serena."

"Lelaki itu, apakah benar dia mencintai Serena? dia terlalu berkuasa, terlalu mendominasi, terlalu arogan... aku takut dia hanya ingin menunjukkan kekuasaannya, hanya ingin memuaskan arogansinya untuk memiliki

Serena..."

Vanessa menggeleng,

"Damian yang dulu memang seperti itu, tapi ketika bersama Serena, gadis itu dengan segala kepolosan dan kebaikan hatinya telah merubahnya. Damian benar-benar mencintai Serena, aku mengenal Damian sejak dulu kau tahu, dan dia tidak pernah seperti itu sebelumnya, begitu mencintai seorang perempuan, begitu tergila gila hingga hampir dikatakan bisa gila karenanya."

Rafi menghela nafas panjang,

"Kalau begitu, kau ingin aku yang melepaskan Serena?"

Vanessa mengangkat bahunya pedih,

"Keputusan ada di tanganmu... Serena sendiri tidak akan pernah meninggalkanmu, dia terlalu setia dan menyayangimu untuk meninggalkanmu.

Dia rela mengorbankan perasaannya demi kamu. Jadi, kalau kau tidak melepaskannya, dia juga tidak akan pernah mengkhianatimu demi Damian."

Rafi memegang pangkal hidungnya, mengernyit seolah kesakitan,

"Aku sangat mencintai Serena." gumamnya perih.

Air mata Vanessa mulai menetes melihat kepedihan Rafi, pelan dia berjongkok di depan Rafi dan memeluk lelaki itu. Rafi tidak menolak, dia juga tidak menahan air matanya menetes. Kepedihan itu begitu dalam, kepedihan untuk merelakan diri melepaskan sesuatu yang paling berharga di tangannya, agar sesuatu paling berharga itu bisa menemukan kebahagiaannya.

"Aku tahu dan aku bisa mengerti kesedihanmu, kau tak perlu melepaskan

Serena kalau kau tak bisa." bisik Vanessa lembut, mengusap kepala Rafi di bahunya, membiarkan lelaki itu terisak dengan kepedihannya.

Lama Rafi menumpahkan perasaannya, dengan isakan tertahan dan keheningan yang dalam, lalu dia mundur, melepaskan diri dari pelukan Vanessa, duduk tegak dengan tekad kuat di matanya.

"Aku tidak mungkin membiarkan Serena menderita dengan bertahan bersamaku, tidak setelah aku melihat betapa dalamnya perasaan Serena kepada Damian tadi, tapi sebelumnya aku ingin berbicara dengan Damian."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience